Pada akhir dekade 1940-an, ekonomi pembangunan menjadi bidang
kajian yang paling sering dibahas, seiring dengan terbebasnya banyak negara
di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin dari belenggu penjajahan, dan
adanya keinginan dari negara-negara tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju. Selama dekade 1950-an hingga
awal dekade 1960-an, kebijakan-kebijakan pembangunan ditekankan pada
maksimisasi pertumbuhan GNP melalui proses akumulasi modal dan
industrialisasi. Kebijakan-kebijakan yang diambil antara lain menerapkan
sistem perencanaan terpusat untuk pertumbuhan investasi modal fisikal,
pemanfaatan surplus tenaga kerja, pengembangan industri substitusi impor
(ISI), dan mencari bantuan luar negeri. Dengan kata lain, strategi
pembangunan berpusat pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi,
sedangkan pembangunan di bidang lainnya diarahkan untuk menunjang
keberhasilan pembangunan ekonomi dan mengikuti irama pembangunan di
bidang ini.
Kenyataannya, strategi ini dihadapkan pada pilihan antara pertumbuhan
ekonomi atau pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan dan
pemerataan merupakan dua kutub strategi pembangunan yang saling
mengabaikan (trade-off). Artinya, pembangunan yang menitikberatkan pada
aspek pertumbuhan dalam batas-batas tertentu akan mengabaikan aspek
pemerataan, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan pengalaman masa lalu,
pilihan pun jatuh pada aspek pertumbuhan sehingga kebijakan pembangunan
yang diambil sangat menekankan pada pemacuan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan harapan nantinya aspek pemerataan dapat pula
diraih melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect).
Namun, keberhasilan pembangunan yang ditinjau dari tolok ukur
ekonomi klasik tersebut sekiranya tidak mampu merefleksikan realitas
kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Angka-angka yang tercermin
pada GNP tidak cukup representatif dalam mengungkapkan state of mind
masyarakat yang sebenarnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh semakin lebarnya
jurang polarisasi ekonomi seiring dengan pesatnya pertumbuhan Pada masa itu, banyak di antara negara yang baru merdeka (NSB)
terlahir dalam tatanan konfigurasi ekonomi yang suram. Hal tersebut
diindikasikan oleh angka pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah,
sedangkan angka inflasi tidak terkendali. Konfigurasi yang ekonomi yang
suram tersebut tidak memberikan batas toleransi yang luas bagi para pembuat
kebijakan di negara terkait untuk berbuat kesalahan. Margin of error yang
demikian sempit, tidak memberikan ruang gerak yang cukup untuk memilih
berbagai alternatif model pembangunan, kecuali hanya bertumpu pada
paradigma pertumbuhan yang konsekuensinya sering kali mengabaikan
aspek-aspek sosial dan budaya.
Memasuki dekade 1960-an akhir dan awal dekade 1970-an,
pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan
bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi
menitikberatkan pada aspek pertumbuhan, namun bagaimana mengurangi
angka kemiskinan dan ketimpangan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa
pertumbuhan yang tercermin pada kenaikan angka-angka GNP tiap tahunnya
belum mampu menjadi solusi atas masalah kemiskinan dan ketimpangan
sehingga “makna” pembangunan kembali dipertanyakan.
Adanya keprihatinan di kalangan para pemerhati masalah-masalah
pembangunan memunculkan gagasan baru tentang strategi pembangunan
yang lebih memberikan “makna” bagi semua pihak pemangku kepentingan
(stakeholders). Bank Dunia memperkenalkan pendekatan pembangunan
pertumbuhan dengan pemerataan (redistribution with growth) dan ILO
(International Labour Organization) menawarkan pendekatan pemenuhan
kebutuhan dasar (basic need approach) sebagai solusi. Untuk literatur
pembangunan lainnya ada yang menekankan perlunya pergeseran orientasi
dari pembangunan industri menuju pembangunan perdesaan; pergeseran
penekanan dari pembentukan modal fisik menuju pembentukan modal insani
(human capital) sebagai modal utama pembangunan; dan pentingnya
penerapan teknologi tepat guna (appropriate technology) bagi setiap negara Perubahan yang paling mendasar pada ekonomi pembangunan terjadi
selama dekade 1970-an dan dekade 1980-an yang dikenal dengan istilah
„kebangkitan ekonomi neoklasik‟ (resurgence of neoclassical economics).
Jika pada dekade 1950-an para ekonom pembangunan merumuskan teori
pembangunan yang dianggap berlaku umum (grand theories) dan strategistrategi
yang bersifat umum di dalam upaya memecahkan permasalahan
NSB, pada dekade 1970-an dan 1980-an sebaliknya. Fokus kajian ekonomi
pembangunan sudah lebih ditekankan pada analisis tentang keberagaman
NSB dan pengidentifikasian faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan
kinerja ekonomi setiap negara. Analisis berubah dari model pertumbuhan
yang sangat agregatif menuju ke model mikro yang disagregatif. Studi
diarahkan pada kekhususan karakteristik suatu negara berdasarkan data dan
kondisi empiris negara tersebut dan pentingnya penggunaan asumsi yang
berbeda ketika menganalisis masalah di suatu NSB. Oleh karena itu, perlu
kehatian-hatian di dalam proses pengidentifikasian hubungan-hubungan
kelembagaan dan menempatkan elemen-elemen misalnya penduduk, institusi,
dan ketersediaan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) yang selama ini dianggap given sebagai variabel endogen di dalam analisis pembangunan.
Dengan kata lain, pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang
multidimensional yang juga mencakup perubahan-perubahan mendasar di
dalam struktur sosial, perilaku masyarakat, perbaikan sistem kelembagaan
(institutional development), selain aspek-aspek ekonomi, seperti kenaikan
pendapatan per kapita, kemerataan distribusi pendapatan, dan pengentasan
No comments:
Post a Comment