Sunday, December 9, 2018

Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)


Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Agama (A religious ethic of brotherliness)
Persaudaraan dalam etika agama menurut Weber bersifat irasional dan erotisme, khusus perihal rasionalisasi keselamatan dalam agama. Prinsip persaudaraan dalam etika agama cenderung radikal dan antagonis terhadap realita empiris, berikut pendapat Weber: “a principled ethic of religious brotherthood is radically and antagonistically opposed to all the value of eroticism. Weber notes that prophetic and priestly religion have stood in “intimate relation with rational intellectualism” because the “more „doctrine‟ a religion contains, the greater is its need for rational apologetics”. The need for doctrine in prophetic and priestly religion is based on the fact that there is basic contradiction between the fundamental postulate of religion and the observed empirical reality”.48 Penelitian Weber di Asia bahwa doktrin keagamaan bersifat non-kompetisi etika dan reflektif, sedangkan di Eropa bersifat kompetisi etika dan produktif. Pertanyaan Weber terhadap etika adalah apakah etika sebagai tanggung jawab atau etika sebagai keyakinan, atau etika sebagai aturan

Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi


Max Weber (1864-1920) Konteks Persaudaraan dalam Etika Politik dan Ekonomi
Homo politik sebagai personalitas, dan terdiri atas karisma, puritan.44 Pemahaman perihal charisma adalah dasar konsep homo politik Weber. Tipe karisma terbagi dalam tiga bagian, yaitu legitimasi dominasi, tradisional, dan birokratis legal. Pertama, legitimasi dominasi karisma adalah kebenaran atas kuasa (truth of power) dan tipe karisma adalah tipe kuasa dominasi atas devosi. Kedua, tradisional berarti politik sebagai vokasi, dan politik sebagai kepemimpinan. Ketiga, birokratis legal berarti politik sebagai distribusi kuasa, dan karakter manusia politis. Tipe kepemimpinan karismatis dalam penelitian Weber di Asia melalui ciri keagamaan di Asia seperti di Cina dan India adalah ortodoks dan heterodoks. Sifat agama di Asia adalah representasi irasional dalam sistem etika agama, dan tidak koheren. Penelitian Weber perihal homo politik adalah konteks Eropa dan Asia. Eropa bersifat rasional, dan Asia bersifat irasional. Penelitian Weber terhadap konfusius bahwa individu adalah habitat kohesif. Komparasi Konfusianisme di Asia dan Puritanisme di Eropa dalam perspektif Weber: “Weber defined personality as “a concept which entails a constant and intrinsic relation to certain ultimate „value‟ and „meaning‟ of life”. the interests of Asiatic intellectuality, so far as it was concerned with every day life, lay primarily in directions other than political”. 45 Penelitian Weber dalam masyarakat Yunani Kuno mengasumsikan bahwa persaudaraan pra-kekristenan adalah rumah bersama “housing together” dalam bahasa Yunani adalah synoikismos. Berikut pendapat Weber: “Die Stadt”: the political situation of medieval townsman determined his path of a homo oeconomicus, whereas in antiquity the polis preserved during its heyday its character as the technically most advanced military organization. The ancient townsman was a homo politicus”. 46 Analisis Weber bahwa negara dan dominasi sebagai kontribusi sosiologi politik. Tipologi dominasi yaitu hak tradisional, hak karismatik, hak legal definisi Negara. Pandangan Weber: “the term „charisma‟ will be applied to a certain quality of an individual personality by virtue of which he is considered extraordinary and treated as endowed with supernatural, superhuman, or at least specifically exceptional power or qualities”. 47 Masyarakat tradisional dalam pengaruh karisma terhadap perubahan sosial bersifat revolusi. Masyarakat modern dalam pengaruh karisma berada dalam relasi vokasi. Figur karismatik dalam masyarakat tradisional adalah harapan rakyat akan putus asa. Tipikal karismatik dalam masyarakat tradisional adalah pahlawan, nabi, dan penyelamat. Pergerakan karismatik dalam masyarakat tradisional adalah tipikal organisasi patrimonial. Di satu sisi, karisma tidak hanya sebagai kualitas individu, karena pemimpin karismatik adalah bagian komunitas, dan karismatik terdapat pengikut dan murid. Sifat laten perjuangan berada antara manusia sebagai individu majemuk atau tipe sosial. Tipe sosial Weber yaitu tradisional, afektual, nilai rasional, dan rasional instrumental. Rasional sebagai nilai adalah ide, rasional sebagai instrumen adalah material. Sosial berada dalam ide dan emosi aktor-aktor sosial. Persaudaraan agama dan dunia dalam lingkaran ekonomi berangkat dari cara hidup masyarakat purba dalam kepercayaan magis seperti asketik. Persaudaraan kelompok militer dalam perang berbeda dengan persaudaraan dalam kelompok agama. Nilai ekonomi, politik, agama tidak dapat terdamaikan. Fenomena aturan ekonomi menggantikan cinta melalui kompetisi pasar, dan menggantikan saudara dengan uang.

Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)


Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Etika Persaudaraan (ethic of brotherliness)
Konsep “brotherhood” sebagai fondasi cinta dalam komunitas, dan persaudaraan sebagai hukum natural (Brotherhood as a law of nature). Konsep etika persaudaraan Weber sesuai dengan realita fraternitas melalui konferensi sosiologi di Frankurt terdapat fenomena meminum darah tercampur sebagai kontrak primitif. Fraternitas tidak hanya berdasar atas relasi darah, dan makanan bersama. Pada abad ke-13 di Eropa, salah satu ciri kebudayaan fraternitas pelajar adalah menyanyi dan minum bersama. Pengalaman sosial Weber adalah tipe manusia berdasar budaya, agama, dan ekonomi.43 Konsep etika persaudaraan membudaya di kalangan pelajar di Jerman masa Weber. Konsep kemanusiaan Weber berada dalam pemahaman tindakan manusia dan tindakan sosial.

Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural


Max Weber (1864-1920) Konteks Kemanusiaan dalam Sosio-Kultural
Penulis memahami konsep “brotherhood” Weber adalah bagian dari konsep sosiokultural. Menurut penulis terdapat tiga pokok penelitian Weber dalam sosio-kultural, yaitu ekonomi, politik, dan agama. Pertama, ekonomi bahwa kata kunci memahami sosio-kultural Weber dalam bidang ekonomi, antara lain kelas dan kapitalisme. Kelas menurut Weber sebagai status sosial, dan berfungsi sebagai petunjuk posisi seseorang dalam sebuah kelompok. Situasi dalam kelas sosial terdapat kompetisi dan monopoli. “mode of distribution monopolizes the opportunities for profitable deals for all those who provided with goods”.41 Kapitalisme dalam perspektif Weber adalah kompleks dan variabel. Faktor kelahiran kapitalisme dipengaruhi teknologi modern, rasionalisasi, uang, dan pekerjaan. Kata kunci memahami kapitalisme Weber adalah afinitas elektif antara ekonomi dan kepercayaan religius. Agama sebagai faktor kapitalisme dalam penelitian Weber seperti di Inggris. Berikut pernyataan Weber: “capitalism with religious factors may have come about in the days of the early development of capitalism. Methodist workmen in the eighteenth century met at the hands of their comrades were not solely nor even principally the result of their religious eccentricities, England had seen many of those and more striking ones”.

Max Weber (1864-1920) Konteks Ide Kemanusiaan Weber sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Ide Kemanusiaan Weber sejarah
Sumber primer buku asli Max Weber: Wirtschaft und Gesellschaft 1910 (economy and society) dalam “outlines of universal social and economic history 1919-1920” dan Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus 1904-1905 (The protestant Ethic and the spirit of Capitalism). Penulis memanfaatkan dua buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, From Max Weber: Essay in Sociology: H.H. Gerth & C.Wright Mills sebagai translator; kedua The protestant Ethic and the spirit of Capitalism: Talcott Parsons sebagai translator. Penulis memahami ide kemanusiaan Weber melalui tema sentral, yaitu pertama kemanusiaan dalam sosio-kultural (sociocultural), dan kedua, kemanusiaan dalam etika persaudaraan.

