Sunday, September 23, 2018

Elements of the State

Elements of the State
According to Oppenheimer and Lautarpacht, there are also conditions for the formation of a state: united people, regions or regions, sovereign governments and recognition of other countries. According to the Montevideo 9Uruguay Convention) in 1933, elements of the formation of a country were:
1. There must be residents (people, citizens / nationals)
 2. There must be an area or environment of power
3. There must be supreme power / sovereign government.
 4. Interference with other countries.
[1] There are several basic elements in a country, namely:
a) People It is a group of people who are united by a sense of equality and together inhabit a certain area.
b) Region There cannot be a country without clear territorial boundaries. Therefore the region is an element of the state that must be fulfilled. Areas include land, waters (oceans, seas and rivers) and air. The boundaries of the country's territory are regulated in international treaties and legislation. 
c) Government
The government is the state apparatus responsible for leading the state organization to achieve a common goal of the establishment of a country.
d) Recognition of other countries There are two kinds of recognition for a country, namely:  de facto recognitionü is an acknowledgment of the fact that there is a state. This recognition is based on the fact that a political community has fulfilled 3 elements of the state  De jure recognitionü Is an acknowledgment of the legitimacy of a country on the basis of juridical considerations according to the law.

Sunday, September 2, 2018

Sekolah sebagai Suatu Organisasi


Sekolah sebagai Suatu Organisasi
Sekolah sebagai suatu organisasi mempunyai ciri khas yang terkait dengan anggota atau bagian dari organisasi tersebut, salah satunya adalah keberadaan siswa. Siswa merupakan bagian esensial dari setiap sekolah dan mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan unsur yang lain, seperti guru dan karyawan. Secara perorangan siswa melewatkan waktu lebih singkat dibandingkan dengan guru maupun pegawai administrasi. Oleh karena itu, sebagai suatu organisasi, sekolah terus-menerus dihadapkan pada tugas menyosialisasikan siswa-siswa baru dengan karakteristik yang berbeda-beda. Di sinilah pentingnya menerapkan prinsip struktur terbuka dalam organisasi sekolah. Dengan struktur organisasi yang terbuka memungkinkan sekolah mengantisipasi kemungkinan menyangkut keberadaan siswa. Pada saat pertama memasuki sekolah, siswa akan bertemu dengan teman sebaya, guru, dan unsur organisasi sekolah lainnya dalam suasana dan lingkungan yang baru. Dengan bersekolah, anak berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda dan lebih luas daripada lingkungan keluarga.
Di sinilah diperlukan adanya proses sosialisasi agar anak dapat menempati dan diterima dalam lingkungan yang baru. Proses sosialisasi merupakan proses yang senantiasa ada dan dialami oleh manusia. Sosialisasi dilakukan dengan upaya internalisasi nilai-nilai dan penyesuaian serta pengubahan perilaku sejalan dengan respon yang diterima. Yang dimaksud nilai-nilai dalam hal ini adalah kebudayaan suatu masyarakat tempat proses tersebut berlangsung. Apabila nilai-nilai kebudayaan tersebut sudah
