Tuesday, November 27, 2018

Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000). Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan antara negara satu dengan negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu Propinsi, Kabupaten atau Kota. Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara menjadi negara industrialisasi. Kontribusi sektor pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu 15 proses yang multidimensional (Mudrajat, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan daerah dari suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Todaro,2000; Mudrajat, 2000;)
1.      Ketahanan (Sustenance): Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,papan, kesehatan dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2.      Harga diri ( Self Esteem ): Pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu
3.      Freedom from servitude: Kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Salah satu aspek pembangunan wilayah (regional) adalah pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produksi, serta perubahan status kerja buruh. Karena itu konsep pembangunan wilayah (regional) sangat tepat bila didukung dengan teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, pusat pertumbuhan dan teori spesialisasi.
Rahardjo Adisasmita (2005), menyatakan bahwa Pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, tehnologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Terdapat pula beberapa teori penting lainnya mengenai pembangunan ekonomi wilayah (regional) diantaranya menurut aliran Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor kemajuan tehnologi dan perkembangan jumlah penduduk. Sumbangan pemikiran aliran Neo Klasik tentang teori pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut : 1. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi 2. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual 3. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif 4. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan). 5. Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik ini telah banyak digunakan dalam analisis regional namun terdapat beberapa asumsi mereka yang tidak tepat antara lain, (a). Full employment yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi regional dimana persoalan–persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b). persaingan sempurna tidak bisa diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial.

Selanjutnya Todaro (1997) menyatakan bahwa, terdapat beberapa sumber strategis dan dominan yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Salah satu klasifikasinya adalah faktor fisik dan manajemen. Secara spesifik disebutkan terdapat 3 faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu, akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan mempekerjakan tambahan pekerja itu secara produktif. Faktor utama lainnya adalah kemajuan tehnologi.
Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999). Perroux yang terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul diberbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Pertumbuhan hanya terjadi dibeberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat , 2002). Selanjutnya Kuznets (Todaro, 2000), yang telah berjasa dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa, pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahapan berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian terkenal secara luas sebagai konsep.


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah


Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan antara Pemerintah Daerah dan pihak swasta guna penciptaan lapangan kerja, serta dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah bersangkutan (Soeparmoko, 2002). Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah, sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang berlandaskan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja secara optimal dari segi jumlah, produktivitas dan efisien. Dalam penentuan kebijakan, haruslah memperhitungkan kondisi internal maupun perkembangan eksternal. Perbedaan kondisi internal dan eksternal hanyalah pada jangkauan wilayah, dimana kondisi internal meliputi wilayah daerah/regional, sedangkan kondisi eksternal meliputi wilayah nasional. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah akan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap kebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana, investasi dan akses terhadap sumber dana, kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) serta pengembangan sumberdaya manusia.
Sejak era reformasi tahun 1999 terjadi pergeseran paradigma dalam sistim penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi atau disebut Otonomi daerah yang mengandung makna, beralihnya sebagian besar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah (Armida, 2000). Hal ini membawa implikasi mendasar terhadap keberadaan tugas, fungsi dan tanggung jawab pelaksanaan otonomi daerah yang antara lain dibidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah serta pencarian sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan dengan cara menggali potensi yang dimiliki oleh daerah. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kebijakan daerah itu sendiri dalam menentukan sektor-sektor yang diprioritaskan untuk pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut .
John Glasson (1990) mengatakan bahwa kemakmuran suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pada struktur ekonominya dan faktor ini merupakan faktor utama. Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung pada usaha-usaha di daerah tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa, serta usaha-usaha pembangunan yang diperlukan. Oleh sebab itu maka kegiatan basis mempunyai peranan penggerak utama (prime mover role) dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dimana setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional. Berdasarkan teori basis ekonomi, faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad,1999). Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja (job creation). Dalam pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan perencanaan dan strategi yang tepat karena disetiap daerah mempunyai keadaan yang berbeda, mempunyai karakteristik tersendiri, laju pertumbuhan ekonomi maupun potensi yang dimiliki masing-masing daerah.
Daerah Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi yang ada di pulau Sulawesi, merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi ditinjau dari segi luas wilayah, Sulawesi Tengah mempunyai luas wilayah sebesar 63.678 km2 sedangkan propinsi Sulawesi Selatan hanya sebesar 62.365 km2 , Propinsi Sulawesi Utara mempunyai luas wilayah sebesar 15.273 km2 dan Propinsi Sulawesi Tenggara sebesar 38.140 km2. Namun demikian dengan luas wilayah yang relatif besar serta jumlah penduduk yang tidak

PERCEPATAN EKONOMI PEDESAAN MELALUI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT


PERCEPATAN EKONOMI PEDESAAN MELALUI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pertumbuhan ekonomi Riau selama periode tahun 2005-2010 sebesar 14,35 persen, pertumbuhan yang tinggi ini ditopang oleh sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan. Pada tahun 1996 sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi rakyat pedesaan Riau hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2 persen sementara sektor industri melaju sebesar 14 persen. Namun pada tahun 2002 sektor pertanian sudah mulai membaik dengan angka pertumbuhan sebesar 6,06 persen, sedangkan sektor industri 12,47 persen. Selama periode 2005- 2010 perumbuhan sektor pertanian atas dasar harga konstan 4,08 persen, sedangkan atas dasar harga berlaku sebesar 19,07 persen. Tingginya pertumbuhan sektor pertanian karena ditunjang oleh tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor seperti kelapa sawit, karet, gambir, dan sebagainya.
Pemerintah Daerah Riau mencanangkan pembangunan Daerah Riau melalui program pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan pembangunan infrastruktur (lebih dikenal dengan program K2I). Setiap pembangunan yang dilaksanakan di Daerah Riau harus mengacu kepada Program K2I. Karena pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, maka kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan, khususnya sektor perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kelapa. Sampai saat ini kelapa sawit merupakan tanaman primadona masyarakat Riau. Ada beberapa alasan kenapa Pemerintah Daerah Riau mengutamakan kelapa sawit sebagai komoditas utama, antara lain: Pertama, dari segi fisik dan lingkungan keadaan daerah Riau memungkinkan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kondisi daerah Riau yang relatif datar memudahkan dalam pengelolaan dan dapat menekan biaya produksi; Kedua, kondisi tanah yang memungkinkan untuk ditanami kelapa sawit menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan daerah lain; Ketiga, dari segi pemasaran hasil produksi Daerah Riau mempunyai keuntungan, karena letaknya yang strategis dengan pasar internasional yaitu Singapura; Keempat, Daerah Riau merupakan daerah pengembangan Indonesia Bagian Barat dengan dibukanya kerjasama Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT), berarti terbuka peluang pasar yang lebih menguntungkan; dan kelima, berdasarkan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza, 2002). Kelapa sawit merupakan pengembangan subsektor perkebunan yang berbasis agribisnis. Aktivitas perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya memberikan nilai tambah yang tinggi di sektor perokonomian. Menurut Gumbira-Sa’id, E. dan L. Febriyanti (2005), sektor agribisnis merupakan lapangan kerja yang berperan besar dalam penurunan tingkat pengangguran. Karena itu pengembangan pertanian sudah seharusnya dipusatkan kepada pengembangan produktivitas yang dicapai melalui manajemen agribisnis yang ditata dengan baik. Agribisnis mencakup keseluruhan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usahatani dan pemasarannya sehingga produksinya sampai pada konsumen akhir. Agribisnis meliputi seluruh sektor bahan masukan usahatani, terlibat dalam proses produksi, dan pada akhirnya menangani pemprosesan, penyebaran, penjualan secara borongan dan eceran produk kepada konsumen akhir. Agribisnis merupakan sektor perekonomian yang menghasilkan dan mendistribusikan masukan bagi pengusahatani, memasarkan, dan memproses serta mendistribusikan produk usahatani kepada pemakai akhir. Di masa lalu, petani di pedesaan berada pada mata rantai yang memberikan nilai tambah kecil (pertanian primer) dalam keseluruhan kegiatan ekonomi yang berbasis pertanian, mulai dari industri hulu hingga hilir, sehingga wajar jika pendapatan petani rendah. Sementara mereka yang menguasai mata rantai kegiatan ekonomi yang memberikan nilai tambah besar seperti industri hulu dan hilir pertanian beserta kegiatan perdagangannya, mampu berkembang dan menjadi konglomerat besar. Oleh sebab itu kita perlu memperkuat ekonomi rakyat agar mampu merebut nilai tambah yang besar. Menurut Saragih (2001a) dalam upaya penguatan ekonomi rakyat, industrialisasi pertanian merupakan syarat keharusan (necessary condition). Industrialisasi menjamin iklim makro kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berada pada kegiatan ekonomi berbasis pertanian. Untuk penguatan ekonomi rakyat secara riil, diperlukan syarat kecukupan (sufficient condition) berupa pengembangan organisasi bisnis petani yang dapat merebut nilai tambah yang tercipta pada setiap mata rantai ekonomi dalam industrialisasi pertanian. Hasil penelitian Syahza (2007), kegiatan agribisnis melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau membawa perubahan besar terhadap keadaan masyarakat pedesaan. Di samping itu dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit juga merangsang tumbuhnya industri pengolahan yang bahan bakunya dari kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit mempunyai dampak ganda terhadap ekonomi wilayah, terutama sekali dalam menciptakan kesempatan dan peluang kerja. Pembangunan perkebunan kelapa sawit ini telah memberikan tetesan manfaat (trickle down effect), sehingga dapat memperluas daya penyebaran (power of dispersion) pada masyarakat sekitarnya. Semakin berkembangnya perkebunan kelapa sawit, semakin terasa dampaknya terhadap tenaga kerja yang bekerja pada sektor perkebunan dan sektor turunannya. Dampak tersebut dapat dilihat dari peningkatan pendapatan masyarakat petani, sehingga meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, baik untuk kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Berdasarkan peran kelapa sawit terhadap perekonomian pedesaan dan perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di daerah Riau, maka penelitian ini mencoba mengidentifikasi dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan dalam upaya mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat petani. Untuk itu rumusan masalah yang diteliti adalah: 1) Apakah kegiatan kelapa sawit dapat menciptakan multiplier effect ekonomi yang besar di daerah pedesaan? 2) Apakah pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan? Setelah penelitian ini dilakukan dapat memberikan gambaran perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit dan dampaknya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat pedesaan khususnya upaya mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat petani di pedesaan.

Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI

UKURAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Berdasarkan pengertian tentang pembangunan ekonomi di atas maka untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan ekonomi suatu negara diperlukan indikator yang bersifat fisikal, ekonomi, sosial, dan politik yang dapat dikelompokkan menjadi dua indikator, yaitu indikator moneter, indikator nonmoneter, dan indikator yang bersifat campuran. Masing-masing indikator tersebut dibahas berikut ini.
1.      Indikator Moneter
Pendapatan per kapita Pendapatan per kapita merupakan konsep yang paling sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Konsep pendapatan per kapita itu sendiri merupakan indikator atas kinerja perekonomian secara keseluruhan. Pendapatan per kapita adalah indikator moneter atas setiap aktivitas ekonomi penduduk suatu negara. Namun, banyak ekonom memandang pendapatan per kapita bukanlah indikator yang terbaik atas kinerja pembangunan suatu negara. Hal ini disebabkan oleh adanya argumen yang menyatakan bahwa pembangunan itu bukan hanya sekadar meningkatkan pendapatan riil saja, namun harus pula disertai oleh perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku yang sebelumnya menjadi penghambat kemajuan-kemajuan ekonomi.
Meskipun di sisi lain pendapatan per kapita dianggap memiliki kelemahan mendasar sebagai indikator pembangunan, pendekatan ini masih relevan untuk digunakan dan mudah untuk dipahami. Pendekatan ini juga mempunyai sebuah kelebihan, di mana ia memfokuskan diri pada masalah inti (raison d'etre) dari pembangunan, yaitu meningkatnya standar hidup dan berkurangnya angka kemiskinan. Dengan kata lain, pendapatan per kapita bukanlah sebuah proxy yang buruk dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Pendapatan per kapita juga merupakan salah satu variabel penting dalam pembahasan ekonomi makro. Selain digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran masyarakat suatu negara, pendapatan per kapita juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian suatu negara dari masa ke masa, melihat struktur perekonomian suatu negara, serta membandingkan kinerja perekonomian satu negara dengan negara-negara lain. 1) Kelemahan umum pendekatan pendapatan per kapita Salah satu kelemahan mendasar dari pendapatan per kapita sebagai sebuah indikator pembangunan adalah pada ketidakmampuannya untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara utuh. Sering kali adanya kenaikan pendapatan per kapita suatu negara tidak disertai oleh perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Sebenarnya, sudah sejak lama ada keraguan pada konsep pendapatan per kapita sebagai cerminan dari tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh segenap masyarakat. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa tingkat pendapatan masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka, di samping itu ada beberapa faktor lain yang di nilai cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Faktor-faktor non-ekonomi, seperti adat istiadat, keadaan iklim dan alam sekitar, serta ada atau tidaknya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan bertindak merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan di negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. Misalnya, apabila penduduk di daerah pegunungan kita asumsikan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif sama dengan penduduk yang hidup di daerah dataran rendah. Berdasarkan pada perbedaan kondisi alam dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di daerah dataran rendah adalah lebih tinggi karena pada umumnya penduduk di daerah dataran rendah menghadapi tantangan alam yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan penduduk di daerah pegunungan. Di daerah dataran rendah, iklimnya tidak terlalu dingin, pekerjaan bertani dan bercocok tanam pun lebih mudah dilakukan, dan energi yang dikeluarkan untuk perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya relatif lebih sedikit. Ada tidaknya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat juga memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Tidak adanya kebebasan dalam bertindak dan mengeluarkan pendapat di suatu negara (misalnya, pada negara-negara sosialis) menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selalu dipandang lebih rendah dari yang dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonominya. Di sisi lain, beberapa ekonom memandang bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan suatu hal yang bersifat subjektif. Artinya, setiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup, dan cara hidup yang berbeda sehingga memberikan nilai yang berbeda pula terhadap faktorfaktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Ada sekelompok orang yang lebih menekankan pada pemupukan kekayaan dan tingkat pendapatan yang tinggi sebagai unsur penting untuk mencapai sebuah kepuasan hidup. Ada pula sekelompok orang yang lebih suka untuk memperoleh waktu senggang (leisure time) yang lebih banyak dan enggan untuk bekerja lebih keras untuk memperoleh tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Di samping itu, perlu diingat bahwa pembangunan ekonomi mampu merubah kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, misalnya hilangnya rasa komunalitas sehingga masyarakat menjadi bersifat lebih individualistis, hubungan antara anggota masyarakat menjadi lebih formal. Di satu sisi, pembangunan ekonomi dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi ini harus dicapai dengan beberapa pengorbanan dalam perilaku hidup masyarakat.
2.      Kelemahan metodologis pendekatan pendapatan per kapita
Pendapatan per kapita sebagai indeks yang menunjukkan perbandingan tingkat kesejahteraan antarmasyarakat ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan ini timbul karena pendekatan ini mengabaikan adanya perbedaan karakteristik antar negara, misalnya struktur umur penduduk, distribusi pendapatan masyarakat, kondisi sosial-budaya, dan perbedaan nilai tukar (kurs) satu mata uang terhadap mata uang yang lain. Dibandingkan dengan negara-negara maju, proporsi penduduk usia nonproduktif (di bawah umur) terhadap keseluruhan penduduk di NSB cukup tinggi. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap keluarga di kedua kelompok negara itu tidaklah seburuk seperti yang digambarkan oleh pendapatan per kapita mereka. Misalnya, keluarga Pak Amir terdiri dari 5 anggota keluarga dengan pendapatan US $900 dan keluarga Pak Badu terdiri dari 3 anggota keluarga dengan pendapatan US $600. Meskipun pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Amir lebih rendah dibandingkan pendapatan per kapita anggota keluarga Pak Badu, sangat mungkin keluarga Pak Amir mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan keluarga Pak Badu karena beberapa jenis pengeluaran mendasar, seperti rekening air dan listrik, perumahan, serta barang-barang lain yang digunakan secara bersamasama tidak banyak berbeda di antara kedua keluarga tersebut. Selain tingkat pendapatan, distribusi pendapatan merupakan faktor yang cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Faktor ini sering kali kurang diperhatikan dalam perhitungan tingkat pendapatan per kapita karena asumsi pokok yang digunakan dalam konsep pendapatan per kapita adalah one dollar, one man, artinya setiap orang memiliki proporsi yang sama atas pembentukan pendapatan per kapita. Perkembangan di banyak NSB menunjukkan bahwa seiring dengan proses pembangunannya, distribusi pendapatan justru menjadi semakin timpang. Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa NSB karena usaha-usaha pembangunan dianggap hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan paling mendasar dari pembangunan belum sepenuhnya tercapai.
Paling tidak, ada tiga hal yang menyebabkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat meskipun tingkat pendapatan per kapitanya secara nominal relatif sama: (a) Pola pengeluaran masyarakat, adanya perbedaan pada pola pengeluaran masyarakat menyebabkan dua negara dengan pendapatan per kapita yang sama belum tentu menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Misalnya, kita asumsikan ada dua orang dengan tingkat pendapatan relatif sama, namun salah seorang di antaranya harus mengeluarkan ongkos angkutan yang lebih tinggi untuk pergi ke tempat kerja, harus berpakaian necis maka tidak dapat dikatakan bahwa kedua orang tersebut mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama tingginya. (b) Perbedaan iklim, adanya perbedaan iklim juga memungkinkan timbulnya perbedaan pola pengeluaran masyarakat di negara-negara maju dan NSB. Masyarakat di negara maju harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan yang sama dengan di NSB. Seperti kita ketahui, sebagian besar negara maju beriklim dingin dan sebagian besar NSB beriklim tropis. Oleh karena itu, penduduk negara-negara maju sering kali harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk dapat menikmati “iklim tropis” seperti yang biasa dinikmati oleh penduduk NSB. (c) Struktur produksi nasional, adanya perbedaan yang mencolok pada komposisi sektoral juga akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Suatu masyarakat akan menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih rendah jika proporsi pendapatan nasional (pengeluaran) yang digunakan untuk anggaran pertahanan dan pembentukan modal (capital formation) lebih tinggi dibandingkan di negara lain yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. Selama ini, metode perhitungan pendapatan nasional bersifat agregatif sehingga tidak dapat menunjukkan perubahan serta distribusi antar sektor. Misalnya, jika sektor pertanian memiliki proporsi sebesar 50% dari GNP dan sektor non-pertanian juga 50% dari GNP maka jika GNP tumbuh sebesar 10% per tahunnya, kemungkinan distribusinya ditunjukkan oleh Tabel 1.2 berikut ini.