Max Weber (1864-1920) Konteks Sosial dan Politik sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Sosial dan Politik sejarah
Hidup Weber dari masa kecil berada dalam lingkungan politik. Tradisi keluarga seperti pekerjaan ayah Weber sebagai politikus pemerintahan di Berlin, dan anggota partai nasional liberal turut mempengaruhi pemikiran Weber dalam politik. Jerman masa Weber adalah masa isu politik. Atmosfer politik di Jerman khusus di Prusia mempengaruhi Weber. Usia muda Weber telah menjelma sebagai politikus masa Bismarck‟s (1880) Realpolitik. “In his childhood, Weber must have listened to frequent political discussions in his father‟s house; likewise he got to know the great figures of German liberalism through personal observation”.39 Pengalaman sosial Weber berada dalam relasi keluarga dan masyarakat di Strassburg, seperti pengalaman religius Pantekosta dalam keluarga Baumgarten, dan kondisi sosial seperti masyarakat pertanian di Jerman Timur. Penelitian Weber di Jerman Timur adanya isu komersialisasi di bawah gaya hidup patriarki, dan politik agitasi.4


Max Weber (1864-1920) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah


Max Weber (1864-1920) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah
Max Weber lahir 21 April 1864 di Efurt, Thuringia. Weber anak pertama dari delapan bersaudara. Ayah bernama Max Weber bekerja sebagai dewan pemerintah, dan ibu Helene Fallenstein Weber adalah pencinta budaya dan kepercayaan Protestan. Pada umur dua tahun Weber menderita meningitis. Pada umur 13 tahun, Weber sudah menulis esai sejarah: “Concerning the course of German history”. Pada 1882, belajar di Heidelberg, 1884 belajar hukum dan ekonomi di Berlin. Usia 20 tahun Pengalaman militer di Alsace. Pada usia 26 tahun 1889 Weber memperoleh gelar doktor dengan judul disertasi „the agrarian history of Rome‟ (1891) dan the history of law, concerning North Italian trading companies in Midle Ages. Tahun 1891 bekerja sebagai dosen, 1893 menikah dengan Marianne Schnitger, dan tahun 1903 mengundurkan diri sebagai dosen. Latar belakang pendidikan di Jerman pada tahun 1800-1900 berada pada titik filsafat dan budaya. Tokoh sosiolog pertama di Jerman yang mempengaruhi Weber adalah Ferdinand Tönnies dengan tulisan Community and Society (1887) dan Georg Simmel dengan tulisan The essay “On Social Differentiation” (1890).

Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Kemanusiaan dalam Dimensi Positivistik


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Kemanusiaan dalam Dimensi Positivistik
Argumentasi Comte dalam memahami nilai dan karakter filosofi positivistik adalah pemahaman fase perkembangan pengetahuan manusia, yaitu teologi sebagai fiktif, metafisika sebagai abstrak, dan sains sebagai positif. Berikut pernyataan Comte: “in order to understand the true value and character of positive philosophy, we must take a brief general view of the progressive course of the human mind: the theological, or fictitious; the metaphysical, or abstract; and the scientific, or positive. In the theological state: the human mind seeking the essential nature of beings, all phenomena to be produced by the immediate action of supernatural beings. In the metaphysical state: the mind supposes instead of supernatural beings abstract force. In the final, positive state: the mind has given over the vain search after absolute notions, the origin and destination of the universe, and the causes of phenomena”.21 Premis Comte dalam buku Course of Positive Philosophy adalah hukum natural (natural law), dan hukum inheren dalam natural. Comte memahami pengetahuan level pertama sebagai pengetahuan primitif (primitive knowledge). Pengetahuan level pertama berada pada kemagisan dan agama. Konsep omnipresent (Tuhan hadir di segala tempat) sebagai jalan memahami dunia dan sekitar. Level pertama ini disebut theological (teologis), dan dimensi sosial teologi mengarah pada perbudakan dan despotisme militer. Fase teologi terbagi tiga, yaitu animisme atau fetisisme (kepercayaan dan penyembahan benda-benda), politeisme (kepercayaan lebih dari satu Dewa atau Tuhan), dan monoteisme (kepercayaan kepada satu Tuhan). Level pengetahuan kedua adalah metaphysical (metafisika). Titik-tolak metafisika berdasar abstrak dan konsepsi. Unsur-unsur pendekatan metafisika adalah mengkategorikan, logis, dan kebijaksanaan filsuf. Dimensi sosial level metafisika berkenaan dengan identitas hukum dan sistem legal politik. Level ketiga adalah positivism (positivisme). Level ini ditandai dengan aplikasi logis, ilmu ilmiah, dan empiris. Dimensi sosial level positivisme adalah industri dan teknik. Comte berpendapat bahwa teori evolutionary hierarchy hadir di semua tempat. Masyarakat sebagai contoh mengalami perkembangan dari primitif menuju kemajuan.


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Ide Kemanusiaan Comte


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Ide Kemanusiaan Comte
Sumber primer buku asli Auguste Comte: Cours de philosophie positive (1830-1842) enam volume, dan Systéme de politique positive, ou Traité de sociologie instituant la religion de L‟Humanité (1851-1854) empat volume. Alasan keterbatasan penulis memahami buku bahasa Prancis, maka penulis memanfaatkan tiga buku sumber primer terjemahan ke dalam bahasa Inggris, yaitu pertama, the positive philosophy of Auguste Comte: Harriet Martineau sebagai translator; kedua, system of positive polity: John Henry Bridges sebagai translator; dan ketiga, the catechism of positive religion (1852): Richard Congreve sebagai translator. Penulis menggunakan buku sumber sekunder seperti salah satu tulisan Mary Pickering: “Auguste Comte: An Intellectual Biography volume 1-3”. Penulis memahami ide kemanusiaan Comte diuraikan melalui tiga tema sentral, yaitu pertama: kemanusiaan dalam dimensi Positivistik, kedua: kemanusiaan dalam „sociocracy‟, dan ketiga: kemanusiaan dalam „religion of humanity‟


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Sosial dan Politik sejarah


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Sosial dan Politik sejarah
Konteks sosial dan politik periode kelahiran Comte berada dalam gejolak revolusi Prancis (1789-1799) dan pemberontakan masa pemerintahan Kaisar Napoleon. Comte hidup pada masa kegelisahan akibat despotisme (kekuasaan sistem pemerintahan tidak terbatas atau sewenang-wenang). Pada masa raja Louis Philippe I tahun 1830, perkembangan industrialisasi di Prancis mengubah pemandangan politik. Industrialisasi menghadirkan kelas baru (new classes) bagi setiap individu. Pengupahan kaum borjuis terhadap pekerja pabrik sebagai contoh sistem struktur. Sosiologi Comte dipengaruhi kondisi ekonomi, politik, dan sosial revolusi Prancis.

Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah


Teori Kemanusiaan Auguste Comte (1798-1857) Konteks Keluarga dan Pendidikan sejarah
Auguste Comte lahir tanggal 19 Januari 1798 di Montpellier sebuah kota wilayah Selatan Prancis, dan Meninggal di Paris karena kanker perut pada 5 september 1857. Nama lengkap Isidore-Auguste-Marie-Francois-Xavier Comte. Ayah Comte bernama Louis Comte bekerja di kantor pajak, dan ibu Rosalie Boyer seorang royalist (pendukung raja atau pemerintahan). Comte hidup dalam keluarga tradisi Roma-Katolik, dan tradisi borjuis. Usia 14 tahun, Comte meninggalkan kepercayaan pada Tuhan, dan politik Comte mengikuti antiroyalist bertentangan dengan keluarga Comte sebagai royalist. Pada tahun 1814, Comte studi di perguruan tinggi politeknik (École Polytechnique) kota Paris. Awal memasuki pendidikan di Ecole, pihak perguruan tidak mengizinkan Comte dengan alasan usia dini mampu meraih nilai tertinggi. Pendidikan di politeknik berdasar pada matematika, dan menghadirkan perdebatan pandangan antara royalist dan anti-royalist.
Pertentangan pandangan politik tahun 1816 Comte memisahkan diri dari keluarga. Tahun 1817, Comte bekerja sebagai sekretaris Henri Saint-Simon (1760-1825). Pemikiran SaintSimon perihal teori sejarah dan sistem moral (supernatural-politeistik moral: Roma-Yunani; Teisme Kristen: sains sokratis, feodalisme, dan Abad Pertengahan; positivisme: masyarakat industri) kemudian mempengaruhi pemikiran Comte perihal tiga hukum fase intelektual manusia. Tahun 1824, Comte memisahkan diri dari H. Saint-Simon dan di Paris Comte bekerja sebagai jurnalis dan tutor demi mencukupi biaya pendidikan. Pada tahun 1825, Comte menikah dengan Caroline Massin, dan pada 1842, usia 44 tahun Comte bercerai dengan Massin. Dua tahun kemudian tahun 1844, Comte menaruh hati pada wanita bernama Madame Clothilde de Vaux, dan tidak lama perasaan Comte berubah ketika Clothilde meninggal tahun 1846 usia 31 tahun. Tulisan Comte pertama dipublikasikan antara tahun 1830 dan 1842 dengan judul: Course of Positive Philosophy. Comte menyebut dirinya sebagai imam kemanusiaan“High Priest of Humanity” pada pengantar tulisannya System of Positive Polity. Awal dan akhir karir Comte bagi kalangan akademik maupun intelektual disebut sebagai penemu ilmu sosial (the founder of sociology). Comte mempelajari ide-ide filsafat hukum pada abad 18 disebut abad pencerahan (Enlightment). Empat tokoh berpengaruh dalam pemikiran Comte: Charles Montesquieu (1689-1755); Jacques Turgot (1727-1781); Jean Condorcet (1743-1794); dan Claude Henri de Saint-Simon (1760-1825).

Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat


Peter L. Berger (1929-). Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan terdapat dalam beberapa karya tulis seperti The Social Construction Of Reality. Konsep mengenai konstruksionisme oleh sosiolog interpretative: Peter L. Berger bersama Thomas Luckman banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat memiliki pengertian bahwa seseorang baru menjadi seorang pribadi beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak sebagai ketertutupan lepas dari dunia luar. Manusia berusaha menangkap diri dalam menghasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang tercapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif akan menghadapi si penghasil sebagai fakta yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses objektivasi, bahwa masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan ia dibentuk dan dikonstruksi. Pemahaman realitas berwajah ganda atau plural bahwa setiap manusia mempunyai konstruksi berbedabeda atas suatu realitas.

Emmanuel Levinas (1905-1995) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Emmanuel Levinas (1905-1995), Pemikiran Levinas mengenai kemanusiaan terdapat dalam beberapa tulisan, yaitu Totality and Infinity dan Otherwise Than Being. Levinas di sini berupaya memikirkan ulang konsep dan realitas dari “Yang Lain” (Autrui).16 Pemikiran kemanusiaan Levinas seperti contoh konteks pembunuhan. Pembunuhan mengandung kontradiksi logis, dan kontradiksi praktis (in actu exercito). Kontradiksi praktis adalah apa yang dikatakan dan disangkal oleh perbuatan sendiri. Di satu pihak si pembunuh menemui korban, berarti ia mengakui dia sebagai orang lain, ia mengakui dia sebagai sesama manusia, dan di lain pihak, ia menyangkal dia sebagai orang lain, sehingga ia mencabut nyawanya. Kontradiksi adalah bahwa si pembunuh mengakui orang lain sebagai “engkau”, tapi bersamaan ditambahkan “engkau tidak boleh hidup”, “tidak ada tempat untukmu di dunia ini”. Kenyataan ini sebagaimana dalam uraian Levinas bahwa orang lain adalah tampak baginya sebagai “Wajah” (le visage) yang menyapa saya. Apa yang dikatakannya kepada saya, orang lain tidak menggunakan modus indicativus, melainkan modus imperativus. Ia mewajibkan saya untuk mengakui dia sebagai orang lain. Wajah itu mengimbau saya, mengatakan apa yang harus saya lakukan, menunjukkan kewajiban saya terhadapnya. Penampilan “Wajah” menyuruh saya menghormati dia. Inti imbauan Wajah itu kepada saya adalah: “jangan membunuh”. Sebagai pembunuh saya jatuh dalam kontradiksi, karena saya mengakui korban sebagai orang lain dan serentak juga melanggar imbauan yang keluar dari alteritasnya. Saya mengadakan totalisasi. Saya memasukkan alteritas orang lain dalam totalitas saya, kata Levinas. Penyangkalan alteritas orang lain bisa terjadi dengan pelbagai cara. Banyak bentuk untuk memasukkan orang lain. dalam proyek totalisasi saya. Misalnya, saya bisa mendominasi orang lain untuk “menggunakan” dia bagi tujuan saya. Penyangkalan alteritas orang lain paling ekstrem adalah dengan membunuh dia. Pembunuhan adalah penyangkalan paling radikal. Pembunuhan adalah cara paling ekstrem untuk memasukkan orang lain dalam proyek totalisasi saya; begitu ekstrem, sehingga alteritasnya tercaplok sama sekali, tidak ada sisa lagi.

Max Scheler (1874-1928) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Max Scheler (1874-1928), menurut Scheler bahwa manusia mencapai hakikat apabila mentransendensikan diri sendiri. Kemampuan transenden adalah ciri khas manusia. Manusia mencapai hakikat dalam Iman dan Cinta kepada Tuhan dalam kebersamaan sebuah umat beragama

Karl Marx (1818-1883),- Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Karl Marx (1818-1883), konsep manusia bahwa dunia manusia adalah negara dan masyarakat. Marx memahami manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi kesosialan manusia berada di dalam Negara. Pekerjaan merupakan tema sentral Marx dalam memahami manusia. Marx membedakan kekhasan pekerjaan antara manusia dan binatang. Binatang bekerja di bawah desakan naluri sesuai kebutuhan, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikat ke dalam realitas alami. Alam manusia mencerminkan siapa itu manusia, dan membuktikan realitas hakikat manusia. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial melalui pekerjaan. Ketergantungan antara individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai dasar.

Immanuel Kant (1724-1804) - Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat

Immanuel Kant (1724-1804), kemanusiaan sebagai predisposisi (humanity as a predisposition). Predisposisi berarti kecenderungan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma. Kant membagi tiga fundamen manusia (human nature), yaitu animality; humanity; dan personality. Pertama, animality berkaitan dengan insting seperti memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan seks. Kant menamai proses insting dengan mechanical self-love. Kedua, humanity berada antara predisposisi animality dan personality. Kant membagi dua bentuk predisposisi humanity dalam antropologi, yaitu “technical predisposition” (teknik imperatif dalam hal pembelajaran seperti belajar seni dan ilmu lain) dan “pragmatic predisposition” (aspek pragmatik berkaitan dengan kebijaksanaan atau prudence). Aspek pragmatik dalam humanitas berdiri di atas rasio atau self-love dan berhadapan dengan kondisi sosial. Ketiga, personality berkaitan dengan kesadaran pribadi terhadap moral, dan otonom manusia menyikapi persoalan moral.

Peter L. Berger (1929-) Emmanuel Levinas (1905-1995), Max Scheler (1874-1928) Karl Marx (1818-1883), Immanuel Kant (1724-1804) Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat


Komparasi Konsep Kemanusiaan: Interdispliner Sosiologi dan Filsafat
Immanuel Kant (1724-1804), kemanusiaan sebagai predisposisi (humanity as a predisposition). Predisposisi berarti kecenderungan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma. Kant membagi tiga fundamen manusia (human nature), yaitu animality; humanity; dan personality. Pertama, animality berkaitan dengan insting seperti memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan seks. Kant menamai proses insting dengan mechanical self-love. Kedua, humanity berada antara predisposisi animality dan personality. Kant membagi dua bentuk predisposisi humanity dalam antropologi, yaitu “technical predisposition” (teknik imperatif dalam hal pembelajaran seperti belajar seni dan ilmu lain) dan “pragmatic predisposition” (aspek pragmatik berkaitan dengan kebijaksanaan atau prudence). Aspek pragmatik dalam humanitas berdiri di atas rasio atau self-love dan berhadapan dengan kondisi sosial. Ketiga, personality berkaitan dengan kesadaran pribadi terhadap moral, dan otonom manusia menyikapi persoalan moral.13 Karl Marx (1818-1883), konsep manusia bahwa dunia manusia adalah negara dan masyarakat. Marx memahami manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi kesosialan manusia berada di dalam Negara. Pekerjaan merupakan tema sentral Marx dalam memahami manusia. Marx membedakan kekhasan pekerjaan antara manusia dan binatang. Binatang bekerja di bawah desakan naluri sesuai kebutuhan, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakikat ke dalam realitas alami. Alam manusia mencerminkan siapa itu manusia, dan membuktikan realitas hakikat manusia. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial melalui pekerjaan. Ketergantungan antara individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai dasar.14 Max Scheler (1874-1928), menurut Scheler bahwa manusia mencapai hakikat apabila mentransendensikan diri sendiri. Kemampuan transenden adalah ciri khas manusia. Manusia mencapai hakikat dalam Iman dan Cinta kepada Tuhan dalam kebersamaan sebuah umat beragama.15 Emmanuel Levinas (1905-1995), Pemikiran Levinas mengenai kemanusiaan terdapat dalam beberapa tulisan, yaitu Totality and Infinity dan Otherwise Than Being. Levinas di sini berupaya memikirkan ulang konsep dan realitas dari “Yang Lain” (Autrui).16 Pemikiran kemanusiaan Levinas seperti contoh konteks pembunuhan. Pembunuhan mengandung kontradiksi logis, dan kontradiksi praktis (in actu exercito). Kontradiksi praktis adalah apa yang dikatakan dan disangkal oleh perbuatan sendiri. Di satu pihak si pembunuh menemui korban, berarti ia mengakui dia sebagai orang lain, ia mengakui dia sebagai sesama manusia, dan di lain pihak, ia menyangkal dia sebagai orang lain, sehingga ia mencabut nyawanya. Kontradiksi adalah bahwa si pembunuh mengakui orang lain sebagai “engkau”, tapi bersamaan ditambahkan “engkau tidak boleh hidup”, “tidak ada tempat untukmu di dunia ini”. Kenyataan ini sebagaimana dalam uraian Levinas bahwa orang lain adalah tampak baginya sebagai “Wajah” (le visage) yang menyapa saya. Apa yang dikatakannya kepada saya, orang lain tidak menggunakan modus indicativus, melainkan modus imperativus. Ia mewajibkan saya untuk mengakui dia sebagai orang lain. Wajah itu mengimbau saya, mengatakan apa yang harus saya lakukan, menunjukkan kewajiban saya terhadapnya. Penampilan “Wajah” menyuruh saya menghormati dia. Inti imbauan Wajah itu kepada saya adalah: “jangan membunuh”. Sebagai pembunuh saya jatuh dalam kontradiksi, karena saya mengakui korban sebagai orang lain dan serentak juga melanggar imbauan yang keluar dari alteritasnya. Saya mengadakan totalisasi. Saya memasukkan alteritas orang lain dalam totalitas saya, kata Levinas. Penyangkalan alteritas orang lain bisa terjadi dengan pelbagai cara. Banyak bentuk untuk memasukkan orang lain. dalam proyek totalisasi saya. Misalnya, saya bisa mendominasi orang lain untuk “menggunakan” dia bagi tujuan saya. Penyangkalan alteritas orang lain paling ekstrem adalah dengan membunuh dia. Pembunuhan adalah penyangkalan paling radikal. Pembunuhan adalah cara paling ekstrem untuk memasukkan orang lain dalam proyek totalisasi saya; begitu ekstrem, sehingga alteritasnya tercaplok sama sekali, tidak ada sisa lagi.17 Peter L. Berger (1929-). Pemikiran Peter L. Berger tentang kemanusiaan terdapat dalam beberapa karya tulis seperti The Social Construction Of Reality. Konsep mengenai konstruksionisme oleh sosiolog interpretative: Peter L. Berger bersama Thomas Luckman banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat memiliki pengertian bahwa seseorang baru menjadi seorang pribadi beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak sebagai ketertutupan lepas dari dunia luar. Manusia berusaha menangkap diri dalam menghasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang tercapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif akan menghadapi si penghasil sebagai fakta yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Proses objektivasi, bahwa masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan ia dibentuk dan dikonstruksi. Pemahaman realitas berwajah ganda atau plural bahwa setiap manusia mempunyai konstruksi berbedabeda atas suatu realitas.

