Sunday, December 9, 2018

Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)


Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)
Persaudaraan dalam etika agama menurut Weber bersifat irasional dan erotisme, khusus perihal rasionalisasi keselamatan dalam agama. Prinsip persaudaraan dalam etika agama cenderung radikal dan antagonis terhadap realita empiris, berikut pendapat Weber: “a principled ethic of religious brotherthood is radically and antagonistically opposed to all the value of eroticism. Weber notes that prophetic and priestly religion have stood in “intimate relation with rational intellectualism” because the “more „doctrine‟ a religion contains, the greater is its need for rational apologetics”. The need for doctrine in prophetic and priestly religion is based on the fact that there is basic contradiction between the fundamental postulate of religion and the observed empirical reality”.48 Penelitian Weber di Asia bahwa doktrin keagamaan bersifat non-kompetisi etika dan reflektif, sedangkan di Eropa bersifat kompetisi etika dan produktif. Pertanyaan Weber terhadap etika adalah apakah etika sebagai tanggung jawab atau etika sebagai keyakinan, atau etika sebagai aturan

Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi


Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi
Homo politik sebagai personalitas, dan terdiri atas karisma, puritan.44 Pemahaman perihal charisma adalah dasar konsep homo politik Weber. Tipe karisma terbagi dalam tiga bagian, yaitu legitimasi dominasi, tradisional, dan birokratis legal. Pertama, legitimasi dominasi karisma adalah kebenaran atas kuasa (truth of power) dan tipe karisma adalah tipe kuasa dominasi atas devosi. Kedua, tradisional berarti politik sebagai vokasi, dan politik sebagai kepemimpinan. Ketiga, birokratis legal berarti politik sebagai distribusi kuasa, dan karakter manusia politis. Tipe kepemimpinan karismatis dalam penelitian Weber di Asia melalui ciri keagamaan di Asia seperti di Cina dan India adalah ortodoks dan heterodoks. Sifat agama di Asia adalah representasi irasional dalam sistem etika agama, dan tidak koheren. Penelitian Weber perihal homo politik adalah konteks Eropa dan Asia. Eropa bersifat rasional, dan Asia bersifat irasional. Penelitian Weber terhadap konfusius bahwa individu adalah habitat kohesif. Komparasi Konfusianisme di Asia dan Puritanisme di Eropa dalam perspektif Weber: “Weber defined personality as “a concept which entails a constant and intrinsic relation to certain ultimate „value‟ and „meaning‟ of life”. the interests of Asiatic intellectuality, so far as it was concerned with every day life, lay primarily in directions other than political”. 45 Penelitian Weber dalam masyarakat Yunani Kuno mengasumsikan bahwa persaudaraan pra-kekristenan adalah rumah bersama “housing together” dalam bahasa Yunani adalah synoikismos. Berikut pendapat Weber: “Die Stadt”: the political situation of medieval townsman determined his path of a homo oeconomicus, whereas in antiquity the polis preserved during its heyday its character as the technically most advanced military organization. The ancient townsman was a homo politicus”. 46 Analisis Weber bahwa negara dan dominasi sebagai kontribusi sosiologi politik. Tipologi dominasi yaitu hak tradisional, hak karismatik, hak legal definisi Negara. Pandangan Weber: “the term „charisma‟ will be applied to a certain quality of an individual personality by virtue of which he is considered extraordinary and treated as endowed with supernatural, superhuman, or at least specifically exceptional power or qualities”. 47 Masyarakat tradisional dalam pengaruh karisma terhadap perubahan sosial bersifat revolusi. Masyarakat modern dalam pengaruh karisma berada dalam relasi vokasi. Figur karismatik dalam masyarakat tradisional adalah harapan rakyat akan putus asa. Tipikal karismatik dalam masyarakat tradisional adalah pahlawan, nabi, dan penyelamat. Pergerakan karismatik dalam masyarakat tradisional adalah tipikal organisasi patrimonial. Di satu sisi, karisma tidak hanya sebagai kualitas individu, karena pemimpin karismatik adalah bagian komunitas, dan karismatik terdapat pengikut dan murid. Sifat laten perjuangan berada antara manusia sebagai individu majemuk atau tipe sosial. Tipe sosial Weber yaitu tradisional, afektual, nilai rasional, dan rasional instrumental. Rasional sebagai nilai adalah ide, rasional sebagai instrumen adalah material. Sosial berada dalam ide dan emosi aktor-aktor sosial. Persaudaraan agama dan dunia dalam lingkaran ekonomi berangkat dari cara hidup masyarakat purba dalam kepercayaan magis seperti asketik. Persaudaraan kelompok militer dalam perang berbeda dengan persaudaraan dalam kelompok agama. Nilai ekonomi, politik, agama tidak dapat terdamaikan. Fenomena aturan ekonomi menggantikan cinta melalui kompetisi pasar, dan menggantikan saudara dengan uang.

Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)


Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)
Konsep “brotherhood” sebagai fondasi cinta dalam komunitas, dan persaudaraan sebagai hukum natural (Brotherhood as a law of nature). Konsep etika persaudaraan Weber sesuai dengan realita fraternitas melalui konferensi sosiologi di Frankurt terdapat fenomena meminum darah tercampur sebagai kontrak primitif. Fraternitas tidak hanya berdasar atas relasi darah, dan makanan bersama. Pada abad ke-13 di Eropa, salah satu ciri kebudayaan fraternitas pelajar adalah menyanyi dan minum bersama. Pengalaman sosial Weber adalah tipe manusia berdasar budaya, agama, dan ekonomi.43 Konsep etika persaudaraan membudaya di kalangan pelajar di Jerman masa Weber. Konsep kemanusiaan Weber berada dalam pemahaman tindakan manusia dan tindakan sosial.

Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural


Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural
Penulis memahami konsep “brotherhood” Weber adalah bagian dari konsep sosiokultural. Menurut penulis terdapat tiga pokok penelitian Weber dalam sosio-kultural, yaitu ekonomi, politik, dan agama. Pertama, ekonomi bahwa kata kunci memahami sosio-kultural Weber dalam bidang ekonomi, antara lain kelas dan kapitalisme. Kelas menurut Weber sebagai status sosial, dan berfungsi sebagai petunjuk posisi seseorang dalam sebuah kelompok. Situasi dalam kelas sosial terdapat kompetisi dan monopoli. “mode of distribution monopolizes the opportunities for profitable deals for all those who provided with goods”.41 Kapitalisme dalam perspektif Weber adalah kompleks dan variabel. Faktor kelahiran kapitalisme dipengaruhi teknologi modern, rasionalisasi, uang, dan pekerjaan. Kata kunci memahami kapitalisme Weber adalah afinitas elektif antara ekonomi dan kepercayaan religius. Agama sebagai faktor kapitalisme dalam penelitian Weber seperti di Inggris. Berikut pernyataan Weber: “capitalism with religious factors may have come about in the days of the early development of capitalism. Methodist workmen in the eighteenth century met at the hands of their comrades were not solely nor even principally the result of their religious eccentricities, England had seen many of those and more striking ones”.

Max Weber (1864-1920) Konteks Ide Kemanusiaan Weber sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Ide Kemanusiaan Weber sejarah
Sumber primer buku asli Max Weber: Wirtschaft und Gesellschaft 1910 (economy and society) dalam “outlines of universal social and economic history 1919-1920” dan Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus 1904-1905 (The protestant Ethic and the spirit of Capitalism). Penulis memanfaatkan dua buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills sebagai translator; kedua The protestant Ethic and the spirit of Capitalism: Talcott Parsons sebagai translator. Penulis memahami ide kemanusiaan Weber melalui tema sentral, yaitu pertama kemanusiaan dalam sosio-kultural (sociocultural), dan kedua, kemanusiaan dalam etika persaudaraan.

Max Weber (1864-1920) Konteks Sosial dan Politik sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Sosial dan Politik sejarah
Hidup Weber dari masa kecil berada dalam lingkungan politik. Tradisi keluarga seperti pekerjaan ayah Weber sebagai politikus pemerintahan di Berlin, dan anggota partai nasional liberal turut mempengaruhi pemikiran Weber dalam politik. Jerman masa Weber adalah masa isu politik. Atmosfer politik di Jerman khusus di Prusia mempengaruhi Weber. Usia muda Weber telah menjelma sebagai politikus masa Bismarck‟s (1880) Realpolitik. “In his childhood, Weber must have listened to frequent political discussions in his father‟s house; likewise he got to know the great figures of German liberalism through personal observation”.39 Pengalaman sosial Weber berada dalam relasi keluarga dan masyarakat di Strassburg, seperti pengalaman religius Pantekosta dalam keluarga Baumgarten, dan kondisi sosial seperti masyarakat pertanian di Jerman Timur. Penelitian Weber di Jerman Timur adanya isu komersialisasi di bawah gaya hidup patriarki, dan politik agitasi.4


Max Weber (1864-1920) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah
Max Weber lahir 21 April 1864 di Efurt, Thuringia. Weber anak pertama dari delapan bersaudara. Ayah bernama Max Weber bekerja sebagai dewan pemerintah, dan ibu Helene Fallenstein Weber adalah pencinta budaya dan kepercayaan Protestan. Pada umur dua tahun Weber menderita meningitis. Pada umur 13 tahun, Weber sudah menulis esai sejarah: “Concerning the course of German history”. Pada 1882, belajar di Heidelberg, 1884 belajar hukum dan ekonomi di Berlin. Usia 20 tahun Pengalaman militer di Alsace. Pada usia 26 tahun 1889 Weber memperoleh gelar doktor dengan judul disertasi „the agrarian history of Rome‟ (1891) dan the history of law, concerning North Italian trading companies in Midle Ages. Tahun 1891 bekerja sebagai dosen, 1893 menikah dengan Marianne Schnitger, dan tahun 1903 mengundurkan diri sebagai dosen. Latar belakang pendidikan di Jerman pada tahun 1800-1900 berada pada titik filsafat dan budaya. Tokoh sosiolog pertama di Jerman yang mempengaruhi Weber adalah Ferdinand Tönnies dengan tulisan Community and Society (1887) dan Georg Simmel dengan tulisan The essay “On Social Differentiation” (1890).

Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Kemanusiaan dalam Dimensi Positivistik


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Kemanusiaan dalam Dimensi Positivistik
Argumentasi Comte dalam memahami nilai dan karakter filosofi positivistik adalah pemahaman fase perkembangan pengetahuan manusia, yaitu teologi sebagai fiktif, metafisika sebagai abstrak, dan sains sebagai positif. Berikut pernyataan Comte: “in order to understand the true value and character of positive philosophy, we must take a brief general view of the progressive course of the human mind: the theological, or fictitious; the metaphysical, or abstract; and the scientific, or positive. In the theological state: the human mind seeking the essential nature of beings, all phenomena to be produced by the immediate action of supernatural beings. In the metaphysical state: the mind supposes instead of supernatural beings abstract force. In the final, positive state: the mind has given over the vain search after absolute notions, the origin and destination of the universe, and the causes of phenomena”.21 Premis Comte dalam buku Course of Positive Philosophy adalah hukum natural (natural law), dan hukum inheren dalam natural. Comte memahami pengetahuan level pertama sebagai pengetahuan primitif (primitive knowledge). Pengetahuan level pertama berada pada kemagisan dan agama. Konsep omnipresent (Tuhan hadir di segala tempat) sebagai jalan memahami dunia dan sekitar. Level pertama ini disebut theological (teologis), dan dimensi sosial teologi mengarah pada perbudakan dan despotisme militer. Fase teologi terbagi tiga, yaitu animisme atau fetisisme (kepercayaan dan penyembahan benda-benda), politeisme (kepercayaan lebih dari satu Dewa atau Tuhan), dan monoteisme (kepercayaan kepada satu Tuhan). Level pengetahuan kedua adalah metaphysical (metafisika). Titik-tolak metafisika berdasar abstrak dan konsepsi. Unsur-unsur pendekatan metafisika adalah mengkategorikan, logis, dan kebijaksanaan filsuf. Dimensi sosial level metafisika berkenaan dengan identitas hukum dan sistem legal politik. Level ketiga adalah positivism (positivisme). Level ini ditandai dengan aplikasi logis, ilmu ilmiah, dan empiris. Dimensi sosial level positivisme adalah industri dan teknik. Comte berpendapat bahwa teori evolutionary hierarchy hadir di semua tempat. Masyarakat sebagai contoh mengalami perkembangan dari primitif menuju kemajuan.


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Ide Kemanusiaan Comte


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Ide Kemanusiaan Comte
Sumber primer buku asli Auguste Comte: Cours de philosophie positive (1830-1842) enam volume, dan Systéme de politique positive, ou Traité de sociologie instituant la religion de L‟Humanité (1851-1854) empat volume. Alasan keterbatasan penulis memahami buku bahasa Prancis, maka penulis memanfaatkan tiga buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, the positive philosophy of Auguste Comte: Harriet Martineau sebagai translator; kedua, system of positive polity: John Henry Bridges sebagai translator; dan ketiga, the catechism of positive religion (1852): Richard Congreve sebagai translator. Penulis menggunakan buku sumber sekunder seperti salah satu tulisan Mary Pickering: “Auguste Comte: An Intellectual Biography volume 1-3”. Penulis memahami ide kemanusiaan Comte diuraikan melalui tiga tema sentral, yaitu pertama: kemanusiaan dalam dimensi Positivistik, kedua: kemanusiaan dalam „sociocracy‟, dan ketiga: kemanusiaan dalam „religion of humanity‟


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Sosial dan Politik sejarah


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Sosial dan Politik sejarah
Konteks sosial dan politik periode kelahiran Comte berada dalam gejolak revolusi Prancis (1789-1799) dan pemberontakan masa pemerintahan Kaisar Napoleon. Comte hidup pada masa kegelisahan akibat despotisme (kekuasaan sistem pemerintahan tidak terbatas atau sewenang-wenang). Pada masa raja Louis Philippe I tahun 1830, perkembangan industrialisasi di Prancis mengubah pemandangan politik. Industrialisasi menghadirkan kelas baru (new classes) bagi setiap individu. Pengupahan kaum borjuis terhadap pekerja pabrik sebagai contoh sistem struktur. Sosiologi Comte dipengaruhi kondisi ekonomi, politik, dan sosial revolusi Prancis.

Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah
Auguste Comte lahir tanggal 19 Januari 1798 di Montpellier sebuah kota wilayah Selatan Prancis, dan Meninggal di Paris karena kanker perut pada 5 september 1857. Nama lengkap Isidore-Auguste-Marie-Francois-Xavier Comte. Ayah Comte bernama Louis Comte bekerja di kantor pajak, dan ibu Rosalie Boyer seorang royalist (pendukung raja atau pemerintahan). Comte hidup dalam keluarga tradisi Roma-Katolik, dan tradisi borjuis. Usia 14 tahun, Comte meninggalkan kepercayaan pada Tuhan, dan politik Comte mengikuti antiroyalist bertentangan dengan keluarga Comte sebagai royalist. Pada tahun 1814, Comte studi di perguruan tinggi politeknik (École Polytechnique) kota Paris. Awal memasuki pendidikan di Ecole, pihak perguruan tidak mengizinkan Comte dengan alasan usia dini mampu meraih nilai tertinggi. Pendidikan di politeknik berdasar pada matematika, dan menghadirkan perdebatan pandangan antara royalist dan anti-royalist.
Pertentangan pandangan politik tahun 1816 Comte memisahkan diri dari keluarga. Tahun 1817, Comte bekerja sebagai sekretaris Henri Saint-Simon (1760-1825). Pemikiran SaintSimon perihal teori sejarah dan sistem moral (supernatural-politeistik moral: Roma-Yunani; Teisme Kristen: sains sokratis, feodalisme, dan Abad Pertengahan; positivisme: masyarakat industri) kemudian mempengaruhi pemikiran Comte perihal tiga hukum fase intelektual manusia. Tahun 1824, Comte memisahkan diri dari H. Saint-Simon dan di Paris Comte bekerja sebagai jurnalis dan tutor demi mencukupi biaya pendidikan. Pada tahun 1825, Comte menikah dengan Caroline Massin, dan pada 1842, usia 44 tahun Comte bercerai dengan Massin. Dua tahun kemudian tahun 1844, Comte menaruh hati pada wanita bernama Madame Clothilde de Vaux, dan tidak lama perasaan Comte berubah ketika Clothilde meninggal tahun 1846 usia 31 tahun. Tulisan Comte pertama dipublikasikan antara tahun 1830 dan 1842 dengan judul: Course of Positive Philosophy. Comte menyebut dirinya sebagai imam kemanusiaan“High Priest of Humanity” pada pengantar tulisannya System of Positive Polity. Awal dan akhir karir Comte bagi kalangan akademik maupun intelektual disebut sebagai penemu ilmu sosial (the founder of sociology). Comte mempelajari ide-ide filsafat hukum pada abad 18 disebut abad pencerahan (Enlightment). Empat tokoh berpengaruh dalam pemikiran Comte: Charles Montesquieu (1689-1755); Jacques Turgot (1727-1781); Jean Condorcet (1743-1794); dan Claude Henri de Saint-Simon (1760-1825).

Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat


Peter L. Berger (1929-). Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan terdapat dalam beberapa karya tulis seperti The Social Construction Of Reality. Konsep mengenai konstruksionisme oleh sosiolog interpretative: Peter L. Berger bersama Thomas Luckman banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat memiliki pengertian bahwa seseorang baru menjadi seorang pribadi beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak sebagai ketertutupan lepas dari dunia luar. Manusia berusaha menangkap diri dalam menghasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang tercapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif akan menghadapi si penghasil sebagai fakta yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses objektivasi, bahwa masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan ia dibentuk dan dikonstruksi. Pemahaman realitas berwajah ganda atau plural bahwa setiap manusia mempunyai konstruksi berbedabeda atas suatu realitas.

Emmanuel Levinas (1905-1995) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Emmanuel Levinas (1905-1995), Pemikiran Levinas mengenai kemanusiaan terdapat dalam beberapa tulisan, yaitu Totality and Infinity dan Otherwise Than Being. Levinas di sini berupaya memikirkan ulang konsep dan realitas dari “Yang Lain” (Autrui).16 Pemikiran kemanusiaan Levinas seperti contoh konteks pembunuhan. Pembunuhan mengandung kontradiksi logis, dan kontradiksi praktis (in actu exercito). Kontradiksi praktis adalah apa yang dikatakan dan disangkal oleh perbuatan sendiri. Di satu pihak si pembunuh menemui korban, berarti ia mengakui dia sebagai orang lain, ia mengakui dia sebagai sesama manusia, dan di lain pihak, ia menyangkal dia sebagai orang lain, sehingga ia mencabut nyawanya. Kontradiksi adalah bahwa si pembunuh mengakui orang lain sebagai “engkau”, tapi bersamaan ditambahkan “engkau tidak boleh hidup”, “tidak ada tempat untukmu di dunia ini”. Kenyataan ini sebagaimana dalam uraian Levinas bahwa orang lain adalah tampak baginya sebagai “Wajah” (le visage) yang menyapa saya. Apa yang dikatakannya kepada saya, orang lain tidak menggunakan modus indicativus, melainkan modus imperativus. Ia mewajibkan saya untuk mengakui dia sebagai orang lain. Wajah itu mengimbau saya, mengatakan apa yang harus saya lakukan, menunjukkan kewajiban saya terhadapnya. Penampilan “Wajah” menyuruh saya menghormati dia. Inti imbauan Wajah itu kepada saya adalah: “jangan membunuh”. Sebagai pembunuh saya jatuh dalam kontradiksi, karena saya mengakui korban sebagai orang lain dan serentak juga melanggar imbauan yang keluar dari alteritasnya. Saya mengadakan totalisasi. Saya memasukkan alteritas orang lain dalam totalitas saya, kata Levinas. Penyangkalan alteritas orang lain bisa terjadi dengan pelbagai cara. Banyak bentuk untuk memasukkan orang lain. dalam proyek totalisasi saya. Misalnya, saya bisa mendominasi orang lain untuk “menggunakan” dia bagi tujuan saya. Penyangkalan alteritas orang lain paling ekstrem adalah dengan membunuh dia. Pembunuhan adalah penyangkalan paling radikal. Pembunuhan adalah cara paling ekstrem untuk memasukkan orang lain dalam proyek totalisasi saya; begitu ekstrem, sehingga alteritasnya tercaplok sama sekali, tidak ada sisa lagi.