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI


Ukuran Pembangunan Ekonomi - PEMBANGUNAN EKONOMI ATAU PERTUMBUHAN EKONOMI

Sebelum dekade 1960-an, pembangunan didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi nasional - di mana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama - untuk dapat mengakselerasi dan mempertahankan laju pertumbuhan GNP-nya pada angka 7% atau lebih per tahun. Definisi pembangunan dalam konteks ini sangat-5 bersifat ekonomis.
Seiring dengan perubahan zaman, definisi pembangunan pun mengalami perubahan karena berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasikan pada pertumbuhan GNP saja tidak akan mampu memecahkan permasalahan-permasalahan mendasar dari pembangunan. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan meskipun target pertumbuhan GNP per tahun telah tercapai. Dengan kata lain, ada “kesalahan” dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit.
Oleh karena itu, Todaro & Smith (2003) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (sustenance), (2) meningkatnya rasa harga diri (selfesteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
Akhirnya, disadari bahwa definisi pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekadar bagaimana meningkatkan GNP per tahun saja. Pembangunan itu bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja. Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan suatu negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan tersebut maka pembangunan ekonomi pada umumnya dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai dengan perbaikan sistem kelembagaan.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai sifat sebagai berikut.
1. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara kontinu.
2. Usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita.
3. Peningkatan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang.
4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya). Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan di bidang regulasi (baik legal formal maupun informal).
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses agar pola keterkaitan dan saling memengaruhi antara faktor-faktor dalam pembangunan ekonomi dapat diamati dan dianalisis. Dengan cara tersebut dapat diketahui runtutan peristiwa yang terjadi dan dampaknya pada peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga perlu dipandang sebagai suatu proses kenaikan dalam pendapatan per kapita karena kenaikan tersebut mencerminkan tambahan pendapatan dan adanya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat. Biasanya laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tingkat pertambahan GDP atau GNP.
Namun, proses kenaikan pendapatan per kapita secara terus-menerus dalam jangka panjang saja tidak cukup bagi kita untuk mengatakan telah terjadi pembangunan ekonomi. Perbaikan struktur sosial, sistem kelembagaan (baik organisasi maupun aturan main), perubahan sikap dan perilaku masyarakat juga merupakan komponen penting dari pembangunan ekonomi, selain masalah pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Todaro & Smith, 2003). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi hanya didefinisikan sebagai kenaikan GDP atau GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, dan apakah ada perubahan struktur ekonomi atau perbaikan sistem kelembagaan atau tidak.
Namun, ada beberapa ekonom memberikan definisi yang sama untuk kedua istilah tersebut, khususnya dalam konteks negara maju. Secara umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara-negara maju, sedangkan istilah pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi di NSB.

KARAKTERISTRIK UMUM NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB)- Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang


KARAKTERISTRIK UMUM NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB)- Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang

Setelah kita membahas tentang pengelompokan negara-negara di dunia, sekarang saatnya kita membahas tentang sifat dan karakteristik NSB. Todaro & Smith (2003) mengemukakan beberapa karakteristik umum NSB, yaitu sebagai berikut.
1.      Standar Hidup yang Rendah Pada umumnya, standar hidup sebagian besar penduduk NSB sangat rendah. Standar hidup yang rendah pada NSB bukan hanya jika dibandingkan dengan standar hidup di negara-negara maju, namun juga jika dibandingkan dengan standar hidup sekelompok kecil (elite) penduduk di dalam NSB itu sendiri.
Di NSB, standar hidup yang rendah itu tampak sangat nyata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan per kapita yang rendah, kemiskinan yang kronis, kondisi perumahan yang tidak memadai, sarana kesehatan yang masih sangat terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kematian bayi yang tinggi, tingkat harapan hidup yang rendah, adanya perasaan tidak aman, dan rasa putus asa.
2.      Tingkat Produktivitas Rendah.
NSB dicirikan pula oleh tingkat produktivitas tenaga kerjanya yang rendah. Seperti kita ketahui, konsep fungsi produksi yang secara sistematis menghubungkan tingkat output dengan kombinasi-kombinasi input pada tingkat teknologi tertentu merupakan konsep yang paling sering digunakan untuk menjelaskan tentang cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan materinya. Namun, agar dapat memberikan sebuah penjelasan yang akurat, konsep fungsi produksi yang bersifat teknis ini perlu ditunjang oleh konseptualisasi yang luas termasuk di antaranya input-input lainnya, seperti motivasi pekerja, dan keluwesan kelembagaan.
Di NSB, tingkat produktivitas tenaga kerjanya (output per pekerja) sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan beberapa konsep ekonomi. Salah satunya adalah prinsip produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal productivity). Prinsip ini menyatakan bahwa jika ada penambahan kuantitas pada salah satu input variabel (misalnya tenaga kerja), sedangkan kuantitas input-input lainnya (modal, tanah) diasumsikan tetap maka pada suatu titik tertentu produk marjinal yang dihasilkan dari adanya tambahan input variabel tersebut akan menurun. Oleh karena itu, tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah bisa disebabkan oleh tidak adanya atau kurangnya input komplementer, seperti modal fisik atau manajemen sumber daya manusia yang baik.
3.      Tingkat Pertumbuhan Penduduk dan Beban Tanggungan yang Tinggi
Menurut UNDP (2008), dari sekitar 6,3 miliar penduduk dunia di tahun 2003, sebagian besar (5,3 miliar) berada di NSB, sedangkan sisanya hidup di negara-negara maju. Laju pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi dan tingkat kepadatan penduduk yang “tidak wajar”, tentu saja menambah kompleksitas permasalahan di NSB. Ada dua faktor yang memengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk suatu negara, yaitu (a) tingkat kelahiran kasar (crude birth rate) yang ditunjukkan oleh jumlah kelahiran per 1.000 penduduk tiap tahunnya, dan (b) tingkat kematian (death rate) yang ditunjukkan oleh jumlah kematian per 1.000 penduduk tiap tahunnya. Selama ini, tingkat kelahiran maupun tingkat kematian antara dua kelompok negara tersebut juga sangat timpang. Data UNDP (2005) menyebutkan bahwa hingga tahun 2003, rata-rata tingkat kelahiran kasar di NSB masih sangat tinggi, yaitu sekitar 22 kelahiran per 1.000 penduduk, sedangkan di negaranegara maju hanya sekitar 12 kelahiran per 1.000 penduduknya. Di sisi lain, tingkat kematian di NSB juga relatif lebih tinggi, yaitu sekitar 11 kematian per 1.000 penduduk, sedangkan pada negara-negara maju “hanya” mencapai angka sekitar 9 kematian per 1.000 penduduknya.
Meskipun tingkat kematian di NSB relatif lebih tinggi, namun berkat adanya perbaikan sarana dan prasarana penunjang kesehatan, sekarang perbedaan tingkat kematian antara dua kelompok negara tersebut tidak begitu besar. Sebagai dampaknya, menurut UNDP (2008), tingkat pertumbuhan 2003 di NSB adalah sebesar 1,9% per tahun,-penduduk antara tahun 1973 sedangkan di negara-negara maju “hanya” sekitar 0,7% per tahunnya.
Satu hal lagi yang menambah kompleksitas masalah kependudukan di NSB adalah proporsi penduduk di bawah usia 15 tahun (usia nonproduktif) yang cukup tinggi. Hal tersebut berdampak pada semakin tingginya rasio beban tanggungan (burden of dependency ratio). Menurut UNDP (2008), pada tahun 2003, proporsi penduduk di bawah usia 15 tahun di NSB adalah sebesar 31,6%, sedangkan di negara-negara maju hanya mencapai angka 18%. Dengan kata lain, rasio beban tanggungan di NSB hampir dua kali lebih besar dibandingkan rasio beban tanggungan di negara-negara maju.
4.      Tingginya Tingkat Pengangguran
Apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya manusia yang dilakukan oleh NSB masih relatif rendah. Ada dua hal yang memicu timbulnya fenomena tersebut, yaitu pertama, adanya pengangguran terselubung (underemployment), artinya tenaga kerja yang ada bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Hal ini terlihat dari banyaknya tenaga kerja di daerah perkotaan maupun perdesaan yang bekerja di bawah jam kerja normal, mereka hanya bekerja secara harian, mingguan atau musiman.
Pengangguran terselubung tersebut juga terlihat pada tenaga kerja yang bekerja penuh waktu, sesuai dengan jam kerja normal namun produktivitasnya begitu rendah sehingga adanya penambahan jam kerja tidak akan mempunyai pengaruh yang berarti terhadap jumlah output. Kedua, adanya pengangguran terbuka (open unemployment), artinya orang-orang yang sebenarnya mampu dan sangat ingin bekerja namun tidak ada pekerjaan yang tersedia bagi mereka. Keadaan ini menuntut penciptaan lapangan kerja baru sesuai dengan perkembangan jumlah tenaga kerja. Data Bank Dunia 2004 rata-rata jumlah-(2006) menyebutkan bahwa antara tahun 2000 pengangguran di NSB adalah 12% dari keseluruhan angkatan kerja, sedangkan di negara-negara maju penganggurannya “hanya” mencapai angka 5,4%.
5.      Ketergantungan terhadap Produksi Pertanian dan Ekspor Produk Primer
Data Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk NSB hidup di daerah perdesaan. Hingga tahun 2004, perbandingan jumlah penduduk antara desa dan kota di NSB adalah 57 dan 43, sedangkan di negara-negara maju perbandingan tersebut berubah drastis menjadi 22 dan 78. Daerah perdesaan dikenal sebagai basis sektor pertanian sehingga apabila dilihat dari konsentrasi penduduknya maka dapat dikatakan bahwa 58% penduduk di NSB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Pada periode yang sama, menurut Bank Dunia (2006), kontribusi sektor pertanian terhadap GDP di NSB adalah sekitar 12%, sedangkan di negara-negara maju hanya sekitar 2%. Di sisi lain, sepuluh tahun sebelumnya, pada tahun 1990 kontribusi sektor pertanian terhadap GDP di NSB adalah sekitar 18%, sedangkan di negara-negara maju hanya 3%. Hal tersebut menunjukkan adanya fenomena transformasi struktural, dari sektor pertanian beralih ke sektor modern. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun sektor pertanian di NSB menyerap sebagian besar tenaga kerjanya, namun kontribusi sektor tersebut dinilai sangatlah kurang. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, ada dua kebijakan yang dapat dijalankan NSB, (a) adanya revitalisasi pertanian, mengingat sektor pertanian merupakan basis perekonomian NSB; dan (b) adanya transformasi struktural yang dinamis, suatu proses transformasi yang tidak menyebabkan adanya “ketimpangan” dan “kepincangan” pada salah satu sektor.
6.      Dominasi Negara Maju, Ketergantungan terhadap Negara Maju, dan Vulnerabilitas dalam Hubungan-hubungan Internasional
Bagi NSB, faktor yang menyebabkan rendahnya standar hidup, tingginya angka pengangguran, dan munculnya masalah ketidakmerataan pendapatan adalah karena tingginya ketimpangan, baik di bidang ekonomi maupun politik antara negara-negara miskin dan negara-negara kaya. Ketimpangan tersebut tidak hanya dalam bentuk dominasi negara-negara kaya dalam mengendalikan pola perdagangan internasional, namun juga tampak dalam dominasi mereka dalam mendikte NSB sebagai prasyarat dalam memberikan bantuan luar negeri maupun menyalurkan modal swastanya. Kondisi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sikap ketergantungan NSB terhadap negara-negara maju dan menimbulkan sifat mudah terpengaruh (vulnerability) dari NSB terhadap dominasi dari luar yang pada akhirnya menguasai dan mendominasi setiap sendi kehidupan ekonomi dan sosial mereka.