Aristoteles (384-322 SM) - Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Aristoteles (384-322 SM) konsep manusia bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris. Kemampuan akal budi manusia membuat abstraksi bertujuan mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Aristoteles memahami manusia melalui pendekatan empiris. Filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia, dan bagaimana manusia bertindak untuk mencapai tujuan hidup.

Plato (427-348 SM) - Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani - Plato (427-348 SM)

Plato (427-348 SM) konsep manusia terbagi atas dua realitas, yaitu realitas indra dan realitas rohani. Realitas indra mencakup badan (makam jiwa), dan bersifat sementara. Realitas Rohani mencakup jiwa bersifat abadi. Realitas jiwa merupakan nilai tertinggi melalui proses pencapaian kebahagiaan (dalam bahasa religius: manusia mencapai kebahagiaan apabila menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi) . Manusia menurut Plato akan mencapai eksistensinya apabila terarah kepada Yang Ilahi. 

Sokrates (469-399 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Sokrates (469-399 SM) konsep manusia berkaitan dengan paham-paham etis melalui pendekatan dialogis. Paham etis Sokrates mengantar manusia menjadi pelaku keadilan meskipun manusia itu mengalami ketidakadilan.

Demokritos (460- 371 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Demokritos (460- 371 SM) konsep manusia berkaitan dengan kehidupan praktis sebagai idealisme nilai tertinggi. Manusia masuk dalam kerangka hedonistik dengan kalimat “manusia bukan setiap nikmat, melainkan nikmat dari keindahan dalam pencapaian”.

Pytagoras (570-496 SM) Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani

Filsafat Yunani turut mempengaruhi perkembangan ilmu di Barat dan filsuf Islam pada abad pertama. Pytagoras (570-496 SM) konsep manusia berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika sebagai dasar realitas. Manusia berada dalam pemahaman ajaran reinkarnasi  (badan merupakan kubur jiwa atau soma-sema “tubuh-kubur”). Pembebasan jiwa dari badan manusia melalui jalan pembersihan. Kegiatan pembebasan ini menempuh jalan dengan berfilsafat dan bermatematika bertujuan membebaskan keterikatan indra menuju kerohanian. Persahabatan dan persaudaraan semua manusia merupakan nilai tertinggi. 

Aristoteles Plato Sokrates Demokritos Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani


Definisi Kemanusiaan Perspektif Yunani
Filsafat Yunani berdasar pada filsafat alam, dan berkembang menjadi metafisika dan etika. Filsafat Yunani turut mempengaruhi perkembangan ilmu di Barat dan filsuf Islam pada abad pertama. Pytagoras (570-496 SM) konsep manusia berkaitan dengan prinsip-prinsip matematika sebagai dasar realitas. Manusia berada dalam pemahaman ajaran reinkarnasi  (badan merupakan kubur jiwa atau soma-sema “tubuh-kubur”). Pembebasan jiwa dari badan manusia melalui jalan pembersihan. Kegiatan pembebasan ini menempuh jalan dengan berfilsafat dan bermatematika bertujuan membebaskan keterikatan indra menuju kerohanian. Persahabatan dan persaudaraan semua manusia merupakan nilai tertinggi. Demokritos (460- 371 SM) konsep manusia berkaitan dengan kehidupan praktis sebagai idealisme nilai tertinggi. Manusia masuk dalam kerangka hedonistik dengan kalimat “manusia bukan setiap nikmat, melainkan nikmat dari keindahan dalam pencapaian”. Sokrates (469-399 SM) konsep manusia berkaitan dengan paham-paham etis melalui pendekatan dialogis. Paham etis Sokrates mengantar manusia menjadi pelaku keadilan meskipun manusia itu mengalami ketidakadilan. Plato (427-348 SM) konsep manusia terbagi atas dua realitas, yaitu realitas indra dan realitas rohani. Realitas indra mencakup badan (makam jiwa), dan bersifat sementara. Realitas Rohani mencakup jiwa bersifat abadi. Realitas jiwa merupakan nilai tertinggi melalui proses pencapaian kebahagiaan (dalam bahasa religius: manusia mencapai kebahagiaan apabila menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi) . Manusia menurut Plato akan mencapai eksistensinya apabila terarah kepada Yang Ilahi. Aristoteles (384-322 SM) konsep manusia bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal empiris. Kemampuan akal budi manusia membuat abstraksi bertujuan mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Aristoteles memahami manusia melalui pendekatan empiris. Filsafat praktis menyelidiki tindakan manusia, dan bagaimana manusia bertindak untuk mencapai tujuan hidup.

Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi


Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi
Pengklasifikasian teori tentang manusia dalam Sosiologi pengetahuan terbagi atas lima kelompok: pertama, pandangan tentang manusia tidak berdasar pada filsafat atau ilmu, melainkan pada kepercayaan religius, dan pada pokok berasal dari sumber Yahudi dan Kristiani. Kedua, pandangan tentang manusia berasal dari penemuan Yunani tentang homo sapiens, atau manusia sebagai makhluk rasional. Ketiga, teori bersifat naturalistis, positivistis, dan pragmatis tentang homo faber, menganggap manusia bukan muncul dari diri sendiri, melainkan sebagai hasil perkembangan alam; manusia merupakan hewan memiliki pemikiran luas dan mampu menggunakan simbol dan alat. Konsep keempat, manusia terpengaruh oleh pandangan pesimisme Schopenhauer, memandang manusia secara negatif, sebagai kemerosotan; manusia telah meninggalkan kehidupan, telah melepaskan suasana kosmis suci. Konsep kelima tentang manusia terdapat dalam ide “manusia super” (Ubermensch) dari Nietzsche.

Terminologi Kemanusiaan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi


Terminologi Kemanusiaan - Kemanusiaan dalam Multi-Definisi
Bahasa Inggris kemanusiaan adalah humanity. Kata humanity terdiri dari banyak kata yaitu human, humane, humanism, humanist, humanitarian. Akar kata kemanusiaan adalah manusia (man) dan dalam bahasa Latin homo hominis atau humanus. Skala Internasional perkembangan kata kemanusiaan berawal dari abad ke 14 humanitd mengarah pada unsur kesopanan (politeness). Pada abad ke 16 penggunaan kata kemanusiaan menjadi humane, dan kata ini mengarah pada human nature, human language, dan human reason. Pada abad ke 17, humanist menggambarkan grup sekolah pada masa renaisans. Pada abad ke 18, humanism dari kata humanismus tertuju pada tema budaya (culture) dan peradaban (civilization). Pada abad ke 19, humanities berhubungan dengan sikap (attitude) dan kesempurnaan (perfection). Pada abad ke 20, humanitarian berhubungan dengan tindakan individu dan kesejahteraan (welfare).1

Agama dalam fase masyarakat Industri - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Agama dalam fase masyarakat Industri - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Agama dalam fase masyarakat Industri: ciri-ciri agama fase industri adalah pemisahan antara supernatural dan natural. Agama bersifat universal, dan sekularisasi menciptakan ideologi-ideologi baru seperti: agama masyarakat (“civil religions”), nasionalisme, kapitalisme, dan humanisme.8 Dimensi dunia sosial: kultur sebagai konstitusi subjektif dan tindakan manusia, seperti kultur agraris. Di satu sisi, kultur adalah pemahaman umum seperti hukum pernikahan, dan doktrin agama dalam sebuah masyarakat. Kultur dalam pikiran kolektif sosial berada pada bahasa, kepercayaan, dan nilai suatu komunitas. John Scott memahami kultur sebagai mentalitas kolektif: culture as collective mentality

Agama dalam fase masyarakat nomadik - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Agama dalam fase masyarakat nomadik  - Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Agama dalam fase masyarakat nomadik: agama berintegrasi dalam kelompok kekerabatan (kinship). Ciri-ciri Agama fase nomadik adalah kekuatan simbol-simbol.5 Agama dalam fase masyarakat agraris: Ciri-ciri kepercayaan masyarakat agraris adalah pemahaman konsep supernatural. Mitologi sebagai nilai dan moral berasal dari supernatural. Konsep Panteisme (ajaran menyamakan Tuhan dengan kekuatan dan hukum alam; penyembahan kepada semua Dewa dari berbagai kepercayaan). Ritual masyarakat agraris berdasar kalender, dan klerus (golongan rohaniwan) sebagai kontrol ekonomi ritualisasi.6 Keagamaan masyarakat agraris terdiri dari kelompok sosial. kelompok sosial merupakan sejumlah orang hidup bersama dalam suatu area tertentu secara permanen memiliki seperangkat tatanan norma, nilai, dan harapan sama dan secara sadar dan teratur saling berinteraksi. Berikut pernyataan Pippa Norris: “in the agrarian societies, religiosity was strong and broadly distributed across most social groups by gender, age, work status, income, and marital status”.

Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial


Kemanusiaan dalam Dimensi Religius dan Dimensi Sosial
Metode pendekatan memahami kemanusiaan dalam dunia keagamaan melalui jalur fenomenologi agama. Penelitian fenomenologi agama menyelidiki tradisi keagamaan. Hasil penyelidikan mencatat tradisi keagamaan adalah plural. Realitas plural keagamaan melalui dialektika fenomenologi, dan berfungsi untuk memahami perbedaan dimensi setiap keagamaan dalam pandangan dunia agama. Penulis mengikuti pendapat Ninian Smart dalam tujuh dimensi agama: “1) the ritual or practical dimension, 2) the doctrinal or philosophical dimension, 3) the mythic or narrative dimension, 4) the experiential or emotional dimension, 5) the ethical or legal dimension, 6) the organizational or social component, 7) the material or artistic dimension”.
Pertama, ritual sebagai dimensi praktis berada dalam kegiatan seperti penyembahan, meditasi, ziarah, pengorbanan, ritus, sakramen, dan aktivitas penyembuhan. Kedua, doktrin sebagai dimensi filosofi berfungsi membantu individu memahami ajaran agama, dan eksistensi doktrin. Contoh doktrin kefanaan dalam tradisi Buddha. Ketiga, mite sebagai dimensi naratif melalui cerita agama, dan histori tradisi agama. Contoh cerita kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus dalam iman Kristen. Keempat, pengalaman sebagai dimensi emosional adalah signifikan dalam sejarah agama, karena pengalaman bersifat visioner dan meditatif. Contoh pencerahan dalam Buddha, visi nabi Muhammad dalam Islam, dan konversi Paulus dalam Kristen. Kelima, etika sebagai dimensi legal dalam bentuk imperatif seperti contoh perintah taurat dalam Yahudi ortodoks, dan syariat dalam Islam. Perkembangan etika sebagai dimensi legal dalam nasional modern terdapat dalam norma sipil dan aturan di sekolah. Keenam, organisasi sebagai komponen sosial dalam spesialis agama seperti para imam, guru, rabi. Ketujuh, material sebagai dimensi artistik berada dalam paham seni bangunan ibadah seperti gereja, dan masjid. Pendapat Armin W. Geertz perihal studi agama: “The study of religion is a theoretical project, exploring an academic construction called „religion‟, which is informed by empirical evidence perceived in terms of a whole range of ideas and assumptions. Religious ideas are connected to human emotional systems. Religious ideas are primarily a function of the social mind. Religion is not a cognitive illusion as such”.
Aspek fundamental kognisi manusia adalah kesadaran, representasi, simbol, bahasa dan. emosi. Lima tema kognisi dalam studi sosiologi agama adalah pertama, origins dan evolutions; kedua, kesadaran dan pribadi; ketiga, naratif, kognisi, dan budaya; keempat, linguistik kognisi; dan kelima, ritual dan kognisi. Orisinal dan evolusi adalah evolusi kognisi dan budaya manusia sebagai contoh penelitian Merlin Donald dalam Origins of Modern Mind adalah tiga fase transisi Homo Erectus repsentasi mimetik ritual menari, dan gestur drama; Homo Sapiens: bahasa, budaya mite (myth); mistik ke teori; evolusi biologi manusia. Penelitian Terrence W. Deacon mengenai neurobiologi adalah seksual reproduksi; seleksi seksual dan ritualisasi, perkawinan sebagai komunikasi simbolik. Demonstrasi simbol sebagai fungsi agama adalah menjelaskan dunia jahat dan penderitaan; ancaman kematian; keteraturan sosial moral masyarakat; ilusi. Kesadaran dan pribadi: neural mapping: pikiran, pribadi, memori, sejarah, dan dunia.


Kemanusiaan dalam Diskursus Sosiologi Agama


Kemanusiaan dalam Diskursus Sosiologi Agama
Penulis memahami kemanusiaan dalam sosiologi agama sebagai dua dimensi dunia, yaitu dimensi dunia religius dan dimensi dunia sosial. Kemanusiaan terdiri dari dua ruang lingkup dan dua sisi. Pemisahan dunia religius dan dunia sosial bertujuan memahami karakteristik kemanusiaan dari kedua sudut pandang. Prinsip Agama dan masyarakat bahwa agama dalam masyarakat adalah fakta sosial, dan nilai-nilai keagamaan mempengaruhi eksistensi masyarakat. Dua bentuk diskursus sosiologi agama adalah normatif dan empiris. Normatif mengikuti teori-teori sosial seperti contoh teori Karl Marx, Emile Dhurkeim, Max Weber, dan empiris dipahami melalui fakta sosial, ekspresi agama, praktis agama, implikasi, inter-relasi pendekatan geografik, tematik, demografi, dan motivasi keagamaan. Relasi antara edukasi dan agama adalah signifikan dalam sosiologi agama: “the connection between education and religious preferences and choices is of continuing importance for sociologists of religion”

Tuesday, November 27, 2018

Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000). Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan antara negara satu dengan negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu Propinsi, Kabupaten atau Kota. Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara menjadi negara industrialisasi. Kontribusi sektor pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu 15 proses yang multidimensional (Mudrajat, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan daerah dari suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Todaro,2000; Mudrajat, 2000;)
1.      Ketahanan (Sustenance): Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,papan, kesehatan dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2.      Harga diri ( Self Esteem ): Pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu
3.      Freedom from servitude: Kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Salah satu aspek pembangunan wilayah (regional) adalah pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produksi, serta perubahan status kerja buruh. Karena itu konsep pembangunan wilayah (regional) sangat tepat bila didukung dengan teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, pusat pertumbuhan dan teori spesialisasi.
Rahardjo Adisasmita (2005), menyatakan bahwa Pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, tehnologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Terdapat pula beberapa teori penting lainnya mengenai pembangunan ekonomi wilayah (regional) diantaranya menurut aliran Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor kemajuan tehnologi dan perkembangan jumlah penduduk. Sumbangan pemikiran aliran Neo Klasik tentang teori pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut : 1. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi 2. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual 3. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif 4. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan). 5. Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik ini telah banyak digunakan dalam analisis regional namun terdapat beberapa asumsi mereka yang tidak tepat antara lain, (a). Full employment yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi regional dimana persoalan–persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b). persaingan sempurna tidak bisa diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial.

Selanjutnya Todaro (1997) menyatakan bahwa, terdapat beberapa sumber strategis dan dominan yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Salah satu klasifikasinya adalah faktor fisik dan manajemen. Secara spesifik disebutkan terdapat 3 faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu, akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan mempekerjakan tambahan pekerja itu secara produktif. Faktor utama lainnya adalah kemajuan tehnologi.
Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999). Perroux yang terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul diberbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Pertumbuhan hanya terjadi dibeberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat , 2002). Selanjutnya Kuznets (Todaro, 2000), yang telah berjasa dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa, pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahapan berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian terkenal secara luas sebagai konsep.


