Saturday, November 3, 2018

KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM


KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILIHAN UMUM 
Dinamika komunikasi politik dalam masyarakat pada berbagai tahap penyelenggaraan pemilihan umum semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya persiapan dari partai politik atau kandidat perorangan sebagai kontestan pemilihan umum dalam upayanya untuk meraih kemenganan melalui usaha-usaha menarik perhatian dan dukungan publik.
Dari segi komunikasi, kualitas komunikasi yaitu bagaimana isi pesan dapat sampai dari komunikator kepada komunikan sangat tergantung pada ketrampilan si pengirim pesan (komunikator). Komunikator harus tahu isi pesan yang harus disampaikan, siapa penerima pesan (khalayak), dengan sarana apa komunikasi itu disampaikan, dan mencari umpan balik dari pesan yang disampaikan. Dalam konteks komunikasi politik, yang dimaksud komunikan (khalayak/audiens) adalah para pemilih. Isi pesan/message adalah persuasi untuk memilih atau mendukung partai atau kandidat misalnya melalui sosialisasi program, menyampaikan keunggulan figur partai atau kandidat, dsb.
Komunikatornya adalah para kandidat beserta manajer dan juru kampanyenya. Umpan baliknya adalah dukungan atau penolakan terhadap isi komunikasi. Dari segi partai atau kandidat politik, dalam masa pemilihan umum, terutama dalam tahapan kampanye, mereka akan disibukkan dengan kalkulasi dan penyusunan strategi untuk menggalang dukungan suara sebanyak-banyaknya. Dalam proses inilah manajemen kampanye bagi partai politik atau kandidat perorangan dianggap penting, dengan menggunakan berbagai sarana dan sumber daya dimiliki secara optimal untuk bersaing dengan partai politik atau kandidat lain untuk memenangkan pemilihan umum. terkait dalam pemilihan umum adalah partisipasi politik karena pemilihan umum akan menjadi tidak bermakna tanpa dukungan partisipasi masyarakat. Menurut Miriam Budiarjo (1994: 183) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau kontak dengan anggota parlemen. Dengan demikian partisipasi politik masing-masing anggota masyarakat sangat beragam, dari tingkat partisipasi yang tinggi, sedang dan rendah.
Anggota masyarakat akan berpartisipasi bila mereka percaya bahwa kegiatan tersebut mempunyai efek (political efficacy) atau berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil pemerintah, karena kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan melalui suara yang telah diberikan dalam pemilihan. Mereka percaya bahwa suara mereka didengar dan diperhatikan oleh para pengambil kebijakan untuk membuat keputusan-keputusan yang adil bagi mereka. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa mereka dapat ikut menentukan nasib sendiri melalui pilihan yang telah mereka berikan dalam pemilihan umum. 
Tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin terlibat dalam proses dan kegiatan politik. Dengan demikian semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dianggap semakin baik karena akan semakin meningkatkan legitimasi penyelenggara pemilihan umum maupun pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilihan umum tersebut. Karena menyangkut kompetisi untuk memperebutkan jabatan publik, maka pemilihan perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum yang di dalamnya paling tidak harus mengatur tiga hal pokok. Pertama, penyuaraan (balloting). Artinya, tatacara yang harus diikuti oleh pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah satu alternatif (categorical) atau pemilih diperkenankan mendistribusikan suara kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang dikehendaki (ordinal). Pilihan yang dihadapi oleh pemilih terdiri dari tiga kemungkinan, yaitu memilih partai, memilih kandidat atau calon, atau keduanya (kombinasi partai politik dengan calon dalam daftar calon).
Kedua, daerah pemilihan (electorate district). Artinya, ada ketentuan yang mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah satu kursi per daerah pemilihan (single member district) ini yang kemudian lebih dikenal dengan sistem distrik atau lebih dari satu kursi per daerah pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ada dua faktor yang selalu dipertimbangkan yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah penduduk. Ketiga, formula pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan partai politik atau kandidat mana yang memenangkan pemilihan kursi di suatu daerah pemilihan.
 Ada tiga formula, yaitu formula pluralis, formula mayoritas dan formula perwakilan. Apabila menggunakan formula pluralis maka seseorang atau suatu partai politik dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan bila memperoleh suara lebih banyak dari orang atau partai politik lain. Formula mayoritas adalah seseorang atau partai politik menang di suatu daerah pemilihan harus mencapai suara terbanyak dengan rumus 50% + 1. dengan demikian seseorang atu partai politik akan menang bila memperoleh jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah yang diperoleh oleh calon-calon atau partai-partai lain. Menurut formula perwakilan berimbang (proportional), setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Jumlah suara per kursi harus ditentukan terlebih dahulu (Bilangan Pembagi Pemilih) baru kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai politik peserta pemilihan umum (Surbakti, 1992: 177-178).

No comments:

Post a Comment