Sunday, September 2, 2018

RELASI PANCASILA, AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH REFLEKSI

RELASI PANCASILA, AGAMA DAN KEBUDAYAAN: SEBUAH REFLEKSI
Setiap kali kita disodorkan pada peristiwa sejarah, seperti hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, Kesaktian Pancasila dan sebagainya, selalu ada pertanyaan yang mengoda. Apakah seluruh hari-hari istimewa yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar sebuah rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu merupakan amanat peristiwa luar biasa (extraordinary) yang menagih keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan. Jika yang pertama kita sedang mensakralkan waktu dalam bentuk mitos yang terkurung dalam ruang museum politik, maka yang kedua, kita sedang ditagih untuk melakukan evaluatif atas pemaknaan peristiwa yang terkandung dalam hari istimewa itu. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi atas relasi Pancasila, Agama dan Kebudayaan, yang secara semi-permanen telah mengalami dinamika internal yang rumit, sedangkan secara eksternal telah dihadapkan pada determinasi globalisasi yang dahsyat. Sebagai sumber tata-nilai dan sistem simbolik, ketiganya, dalam dimensi tertentu, mengalami persaingan dalam mendefinisikan realitas, tetapi dalam dimensi yang lain mereka dapat saling bekerjasama, saling mengisi dan saling membutuhkan.
Hubungan yang tidak saling mengganggu dan saling mencari, akan terjadi, jika ketiganya memposisikan diri dalam ranah yang dimiliki dan sekaligus menyadari akan limitasinya. Agama dan kebudayaan misalnya, by nature mengalami kerisauan abadi atas setiap perubahan yang disodorkan, khususnya oleh globalisasi yang serba menuntut homogenisasi budaya dan sekularisasi. Penagihan perubahan yang begitu cepat yang serba membutuhan jawaban normatif, tidak selalu tersedia jawaban cepat-saji dari agama. Sebagai sistem nilai yang bersifat deduksi (dibenarkan dulu baru dibuktikan), membuat agama cenderung mengalami kesulitan untuk meramu jawaban instan yang dibutuhkan tanpa mereduksi nilai kesakralannya. Perubahan yang diakibatkan modernisasi yang tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya, sekularisasi, yang mengancam eksistensi agama, merupakan musuh utama dari semua agama.
Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan. Sebagai sumber nilai dan sistem simbolik yang sebagain diproduksi dari tradisi, modernisasi yang menawarkan perubahan yang tanpa mempedulikan keberadaan tradisi, mudah mengancam eksistensi budaya dalam semangatnya untuk mengawetkan nilai-nilai lama. Sementara disharmoni antara Pancasila dan Agama seringkali terjadi, jika keduanya telah mengalami perubahan kelamin. Posisi agama sebagai ”world-view” atau ”addin”, dalam tataran sistem nilai merupakan ”beyond ideology”. Tetapi agama bisa berubah menjadi ideologi jika telah menfungsikan diri sebagai legitimasi status-quo (baca: kekuasaan). Sebaliknya Pancasila bisa berubah menjadi ”pseudo-agama” jika ia menduduki karakteristik agama sebagai doktrin yang taken for granted, given, sami’na wa-atho’na (mendengar dan taat), yang tidak dapat dikritik dan bersifat doktriner. Pancasila hanya akan memiliki fungsi optimal jika ia diletakkan sebagai ideologi terbuka.
Agama membutuhkan Pancasila dalam menyelesaikan keterbatasannya, khususnya dalam mempertemukan kehendak bersama antar agama dan/atau mereduksi ikatan primordial yang potensial menghadirkan konflik. Dalam dimensi sosiologis agama seringkali memiliki fungsi laten sebagai ”pemecah” (out group) dan sekaligus fungsi manifes sebagai ”perekat” (in group). ”Cacat” agama ini hanya dapat dijembatani melalui konsensus bersama, yang antara lain melalui Pancasila. Sebaliknya Pancasila membutuhkan agama dalam memperkaya kedalaman makna hidup, khususnya yang berkaitan beyond reality (penjelasan tentang kematian, dan sebagainya). Dengan kata lain, untuk mengetahui relasi antara Pancasila, Agama dan Kebudayaan, khususnya dalam semangat mengkompromikan jelas membutuhkan pelacakan sejarah, baik dari aspek diakronis maupun sinkronisnya. Manfaatnya adalah selain untuk menghindari berbagai ketegangan yang tidak produktif juga untuk mencegah terjadinya ”clash of cultural” dan/atau ”clash of ideology” yang bisa membawa porak-porandanya bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

No comments:

Post a Comment