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan antara Pemerintah Daerah dan pihak swasta guna penciptaan lapangan kerja, serta dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah bersangkutan (Soeparmoko, 2002). Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah, sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang berlandaskan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja secara optimal dari segi jumlah, produktivitas dan efisien. Dalam penentuan kebijakan, haruslah memperhitungkan kondisi internal maupun perkembangan eksternal. Perbedaan kondisi internal dan eksternal hanyalah pada jangkauan wilayah, dimana kondisi internal meliputi wilayah daerah/regional, sedangkan kondisi eksternal meliputi wilayah nasional. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah akan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap kebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana, investasi dan akses terhadap sumber dana, kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) serta pengembangan sumberdaya manusia.
Sejak era reformasi tahun 1999 terjadi pergeseran paradigma dalam sistim penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi atau disebut Otonomi daerah yang mengandung makna, beralihnya sebagian besar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah (Armida, 2000). Hal ini membawa implikasi mendasar terhadap keberadaan tugas, fungsi dan tanggung jawab pelaksanaan otonomi daerah yang antara lain dibidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah serta pencarian sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan dengan cara menggali potensi yang dimiliki oleh daerah. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kebijakan daerah itu sendiri dalam menentukan sektor-sektor yang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut .
John Glasson (1990) mengatakan bahwa kemakmuran suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pada struktur ekonominya dan faktor ini merupakan faktor utama. Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung pada usaha-usaha di daerah tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa, serta usaha-usaha pembangunan yang diperlukan. Oleh sebab itu maka kegiatan basis mempunyai peranan penggerak utama (prime mover role) dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dimana setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional. Berdasarkan teori basis ekonomi, faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad,1999). Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja (job creation). Dalam pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan perencanaan dan strategi yang tepat karena disetiap daerah mempunyai keadaan yang berbeda, mempunyai karakteristik tersendiri, laju pertumbuhan ekonomi maupun potensi yang dimiliki masing-masing daerah.
Daerah Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang ada di pulau Sulawesi, merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi ditinjau dari segi luas wilayah, Sulawesi Tengah mempunyai luas wilayah sebesar 63.678 km2 sedangkan propinsi Sulawesi Selatan hanya sebesar 62.365 km2 , Propinsi Sulawesi Utara mempunyai luas wilayah sebesar 15.273 km2 dan Propinsi Sulawesi Tenggara sebesar 38.140 km2. Namun demikian dengan luas wilayah yang relatif besar serta jumlah penduduk yang tidak

PERCEPATAN EKONOMI PEDESAAN MELALUI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT


PERCEPATAN EKONOMI PEDESAAN MELALUI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pertumbuhan ekonomi Riau selama periode tahun 2005-2010 sebesar 14,35 persen, pertumbuhan yang tinggi ini ditopang oleh sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan. Pada tahun 1996 sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi rakyat pedesaan Riau hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2 persen sementara sektor industri melaju sebesar 14 persen. Namun pada tahun 2002 sektor pertanian sudah mulai membaik dengan angka pertumbuhan sebesar 6,06 persen, sedangkan sektor industri 12,47 persen. Selama periode 2005- 2010 perumbuhan sektor pertanian atas dasar harga konstan 4,08 persen, sedangkan atas dasar harga berlaku sebesar 19,07 persen. Tingginya pertumbuhan sektor pertanian karena ditunjang oleh tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor seperti kelapa sawit, karet, gambir, dan sebagainya.
Pemerintah Daerah Riau mencanangkan pembangunan Daerah Riau melalui program pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan pembangunan infrastruktur (lebih dikenal dengan program K2I). Setiap pembangunan yang dilaksanakan di Daerah Riau harus mengacu kepada Program K2I. Karena pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, maka kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan, khususnya sektor perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kelapa. Sampai saat ini kelapa sawit merupakan tanaman primadona masyarakat Riau. Ada beberapa alasan kenapa Pemerintah Daerah Riau mengutamakan kelapa sawit sebagai komoditas utama, antara lain: Pertama, dari segi fisik dan lingkungan keadaan daerah Riau memungkinkan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kondisi daerah Riau yang relatif datar memudahkan dalam pengelolaan dan dapat menekan biaya produksi; Kedua, kondisi tanah yang memungkinkan untuk ditanami kelapa sawit menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan daerah lain; Ketiga, dari segi pemasaran hasil produksi Daerah Riau mempunyai keuntungan, karena letaknya yang strategis dengan pasar internasional yaitu Singapura; Keempat, Daerah Riau merupakan daerah pengembangan Indonesia Bagian Barat dengan dibukanya kerjasama Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT), berarti terbuka peluang pasar yang lebih menguntungkan; dan kelima, berdasarkan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza, 2002). Kelapa sawit merupakan pengembangan subsektor perkebunan yang berbasis agribisnis. Aktivitas perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya memberikan nilai tambah yang tinggi di sektor perokonomian. Menurut Gumbira-Sa’id, E. dan L. Febriyanti (2005), sektor agribisnis merupakan lapangan kerja yang berperan besar dalam penurunan tingkat pengangguran. Karena itu pengembangan pertanian sudah seharusnya dipusatkan kepada pengembangan produktivitas yang dicapai melalui manajemen agribisnis yang ditata dengan baik. Agribisnis mencakup keseluruhan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usahatani dan pemasarannya sehingga produksinya sampai pada konsumen akhir. Agribisnis meliputi seluruh sektor bahan masukan usahatani, terlibat dalam proses produksi, dan pada akhirnya menangani pemprosesan, penyebaran, penjualan secara borongan dan eceran produk kepada konsumen akhir. Agribisnis merupakan sektor perekonomian yang menghasilkan dan mendistribusikan masukan bagi pengusahatani, memasarkan, dan memproses serta mendistribusikan produk usahatani kepada pemakai akhir. Di masa lalu, petani di pedesaan berada pada mata rantai yang memberikan nilai tambah kecil (pertanian primer) dalam keseluruhan kegiatan ekonomi yang berbasis pertanian, mulai dari industri hulu hingga hilir, sehingga wajar jika pendapatan petani rendah. Sementara mereka yang menguasai mata rantai kegiatan ekonomi yang memberikan nilai tambah besar seperti industri hulu dan hilir pertanian beserta kegiatan perdagangannya, mampu berkembang dan menjadi konglomerat besar. Oleh sebab itu kita perlu memperkuat ekonomi rakyat agar mampu merebut nilai tambah yang besar. Menurut Saragih (2001a) dalam upaya penguatan ekonomi rakyat, industrialisasi pertanian merupakan syarat keharusan (necessary condition). Industrialisasi menjamin iklim makro kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berada pada kegiatan ekonomi berbasis pertanian. Untuk penguatan ekonomi rakyat secara riil, diperlukan syarat kecukupan (sufficient condition) berupa pengembangan organisasi bisnis petani yang dapat merebut nilai tambah yang tercipta pada setiap mata rantai ekonomi dalam industrialisasi pertanian. Hasil penelitian Syahza (2007), kegiatan agribisnis melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau membawa perubahan besar terhadap keadaan masyarakat pedesaan. Di samping itu dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit juga merangsang tumbuhnya industri pengolahan yang bahan bakunya dari kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit mempunyai dampak ganda terhadap ekonomi wilayah, terutama sekali dalam menciptakan kesempatan dan peluang kerja. Pembangunan perkebunan kelapa sawit ini telah memberikan tetesan manfaat (trickle down effect), sehingga dapat memperluas daya penyebaran (power of dispersion) pada masyarakat sekitarnya. Semakin berkembangnya perkebunan kelapa sawit, semakin terasa dampaknya terhadap tenaga kerja yang bekerja pada sektor perkebunan dan sektor turunannya. Dampak tersebut dapat dilihat dari peningkatan pendapatan masyarakat petani, sehingga meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, baik untuk kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Berdasarkan peran kelapa sawit terhadap perekonomian pedesaan dan perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di daerah Riau, maka penelitian ini mencoba mengidentifikasi dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan dalam upaya mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat petani. Untuk itu rumusan masalah yang diteliti adalah: 1) Apakah kegiatan kelapa sawit dapat menciptakan multiplier effect ekonomi yang besar di daerah pedesaan? 2) Apakah pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan? Setelah penelitian ini dilakukan dapat memberikan gambaran perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit dan dampaknya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat pedesaan khususnya upaya mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat petani di pedesaan.

Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI

UKURAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Berdasarkan pengertian tentang pembangunan ekonomi di atas maka untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan ekonomi suatu negara diperlukan indikator yang bersifat fisikal, ekonomi, sosial, dan politik yang dapat dikelompokkan menjadi dua indikator, yaitu indikator moneter, indikator nonmoneter, dan indikator yang bersifat campuran. Masing-masing indikator tersebut dibahas berikut ini.
1.      Indikator Moneter
Pendapatan per kapita Pendapatan per kapita merupakan konsep yang paling sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Konsep pendapatan per kapita itu sendiri merupakan indikator atas kinerja perekonomian secara keseluruhan. Pendapatan per kapita adalah indikator moneter atas setiap aktivitas ekonomi penduduk suatu negara. Namun, banyak ekonom memandang pendapatan per kapita bukanlah indikator yang terbaik atas kinerja pembangunan suatu negara. Hal ini disebabkan oleh adanya argumen yang menyatakan bahwa pembangunan itu bukan hanya sekadar meningkatkan pendapatan riil saja, namun harus pula disertai oleh perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku yang sebelumnya menjadi penghambat kemajuan-kemajuan ekonomi.
Meskipun di sisi lain pendapatan per kapita dianggap memiliki kelemahan mendasar sebagai indikator pembangunan, pendekatan ini masih relevan untuk digunakan dan mudah untuk dipahami. Pendekatan ini juga mempunyai sebuah kelebihan, di mana ia memfokuskan diri pada masalah inti (raison d'etre) dari pembangunan, yaitu meningkatnya standar hidup dan berkurangnya angka kemiskinan. Dengan kata lain, pendapatan per kapita bukanlah sebuah proxy yang buruk dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Pendapatan per kapita juga merupakan salah satu variabel penting dalam pembahasan ekonomi makro. Selain digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran masyarakat suatu negara, pendapatan per kapita juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian suatu negara dari masa ke masa, melihat struktur perekonomian suatu negara, serta membandingkan kinerja perekonomian satu negara dengan negara-negara lain. 1) Kelemahan umum pendekatan pendapatan per kapita Salah satu kelemahan mendasar dari pendapatan per kapita sebagai sebuah indikator pembangunan adalah pada ketidakmampuannya untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara utuh. Sering kali adanya kenaikan pendapatan per kapita suatu negara tidak disertai oleh perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Sebenarnya, sudah sejak lama ada keraguan pada konsep pendapatan per kapita sebagai cerminan dari tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh segenap masyarakat. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa tingkat pendapatan masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka, di samping itu ada beberapa faktor lain yang di nilai cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Faktor-faktor non-ekonomi, seperti adat istiadat, keadaan iklim dan alam sekitar, serta ada atau tidaknya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan bertindak merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan di negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. Misalnya, apabila penduduk di daerah pegunungan kita asumsikan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif sama dengan penduduk yang hidup di daerah dataran rendah. Berdasarkan pada perbedaan kondisi alam dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di daerah dataran rendah adalah lebih tinggi karena pada umumnya penduduk di daerah dataran rendah menghadapi tantangan alam yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan penduduk di daerah pegunungan. Di daerah dataran rendah, iklimnya tidak terlalu dingin, pekerjaan bertani dan bercocok tanam pun lebih mudah dilakukan, dan energi yang dikeluarkan untuk perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya relatif lebih sedikit. Ada tidaknya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat juga memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Tidak adanya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat di suatu negara (misalnya, pada negara-negara sosialis) menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selalu dipandang lebih rendah dari yang dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya. Di sisi lain, beberapa ekonom memandang bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan suatu hal yang bersifat subjektif. Artinya, setiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup, dan cara hidup yang berbeda sehingga memberikan nilai yang berbeda pula terhadap faktorfaktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Ada sekelompok orang yang lebih menekankan pada pemupukan kekayaan dan tingkat pendapatan yang tinggi sebagai unsur penting untuk mencapai sebuah kepuasan hidup. Ada pula sekelompok orang yang lebih suka untuk memperoleh waktu senggang (leisure time) yang lebih banyak dan enggan untuk bekerja lebih keras untuk memperoleh tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Di samping itu, perlu diingat bahwa pembangunan ekonomi mampu merubah kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, misalnya hilangnya rasa komunalitas sehingga masyarakat menjadi bersifat lebih individualistis, hubungan antara anggota masyarakat menjadi lebih formal. Di satu sisi, pembangunan ekonomi dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi ini harus dicapai dengan beberapa pengorbanan dalam perilaku hidup masyarakat.
2.      Kelemahan metodologis pendekatan pendapatan per kapita
Pendapatan per kapita sebagai indeks yang menunjukkan perbandingan tingkat kesejahteraan antarmasyarakat ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan ini timbul karena pendekatan ini mengabaikan adanya perbedaan karakteristik antar negara, misalnya struktur umur penduduk, distribusi pendapatan masyarakat, kondisi sosial-budaya, dan perbedaan nilai tukar (kurs) satu mata uang terhadap mata uang yang lain. Dibandingkan dengan negara-negara maju, proporsi penduduk usia nonproduktif (di bawah umur) terhadap keseluruhan penduduk di NSB cukup tinggi. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap keluarga di kedua kelompok negara itu tidaklah seburuk seperti yang digambarkan oleh pendapatan per kapita mereka. Misalnya, keluarga Pak Amir terdiri dari 5 anggota keluarga dengan pendapatan US $900 dan keluarga Pak Badu terdiri dari 3 anggota keluarga dengan pendapatan US $600. Meskipun pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Amir lebih rendah dibandingkan pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Badu, sangat mungkin keluarga Pak Amir mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan keluarga Pak Badu karena beberapa jenis pengeluaran mendasar, seperti rekening air dan listrik, perumahan, serta barang-barang lain yang digunakan secara bersamasama tidak banyak berbeda di antara kedua keluarga tersebut. Selain tingkat pendapatan, distribusi pendapatan merupakan faktor yang cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Faktor ini sering kali kurang diperhatikan dalam perhitungan tingkat pendapatan per kapita karena asumsi pokok yang digunakan dalam konsep pendapatan per kapita adalah one dollar, one man, artinya setiap orang memiliki proporsi yang sama atas pembentukan pendapatan per kapita. Perkembangan di banyak NSB menunjukkan bahwa seiring dengan proses pembangunannya, distribusi pendapatan justru menjadi semakin timpang. Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa NSB karena usaha-usaha pembangunan dianggap hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan paling mendasar dari pembangunan belum sepenuhnya tercapai.
Paling tidak, ada tiga hal yang menyebabkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat meskipun tingkat pendapatan per kapitanya secara nominal relatif sama: (a) Pola pengeluaran masyarakat, adanya perbedaan pada pola pengeluaran masyarakat menyebabkan dua negara dengan pendapatan per kapita yang sama belum tentu menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Misalnya, kita asumsikan ada dua orang dengan tingkat pendapatan relatif sama, namun salah seorang di antaranya harus mengeluarkan ongkos angkutan yang lebih tinggi untuk pergi ke tempat kerja, harus berpakaian necis maka tidak dapat dikatakan bahwa kedua orang tersebut mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama tingginya. (b) Perbedaan iklim, adanya perbedaan iklim juga memungkinkan timbulnya perbedaan pola pengeluaran masyarakat di negara-negara maju dan NSB. Masyarakat di negara maju harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan yang sama dengan di NSB. Seperti kita ketahui, sebagian besar negara maju beriklim dingin dan sebagian besar NSB beriklim tropis. Oleh karena itu, penduduk negara-negara maju sering kali harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk dapat menikmati “iklim tropis” seperti yang biasa dinikmati oleh penduduk NSB. (c) Struktur produksi nasional, adanya perbedaan yang mencolok pada komposisi sektoral juga akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Suatu masyarakat akan menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih rendah jika proporsi pendapatan nasional (pengeluaran) yang digunakan untuk anggaran pertahanan dan pembentukan modal (capital formation) lebih tinggi dibandingkan di negara lain yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. Selama ini, metode perhitungan pendapatan nasional bersifat agregatif sehingga tidak dapat menunjukkan perubahan serta distribusi antar sektor. Misalnya, jika sektor pertanian memiliki proporsi sebesar 50% dari GNP dan sektor non-pertanian juga 50% dari GNP maka jika GNP tumbuh sebesar 10% per tahunnya, kemungkinan distribusinya ditunjukkan oleh Tabel 1.2 berikut ini.


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI

Sebelum dekade 1960-an, pembangunan didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi nasional - di mana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama - untuk dapat mengakselerasi dan mempertahankan laju pertumbuhan GNP-nya pada angka 7% atau lebih per tahun. Definisi pembangunan dalam konteks ini sangat-5 bersifat ekonomis.
Seiring dengan perubahan zaman, definisi pembangunan pun mengalami perubahan karena berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasikan pada pertumbuhan GNP saja tidak akan mampu memecahkan permasalahan-permasalahan mendasar dari pembangunan. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan meskipun target pertumbuhan GNP per tahun telah tercapai. Dengan kata lain, ada “kesalahan” dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit.
Oleh karena itu, Todaro & Smith (2003) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (sustenance), (2) meningkatnya rasa harga diri (selfesteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
Akhirnya, disadari bahwa definisi pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekadar bagaimana meningkatkan GNP per tahun saja. Pembangunan itu bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja. Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan suatu negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan tersebut maka pembangunan ekonomi pada umumnya dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai dengan perbaikan sistem kelembagaan.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai sifat sebagai berikut.
1. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara kontinu.
2. Usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita.
3. Peningkatan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang.
4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya). Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan di bidang regulasi (baik legal formal maupun informal).
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses agar pola keterkaitan dan saling memengaruhi antara faktor-faktor dalam pembangunan ekonomi dapat diamati dan dianalisis. Dengan cara tersebut dapat diketahui runtutan peristiwa yang terjadi dan dampaknya pada peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga perlu dipandang sebagai suatu proses kenaikan dalam pendapatan per kapita karena kenaikan tersebut mencerminkan tambahan pendapatan dan adanya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat. Biasanya laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tingkat pertambahan GDP atau GNP.
Namun, proses kenaikan pendapatan per kapita secara terus-menerus dalam jangka panjang saja tidak cukup bagi kita untuk mengatakan telah terjadi pembangunan ekonomi. Perbaikan struktur sosial, sistem kelembagaan (baik organisasi maupun aturan main), perubahan sikap dan perilaku masyarakat juga merupakan komponen penting dari pembangunan ekonomi, selain masalah pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Todaro & Smith, 2003). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi hanya didefinisikan sebagai kenaikan GDP atau GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, dan apakah ada perubahan struktur ekonomi atau perbaikan sistem kelembagaan atau tidak.
Namun, ada beberapa ekonom memberikan definisi yang sama untuk kedua istilah tersebut, khususnya dalam konteks negara maju. Secara umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara-negara maju, sedangkan istilah pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi di NSB.