terinternalisasi dan terintegrasi dalam diri seseorang, akhirnya akan membentuk struktur kepribadian dasar (basic personality structure). Menurut Parson11 struktur kepribadian dasar yang telah diletakkan dalam masa kanak-kanak bersifat relatif statis selama hidup. Secara sosiologis terdapat tiga perspektif sosialisasi yang dapat dimanfaatkan dalam proses sosialisasi anak di sekolah; (1) perspektif sosialisasi pasif, (2) perspektif sosialisasi aktif, dan (3) perspektif sosialisasi radikal. Dalam hubungannya dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif pada proses sosialisasi siswa, pihak sekolah, terutama guru, dapat mempertimbangkan tiga perspektif tersebut.
Perspektif sosialisasi pasif mendasarkan diri pada asumsi bahwa anak hanya sekadar memberi respon kepada rangsangan-rangsangana yang diterima, baik dari guru maupun orangtua. Dalam hal ini ada suatu bentuk pengabaian kemungkinan bahwa siswa akan mengalami beberapa konflik dalam dirinya mengenai perilaku yang layak. Perspektif sosialisasi aktif berasumsi bahwa anak tidak sekadar memberi respon pada perannya melainkan secara aktif menciptakan perannya dalam kondisi-kondisi tempat ia hidup. Seorang anak sebagai individu-individu menciptakan model sosial mereka, merundingkan makna-makna yang dianut bersama dan mendefinisikan situas-situasi tempat mereka bertindak.
Selanjutnya, perspektif sosialisasi radikal beranggapan bahwa sosialisasi berlangsung dalam suatu kelompok atau masyarakat yang berlapis-lapis. Dalam arti bahawa latar belakang sosial siswa sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi di sekolah. Perspektif ini mengakui bahwa tindakan seorang siswa merupakan bagian dari suatu struktur sosial yang lebih luas. Pada akhirnya, sekolah diharapkan dapat menjamin jalannya proses sosialisasi anak didik. Proses sosialisasi harus diarahkan pada terbentuknya struktur kepribadian yang timbuh dan berkembang menjadi sistem kepribadian yang stabil. Dengan kepribadian yang mantap dan stabil setiap anak didik akan memiliki persiapan dan kesiapan melakukan peran-peran baru di masa yang akan datang.
Faktor terpenting dalam proses sosialisasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dengan baik, kepuasan untuk mencapai prestasi pribadi. Hal itulah yang dinamakan kebutuhan akan prestasi (need of achievment) sebagaimana yang dikemukakan oleh D.C. McCelland. Seseorang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi cenderung untuk bekerja lebih keras, belajar lebih cepat, bekerja sebaik mungkin. Selanjutnya, Rosen menjelaskan bahwa orientasi prestasi mempunyai dua dimensi; pertama, karakteristik kepribadian terhadap prestasi, yaitu dorongan dari dalam untuk melebihi orang lain. Kedua, karakteristik kultural yang menjunjung tinggi nilai prestasi. Dalam rangka keberhasilan proses sosialisasi dan pembentukan struktur kepribadian yang mantap, tugas utama sekolah adalah membangun kebersamaan dalam suasana keberagaman.
Dengan kata lain, yang lebih penting bagi sekolah bukan menjamin adanya kesatuan dengan menegasikan keanekaan, tetapi menjaga kebersamaan dalam ke-bhineka-an. Pada aspek inilah sikap dan nilai multikulturalisme tampak jelas relevansinya.