Max Scheler (1874-1928) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Max Scheler (1874-1928), menurut Scheler bahwa manusia mencapai hakikat apabila mentransendensikan diri sendiri. Kemampuan transenden adalah ciri khas manusia. Manusia mencapai hakikat dalam Iman dan Cinta kepada Tuhan dalam kebersamaan sebuah umat beragama

Karl Marx (1818-1883),- Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Karl Marx (1818-1883), konsep manusia bahwa dunia manusia adalah negara dan masyarakat. Marx memahami manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi kesosialan manusia berada di dalam Negara. Pekerjaan merupakan tema sentral Marx dalam memahami manusia. Marx membedakan kekhasan pekerjaan antara manusia dan binatang. Binatang bekerja di bawah desakan naluri sesuai kebutuhan, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikat ke dalam realitas alami. Alam manusia mencerminkan siapa itu manusia, dan membuktikan realitas hakikat manusia. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial melalui pekerjaan. Ketergantungan antara individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai dasar.

Immanuel Kant (1724-1804) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Immanuel Kant (1724-1804), kemanusiaan sebagai predisposisi (humanity as a predisposition). Predisposisi berarti kecenderungan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma. Kant membagi tiga fundamen manusia (human nature), yaitu animality; humanity; dan personality. Pertama, animality berkaitan dengan insting seperti memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan seks. Kant menamai proses insting dengan mechanical self-love. Kedua, humanity berada antara predisposisi animality dan personality. Kant membagi dua bentuk predisposisi humanity dalam antropologi, yaitu “technical predisposition” (teknik imperatif dalam hal pembelajaran seperti belajar seni dan ilmu lain) dan “pragmatic predisposition” (aspek pragmatik berkaitan dengan kebijaksanaan atau prudence). Aspek pragmatik dalam humanitas berdiri di atas rasio atau self-love dan berhadapan dengan kondisi sosial. Ketiga, personality berkaitan dengan kesadaran pribadi terhadap moral, dan otonom manusia menyikapi persoalan moral.

Peter L. Berger (1929-) Emmanuel Levinas (1905-1995), Max Scheler (1874-1928) Karl Marx (1818-1883), Immanuel Kant (1724-1804) Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat


Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat
Immanuel Kant (1724-1804), kemanusiaan sebagai predisposisi (humanity as a predisposition). Predisposisi berarti kecenderungan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma. Kant membagi tiga fundamen manusia (human nature), yaitu animality; humanity; dan personality. Pertama, animality berkaitan dengan insting seperti memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan seks. Kant menamai proses insting dengan mechanical self-love. Kedua, humanity berada antara predisposisi animality dan personality. Kant membagi dua bentuk predisposisi humanity dalam antropologi, yaitu “technical predisposition” (teknik imperatif dalam hal pembelajaran seperti belajar seni dan ilmu lain) dan “pragmatic predisposition” (aspek pragmatik berkaitan dengan kebijaksanaan atau prudence). Aspek pragmatik dalam humanitas berdiri di atas rasio atau self-love dan berhadapan dengan kondisi sosial. Ketiga, personality berkaitan dengan kesadaran pribadi terhadap moral, dan otonom manusia menyikapi persoalan moral.13 Karl Marx (1818-1883), konsep manusia bahwa dunia manusia adalah negara dan masyarakat. Marx memahami manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi kesosialan manusia berada di dalam Negara. Pekerjaan merupakan tema sentral Marx dalam memahami manusia. Marx membedakan kekhasan pekerjaan antara manusia dan binatang. Binatang bekerja di bawah desakan naluri sesuai kebutuhan, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikat ke dalam realitas alami. Alam manusia mencerminkan siapa itu manusia, dan membuktikan realitas hakikat manusia. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial melalui pekerjaan. Ketergantungan antara individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai dasar.14 Max Scheler (1874-1928), menurut Scheler bahwa manusia mencapai hakikat apabila mentransendensikan diri sendiri. Kemampuan transenden adalah ciri khas manusia. Manusia mencapai hakikat dalam Iman dan Cinta kepada Tuhan dalam kebersamaan sebuah umat beragama.15 Emmanuel Levinas (1905-1995), Pemikiran Levinas mengenai kemanusiaan terdapat dalam beberapa tulisan, yaitu Totality and Infinity dan Otherwise Than Being. Levinas di sini berupaya memikirkan ulang konsep dan realitas dari “Yang Lain” (Autrui).16 Pemikiran kemanusiaan Levinas seperti contoh konteks pembunuhan. Pembunuhan mengandung kontradiksi logis, dan kontradiksi praktis (in actu exercito). Kontradiksi praktis adalah apa yang dikatakan dan disangkal oleh perbuatan sendiri. Di satu pihak si pembunuh menemui korban, berarti ia mengakui dia sebagai orang lain, ia mengakui dia sebagai sesama manusia, dan di lain pihak, ia menyangkal dia sebagai orang lain, sehingga ia mencabut nyawanya. Kontradiksi adalah bahwa si pembunuh mengakui orang lain sebagai “engkau”, tapi bersamaan ditambahkan “engkau tidak boleh hidup”, “tidak ada tempat untukmu di dunia ini”. Kenyataan ini sebagaimana dalam uraian Levinas bahwa orang lain adalah tampak baginya sebagai “Wajah” (le visage) yang menyapa saya. Apa yang dikatakannya kepada saya, orang lain tidak menggunakan modus indicativus, melainkan modus imperativus. Ia mewajibkan saya untuk mengakui dia sebagai orang lain. Wajah itu mengimbau saya, mengatakan apa yang harus saya lakukan, menunjukkan kewajiban saya terhadapnya. Penampilan “Wajah” menyuruh saya menghormati dia. Inti imbauan Wajah itu kepada saya adalah: “jangan membunuh”. Sebagai pembunuh saya jatuh dalam kontradiksi, karena saya mengakui korban sebagai orang lain dan serentak juga melanggar imbauan yang keluar dari alteritasnya. Saya mengadakan totalisasi. Saya memasukkan alteritas orang lain dalam totalitas saya, kata Levinas. Penyangkalan alteritas orang lain bisa terjadi dengan pelbagai cara. Banyak bentuk untuk memasukkan orang lain. dalam proyek totalisasi saya. Misalnya, saya bisa mendominasi orang lain untuk “menggunakan” dia bagi tujuan saya. Penyangkalan alteritas orang lain paling ekstrem adalah dengan membunuh dia. Pembunuhan adalah penyangkalan paling radikal. Pembunuhan adalah cara paling ekstrem untuk memasukkan orang lain dalam proyek totalisasi saya; begitu ekstrem, sehingga alteritasnya tercaplok sama sekali, tidak ada sisa lagi.17 Peter L. Berger (1929-). Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan terdapat dalam beberapa karya tulis seperti The Social Construction Of Reality. Konsep mengenai konstruksionisme oleh sosiolog interpretative: Peter L. Berger bersama Thomas Luckman banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat memiliki pengertian bahwa seseorang baru menjadi seorang pribadi beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak sebagai ketertutupan lepas dari dunia luar. Manusia berusaha menangkap diri dalam menghasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang tercapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif akan menghadapi si penghasil sebagai fakta yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses objektivasi, bahwa masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan ia dibentuk dan dikonstruksi. Pemahaman realitas berwajah ganda atau plural bahwa setiap manusia mempunyai konstruksi berbedabeda atas suatu realitas.

