Tuesday, October 30, 2018

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN homeschooling DI INDONESIA


Di Indonesia, belum ada catatan statistik jumlah praktisi homeschooling. Tetapi, seminar mengenai homeschooling selalu dipenuhi oleh para peserta (Asmani, 2012). Homeschooling berkembang melalui berbagai media, baik dari internet, seminar, media cetak, dan sebagainya.
Ada  tiga  macam  jenis  homeschooling  yaitu homeschooling tunggal, majemuk dankomunitas(Mulyadi, 2007). Pertama homeschooling tunggal dilaksanakan oleh satu keluarga saja. Kedua homeschooling majemuk dilaksanakan oleh beberapakeluarga dengan kegiatan tertentu, dan homeschooling komunitas adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun danmenentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga,musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran.
Dari tiga macam jenis homeschooling orang tua bisa memilih pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan. Jika anaknya berkebutuhan khusus, cara menanganinya adalah dengan terapi-terapi yang sesuai dengan kebutuhan anaknya. tidak bisa dipaksakan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah formal hanya akan menyiksa anak. akan ada ejekan, tertawaan bahkan hinaan, Karena anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan penanganan yang khusus pula. Homeschooling bisa menjadi alternatif terbaik. Anakberkesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selain anak berkebutuhan khusus ada pula anak yang mempunyai bakat khusus. Sekarang artis muda dan para atlet pun mengambil alternatif pendidikan homeschooling karena jadwal mereka yang padat danwaktu belajar di sekolah formal yang tidak fleksibel. Mereka memilih homeschooling karena bisa memilih waktu belajar tanpa harus meninggalkan dunia artis maupun dunia atletnya. Ini cukup menjadi pilihan yang tepat disamping bisa mengembangkan bakat mereka tidak lupa akan kewajibannya untuk belajar.

Namun disamping keunggulan di atas, terdapat juga kelemahan homeschooling, yaitu anak-anak yang belajar di homeschooling kurang berinteraksi dengan teman sebayanya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat dan perlindungan berlebihan dari orang tua dapat menyebabkan anak tidak mampu mengatasi masalah atau situasi yang terjadi di dunia nyata.


JENIS PENDIDIKAN FORMAL DAN INFORMAL


Di Indonesia pendidikan terbagi menjadi 3 jalur, yaitu jalur pendidikan formal, jalur pendidikan non-formal dan jalur pendidikan informal(Undang-Undang, 2003). Keberhasilan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan baik formal, non-formal, maupun informal akan sangat bergantung kepada komponen-komponen pendukung pelaksanaan kegiatan. Salah satu komponen yang krusial tersebut adalah kurikulum. kurikulum adalah seperangkat alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Walaupun pemerintah sudah memberikan pedoman tentang kurikulum mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi, namum dalam pelaksanaannya di setiap lembaga pendidikan pasti berbeda-beda. Ada yang perlu dikembangkan lagi dari pedoman tersebut agar sesuai dengan kondisi satuan pendidikan di masing-masingdaerah.

Dari pembahasan 3 jalur pendidikan tersebut di Indonesia ada salah satu pendidikan alternatif yang sedang berkembang saat ini yaitu homeschooling.Homeschooling bisa dikatakan sebagai alternatifpilihan bagi orang tua yang tidak puas dengan pendidikan sekolah formal mulai dari guru yang kurang memperhatikan keadaan psikologis siswa karena jumlah siswa dalam 1 kelas yang terlampau banyak, fasilitas di sekolah yang kurang memadai, guru kurang menguasai materi pelajaran hingga metode pembelajaran yang monoton dari tahun ke tahun.