#selamat belajar

Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme


Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural  lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik.
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti; (1) toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; (2) bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi; (3) HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju ini dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. Secara konseptual, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta berarti pendidikan bersifat terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh dalam arti pendidikan harus mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, terpadu berarti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara.
Dengan demikian, setiap warga negara dapat memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, serta menggunakan bahasa Indonesia. Kemampuan dasar itulah yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif keragaman budaya, sistem pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan sebagaipeserta didik, tidak dibenarkan adanya perbedaan atas jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi. Perluasan istilah dan konsep “satu sistem pengajaran nasional” menjadi “satu sistem pendidikan nasional” dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian perhatian terhadap unsur pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian manusia.


#selamat belajar

Konsep Multikulturalisme : Sekolah Sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalisme

Keragaman, kebhinnekaan, dan multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat pada kebudayaan di masa silam, kini, dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi—terkadang ditafsirkan sebagai ideologi—yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untukmenggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan pondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban.
Multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basic) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Pandangan dunia “multikultural” secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika”, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas. Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil, sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat majemuk” (plural society). Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya, tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti mosaik tersebut. Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah


#selamat belajar

Sekolah Sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalisme


Sekolah Sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalisme
Sebuah bangsa terbentuk apabila dalam kelompok manusia itu terdapat nilai-nilai yang sama dan berkeinginan kuat untuk hidup bersama. Nilai-nilai yang sama ini dapat benar-benar sama yang dapat berakar dari kebudayaan yang lebih kurang sama, dapat pula berupa aspirasi untuk bersatu dengan dilandasi realita bahwa dalam kesamaan dan kebersamaan itu pada hakikatnya terdapat berbagai perbedaan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan ditetapkan asas yang dianut oleh suatu bangsa. Penetapan suatu asas yang akan dianut tentu saja berdasarkan kesepakatan bersama antarkomponen penting dalam bangsa tersebut.1 Penetapan untuk memilih suatu asas disesuaikan dengan realitas dalam bangsa itu sendiri. Realitas suatu bangsa yang menunjukkan adanya kondisi keanekaragaman budaya mengarahkan pada pilihan untuk menganut asas multi-kulturalisme. Dalam asas multikulturalisme ada kesadaran bahwa bangsa itu tidak tunggal, tetapi terdiri atas sekian banyak komponen yang berbeda.
Multikluturalisme menekankan prinsip tidak ada kebudayaan yang tinggi, dan tidak ada kebudayaan yang rendah di antara keragaman budaya tersebut. Semua kebudayaan pada prinsipnya sama-sama ada. Oleh karena itu, harus diperlakukan dalam konteks duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Asas itu pulalah yang diambil oleh Indonesia, yang kemudian dirumuskan dalam semboyan bhineka tunggal ika. Pernyataan tersebut mengandung makna meskipun berbeda-beda tetapi ada keinginan untuk tetap menjadi satu. Indonesia adalah potret sebuah negeri yang memiliki keragaman budaya. Dalam pandangan Koentjaraningrat Indonesia dapat disebut sebagai negara plural terlengkap di dunia di samping Amerika. Di Amerika dikenal semboyan et pluribus unum, yang mirip dengan bhineka tunggal ika, yang berarti banyak namun hakikatnya satu.
Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu contoh nyata adalah dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa.


#selamat belajar

Kontinuitas Yang Saling Mengisi Relasi Pancasila, Agama Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi

Kontinuitas Yang Saling Mengisi Relasi Pancasila, Agama Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi
Jika ingin melacak sejarah, ternyata dari serangkaian kilasan sejarah yang tersedia, setiap gerakan ang muncul dalam panggung sejarah bangsa Indonesia merupakan kontinuitas yang saling mengisi. Boedi Oetomo yang dikobarkan oleh dokter Soetomo dan kawan-kawan satu abad yang lalu, seringkali dijadikan tonggak sejarah atas hari Kebangkitan Nasional. Gerakan moral yang semula hanya berskala regional (etnis Jawa) itu menemukan afinitasnya -- hubungan yang saling mencari sebagai kesadaran awal paham kebangsaan. Gerakan itu mengilhami Sumpah Pemuda, yang mempertegas kebutuhan: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yang tanpa menyertakan satu agama sebagai bentuk pencegahan pelembagaan pembulatan mayoritas, yang dapat memadamkan pluralitas. Jangkauan imajinasi budaya yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda, bukan sekedar memuat kebutuhan historis, tentang Bhineka Tunggal Ika, tetapi juga menyediakan pencegahan kemungkinan terjadinya negara agama.
Pada 1 Juni, Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kemudian diperingati sebagai lahirnya Pancasila, sebagai upaya mempertegas kembali bahwa pluralitas adalah conditio sine quo non bagi Bangsa Indonesia. Sebaliknya tragedi tahun 1965 yang dalam versi rezim Orde Baru disebut G-30-S/PKI, seringkali dianggap sebagai hari penghianatan Pancasila. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai hari kesaktian Pancasila. Makna terdalam dari seluruh gerakan ini adalah kuatnya semangat unity in diversity, berbeda-beda tetapi tetap satu. Bhineka Tunggal Ika. Kini, semangat itu mulai memudar bahkan dalam kadar tertentu sedang terancam. Dalam periode orde baru, posisi Pancasila yang telah diletakkan sebagai ”pseudo-agama” yang tertutup terhadap kritik dan difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, ternyata harus dibayar mahal. Pancasila telah dijadikan instrumen utama pemerintahan yang represif, yang menghalangi proses demokratisisasi sebagai conditio sine quo non. Akibatnya Pancasila telah mengalami berbagai distorsi dan ”krisis legitimasi”. Berbagai disfungsi penerapan Pancasila yang dimonopoli oleh penyelenggara negara, telah membuat Pancasila kehilangan dukungan. Pancasila mulai diragukan relevansi dan keampuhannya. Sikap ketidakpercayaan terhadap Pancasila, bahkan telah melahirkan sikap sinisme yang cenderung mendekontruksi seluruh kekuatannya. Sementara itu di tengah-tengah era reformasi di mana keterbukaan telah memperoleh ruang terbesar sepanjang sejarah politik Indonesia, sisa keraguan terhadap Pancasila mulai muncul kembali. Bahkan tawaran ideologi alternatif (Piagam Jakarta) mulai marak diwacanakan kembali.

