Berikut beberapa segmentasi yang penting diketahui
oleh perancang program kampanye.
1.
Segmentasi Berdasarkan Gender Segmentasi dapat dilakukan secara demografis,
yaitu pemilahan para pemilih berdasarkan karakteristik demografis, seperti
usia, gender, agama, pendidikan, peker-jaan, kelas sosial-ekonomi (Nursal,
2004:114). Karena tesis ini menitikberatkan pada gender dan politik, maka
segmentasi berdasarkan gender menjadi bahasan yang perlu dikemukakan dan
diasumsikan berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Segmentasi berdasarkan
gender menghasilkan pemilahan laki-laki dan perempuan. Segmen perempuan menjadi
segmen pemasaran yang penting untuk meraup suara dalam pemilihan umum karena
jumlah mereka adalah 51% dari total populasi berdasarkan Sensus 1990
(www.menegpp.go.id). Sekalipun ada perbedaan jumlah penduduk perempuan menurut
dua data sensus tersebut, namun jumlah tersebut tetap signifikan menunjukkan
bahwa aspirasi perempuan memiliki potensi yang besar dalam ikut menentukan arah
pembangunan masyarakat dan bangsa. Sekalipun kaum perempuan memberikan
sumbangan besar terhadap proses pembangunan, namun fakta-fakta di lapangan
selama ini masih menunjukkan bahwa perempuan belum setara dengan laki-laki.
Terjadi ketimpangan tajam terhadap partisipasi perempuan dalam berbagai bidang
publik. Hal ini menurut Darahim (2003) terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut: 1). Pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut paham
patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki di banding
perempuan. Tata nilai tersebut diwariskan secara turun temurun dari waktu ke
waktu, baik yang berasal dari budaya lokal maupun pengaruh dari luar; 2).
Banyak produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik formal
maupun hukum adat yang bias gender; 3). Dampak lebih lanjut muncul kebijakan
dan program pembangunan yang masih bias gender, karena setiap kebijakan adalah
produk keputusan politik yang merupakan bagian dari kristalisasi aspirasi
masyarakat; 4). Kondisi ini didukung oleh oleh masih banyaknya penafsiran
terhadap aktualisasi ajaran agama yang terlalu menitikberatkan pada pendekatan
tekstual (tersurat) dan parsial (sepotong-potong) dibandingkan dengan pemahaman
yang konstekstual (tersirat) dan holistik (menyeluruh). 5). Berkait dengan
kelemahan perempuan sendiri, yaitu kurang percaya diri dan inkonsistensi, serta
rendahnya tekad kaum perempuan sendiri dalam memperjuangakan nasib kaummya.
Kelemahan itu bisa disebabkan pengaruh tata nilai di atas atau faktor lain yang
perlu di telaah lebih lanjut. Menurut Ani Soetjipto dalam Nursal (2004: 117)
pembangunan di era Orde Baru tidak “memihak” kepada kaum perempuan. Berbagai
kebijakan politik dan ekonomi memperlihatkan perempuan menanggung beban
sekaligus dampak pembangunan yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.
Demikian juga ketika terjadi krisis ekonomi, perempuan menanggung beban yang
lebih besar akibat krisis karena ia perempuan, seperti: dipecat paling awal
dari pekerjaan, upah yang lebih kecil dibandingkan upah yang diterima laki-laki
sekalipun dalam kualifikasi pekerjaan yang sama, dan diabaikan kesehatannya.