Aristoteles (384-322 SM) - Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Aristoteles (384-322 SM) konsep manusia bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris. Kemampuan akal budi manusia membuat abstraksi bertujuan mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Aristoteles memahami manusia melalui pendekatan empiris. Filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia, dan bagaimana manusia bertindak untuk mencapai tujuan hidup.

Plato (427-348 SM) - Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani - Plato (427-348 SM)

Plato (427-348 SM) konsep manusia terbagi atas dua realitas, yaitu realitas indra dan realitas rohani. Realitas indra mencakup badan (makam jiwa), dan bersifat sementara. Realitas Rohani mencakup jiwa bersifat abadi. Realitas jiwa merupakan nilai tertinggi melalui proses pencapaian kebahagiaan (dalam bahasa religius: manusia mencapai kebahagiaan apabila menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi) . Manusia menurut Plato akan mencapai eksistensinya apabila terarah kepada Yang Ilahi. 

Sokrates (469-399 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Sokrates (469-399 SM) konsep manusia berkaitan dengan paham-paham etis melalui pendekatan dialogis. Paham etis Sokrates mengantar manusia menjadi pelaku keadilan meskipun manusia itu mengalami ketidakadilan.

Demokritos (460- 371 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Demokritos (460- 371 SM) konsep manusia berkaitan dengan kehidupan praktis sebagai idealisme nilai tertinggi. Manusia masuk dalam kerangka hedonistik dengan kalimat “manusia bukan setiap nikmat, melainkan nikmat dari keindahan dalam pencapaian”.

Pytagoras (570-496 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Filsafat Yunani turut mempengaruhi perkembangan ilmu di Barat dan filsuf Islam pada abad pertama. Pytagoras (570-496 SM) konsep manusia berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika sebagai dasar realitas. Manusia berada dalam pemahaman ajaran reinkarnasi  (badan merupakan kubur jiwa atau soma-sema “tubuh-kubur”). Pembebasan jiwa dari badan manusia melalui jalan pembersihan. Kegiatan pembebasan ini menempuh jalan dengan berfilsafat dan bermatematika bertujuan membebaskan keterikatan indra menuju kerohanian. Persahabatan dan persaudaraan semua manusia merupakan nilai tertinggi. 