#selamat belajar

RELASI PANCASILA, AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH REFLEKSI

RELASI PANCASILA, AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH REFLEKSI
Setiap kali kita disodorkan pada peristiwa sejarah, seperti hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, Kesaktian Pancasila dan sebagainya, selalu ada pertanyaan yang mengoda. Apakah seluruh hari-hari istimewa yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar sebuah rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu merupakan amanat peristiwa luar biasa (extraordinary) yang menagih keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan. Jika yang pertama kita sedang mensakralkan waktu dalam bentuk mitos yang terkurung dalam ruang museum politik, maka yang kedua, kita sedang ditagih untuk melakukan evaluatif atas pemaknaan peristiwa yang terkandung dalam hari istimewa itu. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi atas relasi Pancasila, Agama dan Kebudayaan, yang secara semi-permanen telah mengalami dinamika internal yang rumit, sedangkan secara eksternal telah dihadapkan pada determinasi globalisasi yang dahsyat. Sebagai sumber tata-nilai dan sistem simbolik, ketiganya, dalam dimensi tertentu, mengalami persaingan dalam mendefinisikan realitas, tetapi dalam dimensi yang lain mereka dapat saling bekerjasama, saling mengisi dan saling membutuhkan.
Hubungan yang tidak saling mengganggu dan saling mencari, akan terjadi, jika ketiganya memposisikan diri dalam ranah yang dimiliki dan sekaligus menyadari akan limitasinya. Agama dan kebudayaan misalnya, by nature mengalami kerisauan abadi atas setiap perubahan yang disodorkan, khususnya oleh globalisasi yang serba menuntut homogenisasi budaya dan sekularisasi. Penagihan perubahan yang begitu cepat yang serba membutuhan jawaban normatif, tidak selalu tersedia jawaban cepat-saji dari agama. Sebagai sistem nilai yang bersifat deduksi (dibenarkan dulu baru dibuktikan), membuat agama cenderung mengalami kesulitan untuk meramu jawaban instan yang dibutuhkan tanpa mereduksi nilai kesakralannya. Perubahan yang diakibatkan modernisasi yang tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya, sekularisasi, yang mengancam eksistensi agama, merupakan musuh utama dari semua agama.
Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan. Sebagai sumber nilai dan sistem simbolik yang sebagain diproduksi dari tradisi, modernisasi yang menawarkan perubahan yang tanpa mempedulikan keberadaan tradisi, mudah mengancam eksistensi budaya dalam semangatnya untuk mengawetkan nilai-nilai lama. Sementara disharmoni antara Pancasila dan Agama seringkali terjadi, jika keduanya telah mengalami perubahan kelamin. Posisi agama sebagai ”world-view” atau ”addin”, dalam tataran sistem nilai merupakan ”beyond ideology”. Tetapi agama bisa berubah menjadi ideologi jika telah menfungsikan diri sebagai legitimasi status-quo (baca: kekuasaan). Sebaliknya Pancasila bisa berubah menjadi ”pseudo-agama” jika ia menduduki karakteristik agama sebagai doktrin yang taken for granted, given, sami’na wa-atho’na (mendengar dan taat), yang tidak dapat dikritik dan bersifat doktriner. Pancasila hanya akan memiliki fungsi optimal jika ia diletakkan sebagai ideologi terbuka.
Agama membutuhkan Pancasila dalam menyelesaikan keterbatasannya, khususnya dalam mempertemukan kehendak bersama antar agama dan/atau mereduksi ikatan primordial yang potensial menghadirkan konflik. Dalam dimensi sosiologis agama seringkali memiliki fungsi laten sebagai ”pemecah” (out group) dan sekaligus fungsi manifes sebagai ”perekat” (in group). ”Cacat” agama ini hanya dapat dijembatani melalui konsensus bersama, yang antara lain melalui Pancasila. Sebaliknya Pancasila membutuhkan agama dalam memperkaya kedalaman makna hidup, khususnya yang berkaitan beyond reality (penjelasan tentang kematian, dan sebagainya). Dengan kata lain, untuk mengetahui relasi antara Pancasila, Agama dan Kebudayaan, khususnya dalam semangat mengkompromikan jelas membutuhkan pelacakan sejarah, baik dari aspek diakronis maupun sinkronisnya. Manfaatnya adalah selain untuk menghindari berbagai ketegangan yang tidak produktif juga untuk mencegah terjadinya ”clash of cultural” dan/atau ”clash of ideology” yang bisa membawa porak-porandanya bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Saturday, September 1, 2018

Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam

Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam. Pendidikan Islam bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah.
Konsepsi pendidikan model Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata, melainkan sejalan dengan konsep Islam sebagai suatu pranata sosial itu sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di hadapan Allah SWT. Perbedaannya adalah pada kadar ketakwaannya sebagai bentuk perbedaan kualitatif. Keberagaman dalam pendidikan itu ada karena pendidikan tidak lepas dari konteks masyarakat. Anak-anak sebagai pusat perhatian pendidikan yang sering terlupakan kepentingannya adalah bagian dari konteks sosialnya. Mereka memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, menjadi alasan bahwa mereka penting mendapat pendidikan multikultural agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik.
Hal ini menjadi tanggungjawab sekolah melalui pendidikan dan mata pelajaran di sekolah, maka pendidikan multikultural dapat ditanamkan pada anak, termasuk melalui pendidikan agama sejak dini. Pendidikan Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dengan membawa potensi bawaan seperti keimanan, potensi memikul amanah dan tanggungjawab, potensi kecerdasan dan potensi fisik yang sempurna. Dengan potensi-potensi tersebut, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau mendidik dengan secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu berinteraksi dengan baik bagi sesama makhluk dan mampu menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT.
Agar seseorang mampu berkembang dan berinteraksi dengan sesamanya di lingkungannya, maka perlu dibekali kemampuan untuk dapat eksis dan diterima sehingga sejak dini seorang individu muslim mampu melihat perbedaan dan keragaman yang ada di sekitarnya. Mereka tidakhanya mengenal dan mengakui tata cara yang berdasarkan ajaran Islam semata, tetapi mereka
diharapkan mampu memahami bahwa ada tata cara yang lain yang mungkin berbeda. Perbedaanperbedaan itu hendaknya jangan ditanggapi secara apriori, tetapi dapat ditangkap sebagai suatu yang wajar dan perlu dihargai. Untuk dapat memiliki sikap hidup yang demikian diperlukan penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam menangani keragaman yang ada, baik itu budaya, agama, etnis, dan sebagainya dengan cara menumbuhkan semangat penghargaan terhadap hal yang berbeda. Perbedaan adalah rahmat, bukan suatu yang tercela atau suatu dosa sebab Allah SWT menciptakan manusia dan alam penuh dengan keragaman. Dengan demikian, perlu memandang pendidikan multikultural sebagai sebuah dimensi praktis multikulturalisme, di mana tidak hanya memahami konsep, tetapi harus mengimplementasikannya melalui tindakan-tindakan lainnya di sekolah dan di masyarakat.
Nilai-nilai yang tercakup dalam pendidikan multikultural dapat mengantarkan individu bersikap toleran, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan suka pada perdamaian. Nilai-nilai itu sangat dibutuhkan untuk terciptanya masyarakat madani sebab masyarakat madani memiliki ciri antara lain : universalitas, supremasi hukum, menghargai perbedaan, kebaikan dari dan untuk semua, meraih kebajikan umum, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

#selamat belajar #semoga bermanfaat #good luck 

James Blank (5) Lima Dimensi-Dimensi Pendidikan Multikultural

James Blank (5) Lima  Dimensi-Dimensi Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:

1. Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
2.    Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
3.   Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
4. Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.

Pendekatan-pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural di Sekloah

Pendekatan-pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural di Sekloah
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural antara lain sebagai berikut :
Pertama, perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggungjawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggungjawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompokkelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi yang ada disekitarnya.
Kelima, pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik. Dalam kajian yang lebih spesifik dan mengarah pada pendidikan dan proses pendidikan, pendidikan multikultural dimaknai sebagai pendidikan yang didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Kelas disusun dengan anggota kian kecil sehingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif


#selamat belajar, #semoga bermanfaat. #good luck.

Pengertian Pendidikan Multikultural Menurut Beberapa Tokoh Dan Pakar

Pengertian Pendidikan Multikultural Menurut Beberapa Tokoh Dan Pakar
Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif, maka pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.  Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan.
Sejalan dengan itu, Musa Asy’arie, mengemukakan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, menurut Musa Asy’arie diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial. Berkaitan dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan. Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.