Dalam rumah tangga juga terjadi ketimpangan: dalam pendidikan anak perempuan
dikalahkan dengan anak laki-laki karena laki-laki kelak akan menjadi kepala
rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dan beban kerja ganda bagi mereka
yang bekerja di luar rumah. Secara spesifik Suparno (2005: 36-37) memberikan
ilustrasi bahwa dalam masa Orde Baru telah terjadi kooptasi terhadap
organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan perempuan sehingga kesemuanya dalam
kontrol dan pengawasan pemerintah. Jabatan struktural organisasi PKK dan Dharma
Wanita misalnya, mengikuti jabatan struktural suami. Sehingga istri lurah atau
kepala desa otomatis menjadi ketua PKK di kelurahan atau desanya. Demikian juga
istri kepala kantor atau dinas tertentu maka istri juga menjadi ketua Dharma
Wanita. Dengan demikian faktor-faktor kemauan, kemampuan dan kepemimpinan serta
aspirasi bawah yang biasanya menjadi dasar dalam rekruitmen organisasi
diabaikan. Latar belakang politik kelahiran PKK dan Dharma Wanita itu sendiri
tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial politik pasca Pemilihan Umum 1971, di
mana negara memaksimalkan intervensi dan pengaruhnya pada organisasi-organisasi
massa yang berafiliasi pada kekuatan politik di luar pemerintah (Burhanuddin
dan Fathurahman, 2004: 87). Dengan demikian terjadi perluasan mobilisasi
politik melalui mesin birokrasi pemerintahan, yang pada akhirnya merupakan
mesin yang effektif bagi keberlangsungan rejim Orde Baru. Hal ini sebetulnya
tidak hanya terjadi pada organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan perempuan
saja namun juga terjadi pada kekuatan-kekuatan masyarakat yang lain, sejalan
dengan upaya depolitisasi dan deparpolisasi yang dilakukan secara sistematis di
era Orde Baru. Uraian di atas dapat menunjukkan bahwa segmentasi gender dapat
dijadikan bahan pertimbangan penting dan dapat diolah untuk memberikan
konstribusi dalam penyusunan program kampanye partai atau kandidat politik di
era reformasi yang semakin terbuka. Sekarang pemilih perempuan tidak lagi
terkooptasi dalam kepentingan politik birokrasi yang cenderung pathriarkis.
Segmentasi gender ini selanjutnya dapat dipertajam dengan menganalisis sub-sub
segmen perempuan. Sub segmen itu dapat dikembangkan berdasarkan kelas sosial,
ekonomi, pendidikan, perempuan karier, ibu rumah tangga, dsb. Hal ini penting
mengingat kebutuhan masing-masing sub-segmen tersebut relatif berbeda-beda.
2.
Segmentasi Berdasarkan Agama Segementasi berdasarkan agama ini perlu dan
penting dibahas karena memiliki relevansi dengan tema partisipasi perempuan
dalam politik. Salah satu resistensi yang kuat terhadap peran perempuan dalam
sektor publik, khususnya dalam kehidupan politik di Indonesia adalah berasal
dari interpretasi terhadap ajaran atau doktrin agama sebagaimana tertuang dalam
teks-teks kitab suci. Dengan demikian, tingkat penghayatan terhadap ajaran
agama (religiositas) akan berpengaruh terhadap pendapat dan preferensi mereka
tentang wacana boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin atau boleh tidaknya
urusan masyarakat diwakili perempuan, misalnya dengan perempuan menjadi wakil
rakyat di DPR. Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. Saat ini, secara statistik Islam tidak kurang 85% penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam. Namun demikian Islam di Indonesia tidak homogen dan dapat
dipetakan berdasarkan kultur dan strata sosial, ekonomi dan demografi.
Berkaitan dengan segmentasi berdasarkan agama, hasil penelitian terhadap
perilaku pemilih menunjukkan bahwa umumnya pemilih non-Islam tidak memilih
partai Islam atau partai partai yang dipersepsikan sebagai partai Islam. Segmen
pemilih non-Islam ini cenderung memberikan suara kepada partai yang mempunyai
landasaran inklusif dan pluralis atau partai eklusif sesuai dengan agama
mereka. Sebaliknya, tidak semua segmen pemilih Islam memilih partai Islam atau
yang dipersepsikan sebagai partai Islam. Besarnya segmen pemilih Islam,
mengakibatkan banyak muncul partaipartai yang menggunakan asas Islam maupun
partai yang dipersepsikan sebagai partai Islam. Persepsi sebagai partai Islam
ini biasanya tidak terlepas dari figur tokoh Islam dalam partai, kedekatan dan
afiliasi partai tersebut dengan organisasiorganisasi Islam atau komitmen partai
dengan isu-isu Islam. Islam sebagai agama yang jumlah pemeluknya terbesar
merupakan segmen pemilih yang harus diperhitungkan baik oleh partai Islam,
dipersepsikan sebagai partai Islam atau bahkan partai yang jelas-jelas bukan
dikategorikan sebagai partai Islam sekalipun. Dengan kata lain, isu yang
menyangkut umat Islam harus ditangani secara cermat oleh partai-partai politik,
termasuk partai inklusif dan pluralis (biasanya dikategorikan sebagai partai
nasionalis dan/atau sekuler untuk membedakan dengan partai agama), agar dapat
menjaring suara dalam pemilihan umum. Dengan proporsi yang besar, maka pemilih
Islam menjadi konstituen terbesar pula. Akibatnya, tidak ada partai yang
menjadi besar dan menjadi pemenang pemilihan umum tanpa mempertimbangkan
dukungan dari pemilih Islam.
No comments:
Post a Comment