PENGELOMPOKAN NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB) - Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang


PENGELOMPOKAN NEGARA SEDANG BERKEMBANG (NSB) - Pengelompokan dan Ciri-ciri Negara Sedang Berkembang

Pengelompokan negara-negara di dunia biasanya berdasarkan pada tingkat kesejahteraannya dengan menggunakan indikator pendapatan riil per kapita. Berdasarkan tingkat kesejahteraan tersebut, Bank Dunia mengelompokkan negara-negara di dunia menjadi dua, yaitu negara-negara maju (developed countries) dan negara-negara sedang berkembang (developing countries atau sering juga disebut less-developed countries). Negara-negara sedang berkembang ini sering juga disebut sebagai negara Dunia Ketiga atau Negara Selatan. Negara-negara yang termasuk dalam kelompok negara-negara maju yang sering juga disebut sebagai negara Dunia Pertama adalah negara-negara di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, New Zealand, dan Jepang. Selain itu, yang juga termasuk dalam kelompok negara-negara maju adalah sebagian besar negara-negara sosialis yang terdapat di kawasan Eropa Timur, seperti Rusia, Hongaria, Bulgaria, dan Polandia. Negara-negara ini sering disebut sebagai negara Dunia Kedua.
Sebagian besar NSB terdapat di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin, suatu kawasan di mana diperkirakan dua pertiga penduduk dunia berada. Taraf pembangunan mereka masih rendah dan juga banyak di antara mereka yang memiliki pendapatan per kapita kurang dari US $1.000 (Bank Dunia, 2006). Nilai tersebut tentu saja sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang sebagian besar memiliki pendapatan per kapita di atas US $10.000.
Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa ada beberapa NSB yang mempunyai pendapatan per kapita di atas US $10.000 bahkan setara dengan pendapatan per kapita negara-negara maju, misalnya Korea Selatan (US $14,000), Kuwait (US $22,470), Arab Saudi (US $10,140) dan Singapura (US $24,760). Namun, negara-negara tersebut belum dianggap sebagai kelompok negara-negara maju karena struktur ekonomi dan masyarakatnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan NSB lainnya. Menurut Celso Furtado (1964) seorang ekonom Amerika Latin di dalam Arsyad (1999), suatu negara masih disebut sebagai negara yang belum maju (underdeveloped) atau NSB jika di negara tersebut masih terjadi ketidakseimbangan antara jumlah faktor produksi yang dimiliki dengan teknologi yang mereka kuasai sehingga penggunaan modal dan tenaga kerja secara penuh (full utilization) belum tercapai.
Satu-satunya negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang pada mulanya dianggap sebagai NSB, tetapi kini dianggap sebagai negara maju adalah Jepang. Belakangan ini juga muncul beberapa negara yang mempunyai taraf pembangunan yang hampir mencapai taraf negara-negara maju, seperti Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Hongkong. Mereka sering disebut sebagai Newly Industrializing Countries (NICs).
Bank Dunia dalam World Development Indicators (2006) mengklasifikasikan 3 kelompok negara berdasarkan tingkat pendapatan nasional (Gross National Income = GNI) per kapitanya sebagai berikut: a. Negara berpenghasilan rendah (low-income economies) adalah kelompok negara-negara dengan GNI per kapita di bawah US $765. b. Negara berpenghasilan menengah (middle-income economies) adalah kelompok negara-negara dengan GNI per kapita antara US $766 sampai US$9.385. Kelompok negara berpenghasilan menengah dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1) Negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle-income economies) adalah suatu negara dengan GNI per kapita antara US $766 sampai US $3.035. 2) Negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle-income economies) adalah suatu negara dengan GNI per kapita antara US $3.036 sampai US $9.385. c. Negara berpenghasilan tinggi (high-income economies) adalah kelompok negara-negara dengan GNI per kapita di atas US $9.386.


CAKUPAN BAHASAN EKONOMI PEMBANGUNAN


CAKUPAN BAHASAN EKONOMI PEMBANGUNAN
Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh NSB dalam pelaksanaannya banyak mengalami kegagalan dalam memecahkan masalahmasalah mendasar dari pembangunan, misalnya masalah kemiskinan dan masalah kesenjangan distribusi pendapatan. Kegagalan-kegagalan tersebut telah menimbulkan dorongan bagi para ilmuwan, terutama para ekonom, untuk memperdalam pengetahuan mereka mengenai masalah yang memengaruhi kehidupan sebagian besar umat manusia di bumi ini. Sejak saat itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi telah menjadi titik perhatian yang sering dibahas oleh para ekonom.
Pandangan-pandangan para ekonom mengenai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan di NSB itulah yang kini kita kenal sebagai ekonomi pembangunan. Namun, pola pembahasan yang seragam seperti dalam analisis ekonomi mikro dan ekonomi makro tidak akan kita temui dalam analisis ekonomi pembangunan. Cabang ilmu ekonomi ini belum memiliki suatu pola analisis tertentu yang dapat diterima secara umum.
Belum adanya suatu pola analisis yang dapat diterima secara umum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain pertama, kompleksitas masalah pembangunan dan banyaknya faktor yang memengaruhi pembangunan, yang mengakibatkan melebarnya topik pembahasan di dalam ekonomi pembangunan. Ada beberapa pembahasan dalam ekonomi pembangunan, antara lain masalah pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pembentukan modal, tingkat tabungan domestik, transformasi struktural, dan bantuan luar negeri. Kedua, tidak adanya teori-teori pembangunan yang dapat menciptakan suatu kerangka dasar yang berlaku umum (grand theory) dalam memberikan gambaran mengenai proses pembangunan ekonomi. Hingga saat ini, masih terjadi silang pendapat di antara para ekonom mengenai faktor-faktor apa yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan bagaimana mekanisme proses pembangunan ekonomi itu berlangsung.
Namun, hal tersebut tidak berarti karakteristik pola analisis dalam ekonomi pembangunan tidak dapat kita kenali. Jika kita cermati, pada hakikatnya pembahasan-pembahasan dalam ekonomi pembangunan dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah pembahasan mengenai pembangunan ekonomi, baik yang bersifat deskriptif maupun analitis yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik perekonomian dan masyarakat NSB serta implikasinya pada pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Kelompok kedua adalah pembahasan mengenai berbagai pilihan orientasi kebijaksanaan pembangunan yang dapat dilaksanakan dalam upaya untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi di NSB. Oleh karena itu, Ekonomi Pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh NSB dan memberikan landasan teori bagaimana cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut agar NSB dapat membangun ekonominya secara cepat dan berkelanjutan (sustainable).