PENGEMBANGAN KURIKULUM DI KOMUNITAS HOMESCHOOLING KAK SETO PUSAT


Sebelum mendirikan homeschooling, kak Seto dan rekan-rekan yang peduli terhadap pendidikan mulai mempromosikan tentang pendidikan alternatif melalui komunitas ASAH PENA (asosiasi sekolah rumah dan pendidikan alternatif) di komunitas ASAH PENA ini kak Seto menjabat sebagai ketua umum. ASAH PENA berdiri sejak 4 Mei 2006 (Kembara, 2007). Tujuan ASAH PENA sendiri adalah“untuk mengorganisir dan melayani keluarga-keluarga penggiat pendidikan alternatif, serta menjembatani antara keluarga pesekolah rumah, dan pendidikan-pendidikan alternatif pada umumnya dengan pemerintah”. Dengan kata lain ASAH PENA didirikan untuk mewadahi penyelenggaraan homeschooling dan pendidikan alternatif diIndonesia. setelah itu pada tahun 2007, ASAH PENA menandatangani nota kesepahaman (MOU) bersama Depdiknas berisi pengakuan komunitas sekolahrumah sebagai salah satu “satuan pendidikan non-formal” yang diakui negara (Asmani, 2012).
Ketika melakukan wawancara awal dengan bagian humas dan beberapa siswa HSKS tingkat SMA siswa yang pindah dari sekolah formal ke HSKS karena berbagai macam alasan diantaranya adalah: jam belajar dan mata pelajaran di sekolah formal yang padat, adanya keterbatasan fisik dan mental yang mengakibatkan bullying, dan orang tua yang di tugaskan bekerja pindah-pindah kota. Serta waktu belajar di homeschooling yang relatif singkat hanya 3 kali pertemuan dalam seminggu di sisa harinya bisa mereka gunakan untuk bekerja maupun mengembangkan minat dan bakat dibidang lain.
Jenjang pendidikan di homeschooling kak Seto pusat mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Pada tingkat SD terdiri dari kelas I sampai kelas VI, pada tingkat SMP terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, sedangkan pada tingkat SMA terdiri dari kelas X sampai kelas XII. program pembelajaran di HSKS pusat yaitu komunitas dan distance learning. Penulis hanya fokus di tingkat SMA dan program komunitas. Selain itu di HSKS Pusat tidak hanya menerima anak-anak normal saja tetapi menerima juga anak berkebutuhan khusus (ABK).

Tidak hanya di sekolah formal di homeschooling pun membutuhkan kurikulum sebagaipedoman dasar penyelenggaraan pembelajaran. Dari studi awal yang telah dilakukan ditemukan bahwa kurikulum di homeschooling kak Seto Pusat masih mengacu pada peraturan menteri pendidikan nasional No. 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Hanya saja ada yang dimodifikasi dari kurikulumnya tersebut dan dikembangkan kembali sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat anak. untuk itu pengembangan kurikulum tidak sepenuhnya dikembangkan lagi oleh pemerintah, tetapi homeschooling juga diberikan ruang untukmengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat anak. Tanpa adanya kurikulum suatu lembaga pendidikan termasuk homeschooling tidak akan mempunyai arah, karena tidak mempunyai rencana kemana peserta didiknya akan diarahkan. Karena di HSKS Pusat anak berkebutuhan khusus dan anak normal kelasnya disatukan ini menjadi hambatan sekaligus tantangan tersendiri untuk para tutornya bagaimana mereka menangani berbagai macam karakter siswa yang berbeda-beda satu sama lain pada saat mengajar. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi lembaga homeschooling dan pihak-pihak yang terkait dalam implementasi kurikulum di lembaga homeschooling untuk meningkatkan kualitas,terutama dalam mengembangkan kurikulumnya, menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai implementasi pengembangan kurikulum di lembaga homeschooling.

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM


Evaluasi merupakan penilaian yang perlu dilaksanakan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu kegiatan. Berhasil tidaknya suatu kegiatan dapat terlihat melalui evaluasi. Dalam kegiatan pengembangan kompetensi pedagogik, kepala sekolah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pengembangan guru untuk melihat tingkat keberhasilan program tersebut. Evaluasi yang dilakukan kepala sekolah terhadap kegiatan program pengembangan kompetensi pedagogik secara umum yaitu dilakukan melalui supervisi yang diadakan 1-2 kali dalam setahun dan supervisi tersebut dilakukan untuk melihat pengimplementasian hasil dari kegiatan pengembangan kompetensi pedagogik mulai dari mensupervisi cara pengajaran guru di kelas maupun penggunaan media serta metode pembelajaran di kelas.
Selain melalui supervisi, evaluasi juga dilakukan melalui pemanggilan guru yang bersangkutan yang tidak hadir pada saat mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi pedagogik. Selain itu, evaluasi dilakukan juga melalui angket kecil yang diberikan kepada siswa tentang guru terkait dengan kedatangan tepat waktu,sistem mengajar, dan penggunaan metode pembelajaran guru dikelas. Melalui angket tersebut memudahkan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah dalam mengevaluasi para guru.

