RELASI PANCASILA, AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH
REFLEKSI
Setiap kali kita disodorkan pada peristiwa sejarah, seperti hari Kebangkitan
Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, Kesaktian Pancasila dan
sebagainya, selalu ada pertanyaan yang mengoda. Apakah seluruh hari-hari
istimewa yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar sebuah
rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu
merupakan amanat peristiwa luar biasa (extraordinary) yang menagih
keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan. Jika yang
pertama kita sedang mensakralkan waktu dalam bentuk mitos yang terkurung
dalam ruang museum politik, maka yang kedua, kita sedang ditagih untuk
melakukan evaluatif atas pemaknaan peristiwa yang terkandung dalam hari
istimewa itu. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi atas relasi Pancasila,
Agama dan Kebudayaan, yang secara semi-permanen telah mengalami dinamika internal
yang rumit, sedangkan secara eksternal telah dihadapkan pada determinasi
globalisasi yang dahsyat. Sebagai sumber tata-nilai dan sistem simbolik,
ketiganya, dalam dimensi tertentu, mengalami persaingan dalam mendefinisikan
realitas, tetapi dalam dimensi yang lain mereka dapat saling bekerjasama,
saling mengisi dan saling membutuhkan.
Hubungan yang tidak saling mengganggu dan saling mencari, akan
terjadi, jika ketiganya memposisikan diri dalam ranah yang dimiliki dan
sekaligus menyadari akan limitasinya. Agama dan kebudayaan misalnya, by
nature mengalami kerisauan abadi atas setiap perubahan yang disodorkan,
khususnya oleh globalisasi yang serba menuntut homogenisasi budaya dan
sekularisasi. Penagihan perubahan yang begitu cepat yang serba membutuhan
jawaban normatif, tidak selalu tersedia jawaban cepat-saji dari agama. Sebagai
sistem nilai yang bersifat deduksi (dibenarkan dulu baru dibuktikan),
membuat agama cenderung mengalami kesulitan untuk meramu jawaban instan yang dibutuhkan
tanpa mereduksi nilai kesakralannya. Perubahan yang diakibatkan modernisasi
yang tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya, sekularisasi, yang mengancam
eksistensi agama, merupakan musuh utama dari semua agama.
Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan. Sebagai sumber nilai
dan sistem simbolik yang sebagain diproduksi dari tradisi, modernisasi yang
menawarkan perubahan yang tanpa mempedulikan keberadaan tradisi, mudah
mengancam eksistensi budaya dalam semangatnya untuk mengawetkan nilai-nilai
lama. Sementara disharmoni antara Pancasila dan Agama seringkali terjadi, jika
keduanya telah mengalami perubahan kelamin. Posisi agama sebagai ”world-view”
atau ”addin”, dalam tataran sistem nilai merupakan ”beyond ideology”.
Tetapi agama bisa berubah menjadi ideologi jika telah menfungsikan diri sebagai
legitimasi status-quo (baca: kekuasaan). Sebaliknya Pancasila bisa
berubah menjadi ”pseudo-agama” jika ia menduduki karakteristik agama
sebagai doktrin yang taken for granted, given, sami’na
wa-atho’na (mendengar dan taat), yang tidak dapat dikritik dan bersifat
doktriner. Pancasila hanya akan memiliki fungsi optimal jika ia diletakkan
sebagai ideologi terbuka.
Agama membutuhkan Pancasila dalam menyelesaikan keterbatasannya,
khususnya dalam mempertemukan kehendak bersama antar agama dan/atau mereduksi
ikatan primordial yang potensial menghadirkan konflik. Dalam dimensi sosiologis
agama seringkali memiliki fungsi laten sebagai ”pemecah” (out group) dan
sekaligus fungsi manifes sebagai ”perekat” (in group). ”Cacat” agama ini
hanya dapat dijembatani melalui konsensus bersama, yang antara lain melalui
Pancasila. Sebaliknya Pancasila membutuhkan agama dalam memperkaya kedalaman makna
hidup, khususnya yang berkaitan beyond reality (penjelasan tentang kematian,
dan sebagainya). Dengan kata lain, untuk mengetahui relasi antara Pancasila,
Agama dan Kebudayaan, khususnya dalam semangat mengkompromikan jelas
membutuhkan pelacakan sejarah, baik dari aspek diakronis maupun sinkronisnya.
Manfaatnya adalah selain untuk menghindari berbagai ketegangan yang tidak
produktif juga untuk mencegah terjadinya ”clash of cultural” dan/atau ”clash
of ideology” yang bisa membawa porak-porandanya bangsa Indonesia di masa
yang akan datang.
No comments:
Post a Comment