KOMUNIKASI
POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM
Dinamika komunikasi politik dalam masyarakat pada
berbagai tahap penyelenggaraan pemilihan umum semakin meningkat sejalan dengan
meningkatnya persiapan dari partai politik atau kandidat perorangan sebagai
kontestan pemilihan umum dalam upayanya untuk meraih kemenganan melalui
usaha-usaha menarik perhatian dan dukungan publik.
Dari
segi komunikasi, kualitas komunikasi yaitu bagaimana isi pesan dapat sampai
dari komunikator kepada komunikan sangat tergantung pada ketrampilan si
pengirim pesan (komunikator). Komunikator harus tahu isi pesan yang harus
disampaikan, siapa penerima pesan (khalayak), dengan sarana apa komunikasi itu
disampaikan, dan mencari umpan balik dari pesan yang disampaikan. Dalam konteks
komunikasi politik, yang dimaksud komunikan (khalayak/audiens) adalah para
pemilih. Isi pesan/message adalah persuasi untuk memilih atau mendukung partai
atau kandidat misalnya melalui sosialisasi program, menyampaikan keunggulan
figur partai atau kandidat, dsb.
Komunikatornya
adalah para kandidat beserta manajer dan juru kampanyenya. Umpan baliknya
adalah dukungan atau penolakan terhadap isi komunikasi. Dari segi partai atau
kandidat politik, dalam masa pemilihan umum, terutama dalam tahapan kampanye,
mereka akan disibukkan dengan kalkulasi dan penyusunan strategi untuk
menggalang dukungan suara sebanyak-banyaknya. Dalam proses inilah manajemen
kampanye bagi partai politik atau kandidat perorangan dianggap penting, dengan
menggunakan berbagai sarana dan sumber daya dimiliki secara optimal untuk
bersaing dengan partai politik atau kandidat lain untuk memenangkan pemilihan
umum. terkait dalam pemilihan umum adalah partisipasi politik karena pemilihan
umum akan menjadi tidak bermakna tanpa dukungan partisipasi masyarakat. Menurut
Miriam Budiarjo (1994: 183) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan
jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum,
menjadi anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau
kontak dengan anggota parlemen. Dengan demikian partisipasi politik
masing-masing anggota masyarakat sangat beragam, dari tingkat partisipasi yang
tinggi, sedang dan rendah.
Anggota
masyarakat akan berpartisipasi bila mereka percaya bahwa kegiatan tersebut
mempunyai efek (political efficacy) atau berpengaruh terhadap kebijakan yang
diambil pemerintah, karena kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalur atau
sekurang-kurangnya diperhatikan melalui suara yang telah diberikan dalam
pemilihan. Mereka percaya bahwa suara mereka didengar dan diperhatikan oleh
para pengambil kebijakan untuk membuat keputusan-keputusan yang adil bagi
mereka. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa mereka dapat ikut menentukan
nasib sendiri melalui pilihan yang telah mereka berikan dalam pemilihan umum.
Tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan
memahami masalah politik dan ingin terlibat dalam proses dan kegiatan politik.
Dengan demikian semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam pemilihan
umum dianggap semakin baik karena akan semakin meningkatkan legitimasi
penyelenggara pemilihan umum maupun pemerintahan yang terbentuk dari hasil
pemilihan umum tersebut. Karena menyangkut kompetisi untuk memperebutkan
jabatan publik, maka pemilihan perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan
pemilihan umum yang di dalamnya paling tidak harus mengatur tiga hal pokok.
Pertama, penyuaraan (balloting). Artinya, tatacara yang harus diikuti oleh
pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan
memilih salah satu alternatif (categorical) atau pemilih diperkenankan
mendistribusikan suara kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang
dikehendaki (ordinal). Pilihan yang dihadapi oleh pemilih terdiri dari tiga
kemungkinan, yaitu memilih partai, memilih kandidat atau calon, atau keduanya
(kombinasi partai politik dengan calon dalam daftar calon).
Kedua,
daerah pemilihan (electorate district). Artinya, ada ketentuan yang mengatur
berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah satu
kursi per daerah pemilihan (single member district) ini yang kemudian lebih
dikenal dengan sistem distrik atau lebih dari satu kursi per daerah pemilihan.
Dalam menentukan daerah pemilihan ada dua faktor yang selalu dipertimbangkan
yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah penduduk. Ketiga, formula
pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan partai politik atau
kandidat mana yang memenangkan pemilihan kursi di suatu daerah pemilihan.
Ada tiga formula, yaitu formula pluralis,
formula mayoritas dan formula perwakilan. Apabila menggunakan formula pluralis
maka seseorang atau suatu partai politik dikatakan menang pada suatu daerah
pemilihan bila memperoleh suara lebih banyak dari orang atau partai politik
lain. Formula mayoritas adalah seseorang atau partai politik menang di suatu
daerah pemilihan harus mencapai suara terbanyak dengan rumus 50% + 1. dengan
demikian seseorang atu partai politik akan menang bila memperoleh jumlah suara
yang melebihi kombinasi jumlah yang diperoleh oleh calon-calon atau
partai-partai lain. Menurut formula perwakilan berimbang (proportional), setiap
partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh.
Jumlah suara per kursi harus ditentukan terlebih dahulu (Bilangan Pembagi
Pemilih) baru kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh
oleh setiap partai politik peserta pemilihan umum (Surbakti, 1992: 177-178).
No comments:
Post a Comment