Aristoteles Plato Sokrates Demokritos Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani


Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani
Filsafat Yunani berdasar pada filsafat alam, dan berkembang menjadi metafisika dan etika. Filsafat Yunani turut mempengaruhi perkembangan ilmu di Barat dan filsuf Islam pada abad pertama. Pytagoras (570-496 SM) konsep manusia berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika sebagai dasar realitas. Manusia berada dalam pemahaman ajaran reinkarnasi  (badan merupakan kubur jiwa atau soma-sema “tubuh-kubur”). Pembebasan jiwa dari badan manusia melalui jalan pembersihan. Kegiatan pembebasan ini menempuh jalan dengan berfilsafat dan bermatematika bertujuan membebaskan keterikatan indra menuju kerohanian. Persahabatan dan persaudaraan semua manusia merupakan nilai tertinggi. Demokritos (460- 371 SM) konsep manusia berkaitan dengan kehidupan praktis sebagai idealisme nilai tertinggi. Manusia masuk dalam kerangka hedonistik dengan kalimat “manusia bukan setiap nikmat, melainkan nikmat dari keindahan dalam pencapaian”. Sokrates (469-399 SM) konsep manusia berkaitan dengan paham-paham etis melalui pendekatan dialogis. Paham etis Sokrates mengantar manusia menjadi pelaku keadilan meskipun manusia itu mengalami ketidakadilan. Plato (427-348 SM) konsep manusia terbagi atas dua realitas, yaitu realitas indra dan realitas rohani. Realitas indra mencakup badan (makam jiwa), dan bersifat sementara. Realitas Rohani mencakup jiwa bersifat abadi. Realitas jiwa merupakan nilai tertinggi melalui proses pencapaian kebahagiaan (dalam bahasa religius: manusia mencapai kebahagiaan apabila menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi) . Manusia menurut Plato akan mencapai eksistensinya apabila terarah kepada Yang Ilahi. Aristoteles (384-322 SM) konsep manusia bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris. Kemampuan akal budi manusia membuat abstraksi bertujuan mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Aristoteles memahami manusia melalui pendekatan empiris. Filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia, dan bagaimana manusia bertindak untuk mencapai tujuan hidup.

Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi


Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi
Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan terbagi atas lima kelompok: pertama, pandangan tentang manusia tidak berdasar pada filsafat atau ilmu, melainkan pada kepercayaan religius, dan pada pokok berasal dari sumber Yahudi dan Kristiani. Kedua, pandangan tentang manusia berasal dari penemuan Yunani tentang homo sapiens, atau manusia sebagai makhluk rasional. Ketiga, teori bersifat naturalistis, positivistis, dan pragmatis tentang homo faber, menganggap manusia bukan muncul dari diri sendiri, melainkan sebagai hasil perkembangan alam; manusia merupakan hewan memiliki pemikiran luas dan mampu menggunakan simbol dan alat. Konsep keempat, manusia terpengaruh oleh pandangan pesimisme Schopenhauer, memandang manusia secara negatif, sebagai kemerosotan; manusia telah meninggalkan kehidupan, telah melepaskan suasana kosmis suci. Konsep kelima tentang manusia terdapat dalam ide “manusia super” (Ubermensch) dari Nietzsche.

Terminologi Kemanusiaan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi


Terminologi Kemanusiaan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi
Bahasa Inggris kemanusiaan adalah humanity. Kata humanity terdiri dari banyak kata yaitu human, humane, humanism, humanist, humanitarian. Akar kata kemanusiaan adalah manusia (man) dan dalam bahasa Latin homo hominis atau humanus. Skala Internasional perkembangan kata kemanusiaan berawal dari abad ke 14 humanitd mengarah pada unsur kesopanan (politeness). Pada abad ke 16 penggunaan kata kemanusiaan menjadi humane, dan kata ini mengarah pada human nature, human language, dan human reason. Pada abad ke 17, humanist menggambarkan grup sekolah pada masa renaisans. Pada abad ke 18, humanism dari kata humanismus tertuju pada tema budaya (culture) dan peradaban (civilization). Pada abad ke 19, humanities berhubungan dengan sikap (attitude) dan kesempurnaan (perfection). Pada abad ke 20, humanitarian berhubungan dengan tindakan individu dan kesejahteraan (welfare).1

Agama dalam fase masyarakat Industri - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Agama dalam fase masyarakat Industri - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Agama dalam fase masyarakat Industri: ciri-ciri agama fase industri adalah pemisahan antara supernatural dan natural. Agama bersifat universal, dan sekularisasi menciptakan ideologi-ideologi baru seperti: agama masyarakat (“civil religions”), nasionalisme, kapitalisme, dan humanisme.8 Dimensi dunia sosial: kultur sebagai konstitusi subjektif dan tindakan manusia, seperti kultur agraris. Di satu sisi, kultur adalah pemahaman umum seperti hukum pernikahan, dan doktrin agama dalam sebuah masyarakat. Kultur dalam pikiran kolektif sosial berada pada bahasa, kepercayaan, dan nilai suatu komunitas. John Scott memahami kultur sebagai mentalitas kolektif: culture as collective mentality

Agama dalam fase masyarakat nomadik - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Agama dalam fase masyarakat nomadik  - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Agama dalam fase masyarakat nomadik: agama berintegrasi dalam kelompok kekerabatan (kinship). Ciri-ciri Agama fase nomadik adalah kekuatan simbol-simbol.5 Agama dalam fase masyarakat agraris: Ciri-ciri kepercayaan masyarakat agraris adalah pemahaman konsep supernatural. Mitologi sebagai nilai dan moral berasal dari supernatural. Konsep Panteisme (ajaran menyamakan Tuhan dengan kekuatan dan hukum alam; penyembahan kepada semua Dewa dari berbagai kepercayaan). Ritual masyarakat agraris berdasar kalender, dan klerus (golongan rohaniwan) sebagai kontrol ekonomi ritualisasi.6 Keagamaan masyarakat agraris terdiri dari kelompok sosial. kelompok sosial merupakan sejumlah orang hidup bersama dalam suatu area tertentu secara permanen memiliki seperangkat tatanan norma, nilai, dan harapan sama dan secara sadar dan teratur saling berinteraksi. Berikut pernyataan Pippa Norris: “in the agrarian societies, religiosity was strong and broadly distributed across most social groups by gender, age, work status, income, and marital status”.

Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Metode pendekatan memahami kemanusiaan dalam dunia keagamaan melalui jalur fenomenologi agama. Penelitian fenomenologi agama menyelidiki tradisi keagamaan. Hasil penyelidikan mencatat tradisi keagamaan adalah plural. Realitas plural keagamaan melalui dialektika fenomenologi, dan berfungsi untuk memahami perbedaan dimensi setiap keagamaan dalam pandangan dunia agama. Penulis mengikuti pendapat Ninian Smart dalam tujuh dimensi agama: “1) the ritual or practical dimension, 2) the doctrinal or philosophical dimension, 3) the mythic or narrative dimension, 4) the experiential or emotional dimension, 5) the ethical or legal dimension, 6) the organizational or social component, 7) the material or artistic dimension”.
Pertama, ritual sebagai dimensi praktis berada dalam kegiatan seperti penyembahan, meditasi, ziarah, pengorbanan, ritus, sakramen, dan aktivitas penyembuhan. Kedua, doktrin sebagai dimensi filosofi berfungsi membantu individu memahami ajaran agama, dan eksistensi doktrin. Contoh doktrin kefanaan dalam tradisi Buddha. Ketiga, mite sebagai dimensi naratif melalui cerita agama, dan histori tradisi agama. Contoh cerita kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus dalam iman Kristen. Keempat, pengalaman sebagai dimensi emosional adalah signifikan dalam sejarah agama, karena pengalaman bersifat visioner dan meditatif. Contoh pencerahan dalam Buddha, visi nabi Muhammad dalam Islam, dan konversi Paulus dalam Kristen. Kelima, etika sebagai dimensi legal dalam bentuk imperatif seperti contoh perintah taurat dalam Yahudi ortodoks, dan syariat dalam Islam. Perkembangan etika sebagai dimensi legal dalam nasional modern terdapat dalam norma sipil dan aturan di sekolah. Keenam, organisasi sebagai komponen sosial dalam spesialis agama seperti para imam, guru, rabi. Ketujuh, material sebagai dimensi artistik berada dalam paham seni bangunan ibadah seperti gereja, dan masjid. Pendapat Armin W. Geertz perihal studi agama: “The study of religion is a theoretical project, exploring an academic construction called „religion‟, which is informed by empirical evidence perceived in terms of a whole range of ideas and assumptions. Religious ideas are connected to human emotional systems. Religious ideas are primarily a function of the social mind. Religion is not a cognitive illusion as such”.
Aspek fundamental kognisi manusia adalah kesadaran, representasi, simbol, bahasa dan. emosi. Lima tema kognisi dalam studi sosiologi agama adalah pertama, origins dan evolutions; kedua, kesadaran dan pribadi; ketiga, naratif, kognisi, dan budaya; keempat, linguistik kognisi; dan kelima, ritual dan kognisi. Orisinal dan evolusi adalah evolusi kognisi dan budaya manusia sebagai contoh penelitian Merlin Donald dalam Origins of Modern Mind adalah tiga fase transisi Homo Erectus repsentasi mimetik ritual menari, dan gestur drama; Homo Sapiens: bahasa, budaya mite (myth); mistik ke teori; evolusi biologi manusia. Penelitian Terrence W. Deacon mengenai neurobiologi adalah seksual reproduksi; seleksi seksual dan ritualisasi, perkawinan sebagai komunikasi simbolik. Demonstrasi simbol sebagai fungsi agama adalah menjelaskan dunia jahat dan penderitaan; ancaman kematian; keteraturan sosial moral masyarakat; ilusi. Kesadaran dan pribadi: neural mapping: pikiran, pribadi, memori, sejarah, dan dunia.


Kemanusiaan dalam Diskursus Sosiologi Agama


Kemanusiaan dalam Diskursus Sosiologi Agama
Penulis memahami kemanusiaan dalam sosiologi agama sebagai dua dimensi dunia, yaitu dimensi dunia religius dan dimensi dunia sosial. Kemanusiaan terdiri dari dua ruang lingkup dan dua sisi. Pemisahan dunia religius dan dunia sosial bertujuan memahami karakteristik kemanusiaan dari kedua sudut pandang. Prinsip Agama dan masyarakat bahwa agama dalam masyarakat adalah fakta sosial, dan nilai-nilai keagamaan mempengaruhi eksistensi masyarakat. Dua bentuk diskursus sosiologi agama adalah normatif dan empiris. Normatif mengikuti teori-teori sosial seperti contoh teori Karl Marx, Emile Dhurkeim, Max Weber, dan empiris dipahami melalui fakta sosial, ekspresi agama, praktis agama, implikasi, inter-relasi pendekatan geografik, tematik, demografi, dan motivasi keagamaan. Relasi antara edukasi dan agama adalah signifikan dalam sosiologi agama: “the connection between education and religious preferences and choices is of continuing importance for sociologists of religion”