EVOLUSI FOKUS EKONOMI PEMBANGUNAN

EVOLUSI FOKUS EKONOMI PEMBANGUNAN

Pada akhir dekade 1940-an, ekonomi pembangunan menjadi bidang kajian yang paling sering dibahas, seiring dengan terbebasnya banyak negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin dari belenggu penjajahan, dan adanya keinginan dari negara-negara tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju. Selama dekade 1950-an hingga awal dekade 1960-an, kebijakan-kebijakan pembangunan ditekankan pada maksimisasi pertumbuhan GNP melalui proses akumulasi modal dan industrialisasi. Kebijakan-kebijakan yang diambil antara lain menerapkan sistem perencanaan terpusat untuk pertumbuhan investasi modal fisikal, pemanfaatan surplus tenaga kerja, pengembangan industri substitusi impor (ISI), dan mencari bantuan luar negeri. Dengan kata lain, strategi pembangunan berpusat pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan di bidang lainnya diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi dan mengikuti irama pembangunan di bidang ini. Kenyataannya, strategi ini dihadapkan pada pilihan antara pertumbuhan ekonomi atau pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua kutub strategi pembangunan yang saling mengabaikan (trade-off). Artinya, pembangunan yang menitikberatkan pada aspek pertumbuhan dalam batas-batas tertentu akan mengabaikan aspek pemerataan, begitu juga sebaliknya. 
Berdasarkan pengalaman masa lalu, pilihan pun jatuh pada aspek pertumbuhan sehingga kebijakan pembangunan yang diambil sangat menekankan pada pemacuan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan nantinya aspek pemerataan dapat pula diraih melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). 
Namun, keberhasilan pembangunan yang ditinjau dari tolok ukur ekonomi klasik tersebut sekiranya tidak mampu merefleksikan realitas kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Angka-angka yang tercermin pada GNP tidak cukup representatif dalam mengungkapkan state of mind masyarakat yang sebenarnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh semakin lebarnya jurang polarisasi ekonomi seiring dengan pesatnya pertumbuhan Pada masa itu, banyak di antara negara yang baru merdeka (NSB) terlahir dalam tatanan konfigurasi ekonomi yang suram. Hal tersebut diindikasikan oleh angka pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, sedangkan angka inflasi tidak terkendali. Konfigurasi yang ekonomi yang suram tersebut tidak memberikan batas toleransi yang luas bagi para pembuat kebijakan di negara terkait untuk berbuat kesalahan. Margin of error yang demikian sempit, tidak memberikan ruang gerak yang cukup untuk memilih berbagai alternatif model pembangunan, kecuali hanya bertumpu pada paradigma pertumbuhan yang konsekuensinya sering kali mengabaikan aspek-aspek sosial dan budaya.
Memasuki dekade 1960-an akhir dan awal dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi menitikberatkan pada aspek pertumbuhan, namun bagaimana mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa pertumbuhan yang tercermin pada kenaikan angka-angka GNP tiap tahunnya belum mampu menjadi solusi atas masalah kemiskinan dan ketimpangan sehingga “makna” pembangunan kembali dipertanyakan. Adanya keprihatinan di kalangan para pemerhati masalah-masalah pembangunan memunculkan gagasan baru tentang strategi pembangunan yang lebih memberikan “makna” bagi semua pihak pemangku kepentingan (stakeholders). Bank Dunia memperkenalkan pendekatan pembangunan pertumbuhan dengan pemerataan (redistribution with growth) dan ILO (International Labour Organization) menawarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need approach) sebagai solusi. Untuk literatur pembangunan lainnya ada yang menekankan perlunya pergeseran orientasi dari pembangunan industri menuju pembangunan perdesaan; pergeseran penekanan dari pembentukan modal fisik menuju pembentukan modal insani (human capital) sebagai modal utama pembangunan; dan pentingnya penerapan teknologi tepat guna (appropriate technology) bagi setiap negara Perubahan yang paling mendasar pada ekonomi pembangunan terjadi selama dekade 1970-an dan dekade 1980-an yang dikenal dengan istilah „kebangkitan ekonomi neoklasik‟ (resurgence of neoclassical economics). Jika pada dekade 1950-an para ekonom pembangunan merumuskan teori pembangunan yang dianggap berlaku umum (grand theories) dan strategistrategi yang bersifat umum di dalam upaya memecahkan permasalahan NSB, pada dekade 1970-an dan 1980-an sebaliknya. Fokus kajian ekonomi pembangunan sudah lebih ditekankan pada analisis tentang keberagaman NSB dan pengidentifikasian faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan kinerja ekonomi setiap negara. Analisis berubah dari model pertumbuhan yang sangat agregatif menuju ke model mikro yang disagregatif. Studi diarahkan pada kekhususan karakteristik suatu negara berdasarkan data dan kondisi empiris negara tersebut dan pentingnya penggunaan asumsi yang berbeda ketika menganalisis masalah di suatu NSB. Oleh karena itu, perlu kehatian-hatian di dalam proses pengidentifikasian hubungan-hubungan kelembagaan dan menempatkan elemen-elemen misalnya penduduk, institusi, dan ketersediaan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) yang selama ini dianggap given sebagai variabel endogen di dalam analisis pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional yang juga mencakup perubahan-perubahan mendasar di dalam struktur sosial, perilaku masyarakat, perbaikan sistem kelembagaan (institutional development), selain aspek-aspek ekonomi, seperti kenaikan pendapatan per kapita, kemerataan distribusi pendapatan, dan pengentasan