#semoga bermanfaat. 


Pendidikan Multikultural Di Sekolah : Peran Guru Dalam Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural Di Sekolah : Peran Guru Dalam Pendidikan Multikultural
Sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleran, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai perbedaan. Proses pendidikan ke arah ini dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial. Mengenai fokus pendidikan multikultural, H.A.R. Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok sosial, agama, dan kultural mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti ataupun pengakuan terhadap orang lain yang berbeda. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap indeference dan non-recognition tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang, baik itu sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dalam konteks deskriptif, pendidikan multikultural seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan. Adapun pelaksanaan pendidikan multikultural tidaklah harus mengubah kurikulum.
Pelajaran pendidikan multikultural dapat terintegrasi pada mata pelajaran lainnya. Hanya saja diperlukan pedoman bagi guru untuk menerapkannya. Yang utama kepada para siswa perlu diajari mengenai toleransi, kebersamaan, HAM, demokratisasi, dan saling menghargai. Hal tersebut sangat berharga bagi bekal hidup mereka di kemudian hari dan sangat penting untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah memegang peranan penting dalam menanamkan nilai multikultural pada siswa sejak dini. Bila sejak awal mereka telah memiliki nilai-nilai kebersamaan, toleran, cinta damai, dan menghargai perbedaan, maka nilai-nilai tersebut akan tercermin pada tingkah-laku mereka seharihari karena terbentuk pada kepribadiannya. Bila hal tersebut berhasil dimiliki para generasi muda kita, maka kehidupan mendatang dapat diprediksi akan relatif damai dan penuh penghargaan antara sesama dapat terwujud. Perguruan Tinggi, khususnya tenaga kependidikan berkewajiban memberi sumbangan pikiran, mencari inovasi baru dalam pelaksanaan pendidikan, dalam hal ini model pembelajaran pendidikan multikultural.
Hal ini tidak hanya kewajiban dari disiplin ilmu-ilmu humaniora, tetapi menjadi kewajiban semua disiplin ilmu karena pada dasarnya tidak ada ilmu yang bebas dari nilai, khususnya nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, kepedulian sekolah, dalam hal ini guru mengimplementasikan nilai-nilai multikultural dalam berbagai kesempatan yang ada di sekolah sangat mendukung dimilikinya nilai-nilai multikultural tersebut pada setiap siswa.

Isu Multikultural Di Indonesia Dan Permasalahan Masyarakat Yang Berkembang

Isu Multikultural Di Indonesia Dan Permasalahan Masyarakat Yang Berkembang
Pelaksanaan pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa menerapkan kebijakan yang sentralistis dengan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan berakibat telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional, dan damai. Kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antarkelompok, dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok. Hal ini tidak bisa lepas dari proses pembelajaran yang dilaksanakan pada masyarakat Indonesia yang cenderung kurang menekankan pentingnya menghargai perbedaan. Sejak dulu pendidikan kita mengajarkan dan menekankan persamaan (keseragaman) bukan menghargai perbedaan.
Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, suku, dan agama sehingga Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Akan tetapi, di lain pihak, realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Pluralisme pasti dijumpai dalam setiap komunitas masyarakat. Teristimewa pada saat ini, ketika teknologi transportasi dan komunikasi telah mencapai kemajuan pesat. Kemajemukanmerupakan inevitable destiny di tingkat global maupun di tingkat bangsa-negara dan komunitas.
 Secara teknis dan teknologis, kita telah mampu untuk tinggal bersama dalam masyarakat majemuk. Namun demikian, spiritual kita belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur yang antara lain mencakup perbedaan dalam hal agama, etnis, dan kelas sosial. Indonesia memiliki kemajemukan suku. Kemajemukan suku ini merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang bisa dibanggakan. Akan tetapi, tanpa kita sadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini telah terbukti di beberapa wilayah Indonesia terjadi konflik seperti di Sampit (antara Suku Madura dan Dayak), di Poso (antara Kristiani dan Muslim), di Aceh (antara GAM dan RI), ataupun perkelahian yang kerap terjadi antarkampung di beberapa wilayah di pulau Jawa dan perkelahian pelajar antarsekolah.