KARAKTERISTRIK UMUM NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB)- Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang


KARAKTERISTRIK UMUM NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB)- Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang

Setelah kita membahas tentang pengelompokan negara-negara di dunia, sekarang saatnya kita membahas tentang sifat dan karakteristik NSB. Todaro & Smith (2003) mengemukakan beberapa karakteristik umum NSB, yaitu sebagai berikut.
1.      Standar Hidup yang Rendah Pada umumnya, standar hidup sebagian besar penduduk NSB sangat rendah. Standar hidup yang rendah pada NSB bukan hanya jika dibandingkan dengan standar hidup di negara-negara maju, namun juga jika dibandingkan dengan standar hidup sekelompok kecil (elite) penduduk di dalam NSB itu sendiri.
Di NSB, standar hidup yang rendah itu tampak sangat nyata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan per kapita yang rendah, kemiskinan yang kronis, kondisi perumahan yang tidak memadai, sarana kesehatan yang masih sangat terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kematian bayi yang tinggi, tingkat harapan hidup yang rendah, adanya perasaan tidak aman, dan rasa putus asa.
2.      Tingkat Produktivitas Rendah.
NSB dicirikan pula oleh tingkat produktivitas tenaga kerjanya yang rendah. Seperti kita ketahui, konsep fungsi produksi yang secara sistematis menghubungkan tingkat output dengan kombinasi-kombinasi input pada tingkat teknologi tertentu merupakan konsep yang paling sering digunakan untuk menjelaskan tentang cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan materinya. Namun, agar dapat memberikan sebuah penjelasan yang akurat, konsep fungsi produksi yang bersifat teknis ini perlu ditunjang oleh konseptualisasi yang luas termasuk di antaranya input-input lainnya, seperti motivasi pekerja, dan keluwesan kelembagaan.
Di NSB, tingkat produktivitas tenaga kerjanya (output per pekerja) sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan beberapa konsep ekonomi. Salah satunya adalah prinsip produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal productivity). Prinsip ini menyatakan bahwa jika ada penambahan kuantitas pada salah satu input variabel (misalnya tenaga kerja), sedangkan kuantitas input-input lainnya (modal, tanah) diasumsikan tetap maka pada suatu titik tertentu produk marjinal yang dihasilkan dari adanya tambahan input variabel tersebut akan menurun. Oleh karena itu, tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah bisa disebabkan oleh tidak adanya atau kurangnya input komplementer, seperti modal fisik atau manajemen sumber daya manusia yang baik.
3.      Tingkat Pertumbuhan Penduduk dan Beban Tanggungan yang Tinggi
Menurut UNDP (2008), dari sekitar 6,3 miliar penduduk dunia di tahun 2003, sebagian besar (5,3 miliar) berada di NSB, sedangkan sisanya hidup di negara-negara maju. Laju pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi dan tingkat kepadatan penduduk yang “tidak wajar”, tentu saja menambah kompleksitas permasalahan di NSB. Ada dua faktor yang memengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk suatu negara, yaitu (a) tingkat kelahiran kasar (crude birth rate) yang ditunjukkan oleh jumlah kelahiran per 1.000 penduduk tiap tahunnya, dan (b) tingkat kematian (death rate) yang ditunjukkan oleh jumlah kematian per 1.000 penduduk tiap tahunnya. Selama ini, tingkat kelahiran maupun tingkat kematian antara dua kelompok negara tersebut juga sangat timpang. Data UNDP (2005) menyebutkan bahwa hingga tahun 2003, rata-rata tingkat kelahiran kasar di NSB masih sangat tinggi, yaitu sekitar 22 kelahiran per 1.000 penduduk, sedangkan di negaranegara maju hanya sekitar 12 kelahiran per 1.000 penduduknya. Di sisi lain, tingkat kematian di NSB juga relatif lebih tinggi, yaitu sekitar 11 kematian per 1.000 penduduk, sedangkan pada negara-negara maju “hanya” mencapai angka sekitar 9 kematian per 1.000 penduduknya.
Meskipun tingkat kematian di NSB relatif lebih tinggi, namun berkat adanya perbaikan sarana dan prasarana penunjang kesehatan, sekarang perbedaan tingkat kematian antara dua kelompok negara tersebut tidak begitu besar. Sebagai dampaknya, menurut UNDP (2008), tingkat pertumbuhan 2003 di NSB adalah sebesar 1,9% per tahun,-penduduk antara tahun 1973 sedangkan di negara-negara maju “hanya” sekitar 0,7% per tahunnya.
Satu hal lagi yang menambah kompleksitas masalah kependudukan di NSB adalah proporsi penduduk di bawah usia 15 tahun (usia nonproduktif) yang cukup tinggi. Hal tersebut berdampak pada semakin tingginya rasio beban tanggungan (burden of dependency ratio). Menurut UNDP (2008), pada tahun 2003, proporsi penduduk di bawah usia 15 tahun di NSB adalah sebesar 31,6%, sedangkan di negara-negara maju hanya mencapai angka 18%. Dengan kata lain, rasio beban tanggungan di NSB hampir dua kali lebih besar dibandingkan rasio beban tanggungan di negara-negara maju.
4.      Tingginya Tingkat Pengangguran
Apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya manusia yang dilakukan oleh NSB masih relatif rendah. Ada dua hal yang memicu timbulnya fenomena tersebut, yaitu pertama, adanya pengangguran terselubung (underemployment), artinya tenaga kerja yang ada bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Hal ini terlihat dari banyaknya tenaga kerja di daerah perkotaan maupun perdesaan yang bekerja di bawah jam kerja normal, mereka hanya bekerja secara harian, mingguan atau musiman.
Pengangguran terselubung tersebut juga terlihat pada tenaga kerja yang bekerja penuh waktu, sesuai dengan jam kerja normal namun produktivitasnya begitu rendah sehingga adanya penambahan jam kerja tidak akan mempunyai pengaruh yang berarti terhadap jumlah output. Kedua, adanya pengangguran terbuka (open unemployment), artinya orang-orang yang sebenarnya mampu dan sangat ingin bekerja namun tidak ada pekerjaan yang tersedia bagi mereka. Keadaan ini menuntut penciptaan lapangan kerja baru sesuai dengan perkembangan jumlah tenaga kerja. Data Bank Dunia 2004 rata-rata jumlah-(2006) menyebutkan bahwa antara tahun 2000 pengangguran di NSB adalah 12% dari keseluruhan angkatan kerja, sedangkan di negara-negara maju penganggurannya “hanya” mencapai angka 5,4%.
5.      Ketergantungan terhadap Produksi Pertanian dan Ekspor Produk Primer
Data Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk NSB hidup di daerah perdesaan. Hingga tahun 2004, perbandingan jumlah penduduk antara desa dan kota di NSB adalah 57 dan 43, sedangkan di negara-negara maju perbandingan tersebut berubah drastis menjadi 22 dan 78. Daerah perdesaan dikenal sebagai basis sektor pertanian sehingga apabila dilihat dari konsentrasi penduduknya maka dapat dikatakan bahwa 58% penduduk di NSB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Pada periode yang sama, menurut Bank Dunia (2006), kontribusi sektor pertanian terhadap GDP di NSB adalah sekitar 12%, sedangkan di negara-negara maju hanya sekitar 2%. Di sisi lain, sepuluh tahun sebelumnya, pada tahun 1990 kontribusi sektor pertanian terhadap GDP di NSB adalah sekitar 18%, sedangkan di negara-negara maju hanya 3%. Hal tersebut menunjukkan adanya fenomena transformasi struktural, dari sektor pertanian beralih ke sektor modern. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun sektor pertanian di NSB menyerap sebagian besar tenaga kerjanya, namun kontribusi sektor tersebut dinilai sangatlah kurang. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, ada dua kebijakan yang dapat dijalankan NSB, (a) adanya revitalisasi pertanian, mengingat sektor pertanian merupakan basis perekonomian NSB; dan (b) adanya transformasi struktural yang dinamis, suatu proses transformasi yang tidak menyebabkan adanya “ketimpangan” dan “kepincangan” pada salah satu sektor.
6.      Dominasi Negara Maju, Ketergantungan terhadap Negara Maju, dan Vulnerabilitas dalam Hubungan-hubungan Internasional
Bagi NSB, faktor yang menyebabkan rendahnya standar hidup, tingginya angka pengangguran, dan munculnya masalah ketidakmerataan pendapatan adalah karena tingginya ketimpangan, baik di bidang ekonomi maupun politik antara negara-negara miskin dan negara-negara kaya. Ketimpangan tersebut tidak hanya dalam bentuk dominasi negara-negara kaya dalam mengendalikan pola perdagangan internasional, namun juga tampak dalam dominasi mereka dalam mendikte NSB sebagai prasyarat dalam memberikan bantuan luar negeri maupun menyalurkan modal swastanya. Kondisi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sikap ketergantungan NSB terhadap negara-negara maju dan menimbulkan sifat mudah terpengaruh (vulnerability) dari NSB terhadap dominasi dari luar yang pada akhirnya menguasai dan mendominasi setiap sendi kehidupan ekonomi dan sosial mereka.