PERKEMBANGAN PERHATIAN TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI

PERKEMBANGAN PERHATIAN TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI

Pembangunan ekonomi bukanlah sebuah topik baru dalam ilmu ekonomi karena studi tentang pembangunan ekonomi telah menarik perhatian para ekonom sejak zaman Merkantilis, Klasik, sampai Marx dan Keynes. Bapak ilmu ekonomi, Adam Smith misalnya, telah menyinggung berbagai aspek tentang pembangunan ekonomi dalam karya fenomenalnya yang berjudul The Wealth of Nations (1776). Oleh karena itu, tidaklah tepat kalau kita menganggap bahwa ekonomi pembangunan merupakan suatu bidang analisis yang relatif baru dalam ilmu ekonomi. Akan lebih tepat jika kita mengatakan bahwa analisis-analisis tentang masalah pembangunan yang dilakukan oleh para ekonom sekarang ini merupakan suatu “kebangkitan kembali” untuk memperhatikan masalah-masalah yang dianalisis oleh para ekonom terdahulu. 
Masa “kebangkitan kembali” terhadap masalah-masalah pembangunan ekonomi ini dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua (PD II) karena setelah zaman Adam Smith sampai PD II perhatian terhadap masalah pembangunan ekonomi sangatlah kurang. Kurangnya perhatian terhadap masalah pembangunan ekonomi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain pertama, pada masa sebelum PD II sebagian besar negara-negara sedang berkembang (NSB) masih merupakan negara jajahan. Para penjajah merasa tidak perlu untuk memikirkan secara serius mengenai masalah pembangunan di negara jajahan mereka. Tujuan mereka mencari negara-negara jajahan adalah hanya untuk menciptakan keuntungan bagi mereka, bukan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan negara-negara jajahannya tersebut. Kedua, kurangnya usaha dan perhatian dari para pemimpin masyarakat negara-negara jajahan untuk membahas masalah-masalah pembangunan ekonomi. Pada saat itu, mereka hanya memikirkan tentang bagaimana caranya untuk meraih kemerdekaan dari belenggu tirani penjajah. 
Menurut mereka, pembangunan ekonomi hanya bisa dilakukan jika penjajahan telah berakhir. Ketiga, di lingkungan para ekonom sendiri, penelitian dan analisis mengenai masalah pembangunan ekonomi masih terbatas. Para ekonom Barat pada masa itu lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengatasi masalah-masalah ekonomi jangka pendek, seperti kemelesetan ekonomi dan pengangguran karena selama tiga dekade awal abad ke-20, masalah depresi (malaise) dan pengangguran merupakan masalah utama yang dihadapi dunia. Namun, kini setelah PD II berakhir perhatian terhadap masalah pembangunan ekonomi tumbuh dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, berkembangnya cita-cita negara-negara yang baru merdeka untuk dapat mengejar ketertinggalan mereka dalam bidang ekonomi dari negara-negara maju. Negara-negara yang baru merdeka relatif miskin dan juga mengalami masalah kependudukan yang kronis. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi merupakan sesuatu hal yang sangat mendesak untuk segera dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, berkembangnya perhatian negara-negara maju terhadap usaha pembangunan (khususnya pembangunan ekonomi) di NSB. Fenomena ini didorong oleh rasa kemanusiaan negara-negara maju untuk membantu NSB dalam mengakselerasi laju pembangunan ekonomi mereka agar dapat mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara maju. Selain itu, ada juga pertimbangan lain yaitu untuk mendapat dukungan dalam perang ideologi antara Blok Barat dengan Blok Timur pada masa itu. Bantuan dari negara-negara maju tersebut sifatnya bermacam-macam, misalnya hibah (grant), yang berarti NSB yang menerimanya tidak perlu membayar kembali bantuan tersebut. Bantuan tersebut bentuknya, antara lain dapat berupa bantuan teknik dan tenaga ahli, bantuan bahan makanan, obatobatan ataupun bantuan untuk melakukan studi kelayakan suatu proyek. Bantuan lainnya biasanya berupa pinjaman (loan) dengan syarat-syarat yang jauh lebih mudah dengan tingkat bunga yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan pinjaman komersial biasa.

Saturday, November 3, 2018

Metode Penentuan Obyek Evaluasi Program


Metode Penentuan Obyek Evaluasi

Evaluasi program sebagai penelitian harus memiliki metode dalam menentukan objek evaluasi. Adapun pendekatan dasar yang dapat dilakukan dalam penentuan objek evaluasi seperti yang dikatakan oleh Fitzpatrick dkk (2003: 173- 198) adalah sebagai berikut,
1) Dokumen deskriptif. Perlu membaca dokumen yang berhubungan denga evaluasi untuk mendapat informasi yang sah,
2) Wawancara. Wawancara dapat dilakukan kepada beberapa individu yamg sudah paham atau mengetahui program yang akan dievaluasi, dan
3) observasi. Pengamatan secara langsung bagaimana proses implementasi program tersebut.
Ketiga metode tersebut harus saling mendukung satu sama lainnya. Jika ada perbedaan hasil antara pengamatan dengan temuan dalam dokumen, maka perlu dilakukan klarifikasi melalui wawancara. Atau sebaliknya, jika hasil wawancara dan analisis dokumen tidak sinkron dengan implementasi di lapangan, maka dapat diklarifikasi dari hasil pengamatan. Sehingga ketiga sudut pandang tersebut dapat saling melengkapi


Model-Model Evaluasi Program


Model-Model Evaluasi
Model evaluasi program yang dikembangkan oleh para ahli ada banyak
model. Model-model tersebut cenderung dikembangkan sesuai dengan tujuan
pelaksanaan evaluasi tersebut. Di bawah ini akan diuraikan beberapa model
evaluasi program yang dirancang oleh para ahli, diantaranya:
1. CSE-UCLA Model

CSE-UCLA model menurut Arikunto (2009:44) CSE-UCLA merupakan singkatan dari dua bagian, yaitu CSE dan UCLA. CSE adalah singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA adalah singkatan dari University of California in Los Angeles. CSE-UCLA Evaluation Model menekankan pada lima tahap yang dilakukan, yaitu: perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak. Menurut Fernandes (1984) seperti yang dikutip oleh Arikunto menjelaskan bahwa model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu: (1) need assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation, dan (4) summative evaluation.
2. Model Brinkerhoff

Seperti yang diuraikan oleh Widoyoko (2013: 187-189) bahwa model evaluasi Brinkerhoff dikembangkan oleh Brinkerhoff & CS (1983). Dikemukakan bahwa ada tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemenelemen yang sama seperti evaluator-evaluator lainnya, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri. Golongan evaluasi tersebut adalah Fixed vs Emergent Evaluation Design, Formative vs Summative Evaluation dan Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unotrusive.
3. Evaluasi Model CIPP
Istilah CIPP adalah singkatan dari Context, Inputs, Processes, and Products. Seperti yang diuraikan oleh Stufflebeam dan Shinkfield (2007:326.) the CIPP model's core concepts are denoted by the acronym CIPP, which stands for evaluations of an entity's context, inputs, processes, and products.