Mengembangkan Pemahaman Guru dalam Melaksanakan Evaluasi Hasil Belajar Siswa


Evaluasi pembelajaran adalah tahap penilaian dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk melihat sejauhmana kemampuan dan pemahaman yang didapat siswa setelah mengikuti proses pembelajaran tersebut.
Dalam mengembangkan pemahaman guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa tentunya kepala sekolah selalu memberi arahan kepada guru untuk melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa karena evaluasi tersebut sangat penting dilakukan untuk melihat sejauhmana pemahaman yang didapat siswa dalam mengikuti prose pembelajaran. Kepala sekolah memberi arahan secara umum kepada guru dalam melaksanakan evaluasi belajar siswa. Kepala sekolah juga mewajibkan guru untuk menggunakan tes lisan dan tulisan terhadap siswa setelah materi pembelajaran selesai disampaikan.
Dalam mengembangkan pemahaman guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa kegiatan yang dilakukan yaitu hampir sama dengan kegiatan yang lain, yaitu melalui diskusi dengan memberi arahan secara umum dan mewajibkan para guru untuk menggunakan tes lisan dan tulisan kepada siswa setelah materi pembelajaran selesai disampaikan. Supaya dapat mengetahui sampai dimana pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan.

Mengembangkan Kemampuan Guru dalam Menggunakan Metode Pembelajaran yang Sesuai dengan Materi Pembelajaran


Metode  pembelajaran  sangat  dibutuhkan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan menggunakan metode dalam proses pembelajaran memudahkan para guru dalam menyampaikan materi yang akan dipelajari. Oleh karena itu, untuk dapat memahami berbagai metode pembelajaran tentunya seorang guru perlu mendapat arahan dan bimbingan dari kepala sekolah dalam menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran. kegiatan yang dilakukan kepala sekolah untuk mengembangkan kemampuan guru dalam menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran yaitu melalui kegiatan diskusi internal pada saat awal tahun ajaran ketika membuat rencana pembelajaran. Kepala sekolah memberi arahan secara umum saja namun untuk pembuatan secara detailnya diserahkan kepada masing-masing guru. selain melalui diskusi internal, kepala sekolah juga mengadakan seminar terkait dengan penggunaan metode pembelajaran dengan mendatangkan narasumber yang kompeten.
Pentingnya mengembangkan kemampuan guru dalam menggunakan metode pembelajaran agar dalam proses pembelajaran guru mempunyai bekal serta pengetahuannya terkait dengan penggunaan metode pembelajaran, supaya memudahkan para guru dalam menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran.

Mengembangkan Pemahaman Mengenai Peserta Didik

Tugas seorang guru tentunya tidak hanya sebatas pada mengajar saja, namun seorang guru tentu perlu memahami karakteristik masing-masing peserta didik agar dalam proses pembelajaran dapat memudahkan guru dalam menyesuaikan materi yang akan diajarkan kepada siswa sesuai karakteristik masing-masing siswa. Dalam mengembangkan pemahaman guru terhadap peserta didik kepala sekolah hanya memberi arahan saja untuk lebih memahami karakteristik peserta didik, selebihnya kami para guru melakukan sharing terkait dengan permasalahan yang dihadapi para guru dalam menghadapi berbagai karakter siswa. Kepala sekolah juga mengadakan suatu pertemuan seperti diskusi intern untuk memberi arahan kepada guru agar lebih memahami karakteristik siswa. Namun arahan yang diberikan kepala sekolah pada dasarnya secara umum saja. Dalam diskusi tersebut lebih kepada sharing antar guru terkait dengan permasalahan yang dihadapi para guru dalam menghadapi berbagai karakter siswa. Kemudian kami para guru mencari solusi terbaik dari permasalahan tersebut. Kegiatan yang dilakukan dalam mengembangkan pemahaman guru mengenai peserta didik yaitu melalui kegiatan diskusi, guru diberikan arahan agar memahami karakteristik siswa yang berbeda-beda. Kemudian sesama guru juga saling berbagi informasi dalam menghadapi berbagai macam karakteristik siswa.

Mengembangkan Wawasan/ Landasan Kependidikan Guru

Sebagai guru profesional tentunya tidaklah cukup jika seorang guru hanya menguasai pengetahuan yang ingin diajarkannya, namun guru juga harus mampu memahami         wawasan kependidikan seperti memahami visi-misi pendidikan, serta fungsi dan peran lembaga pendidikan. Dengan memahami wawasan kependidikan bisa menjadi penunjang bagi para guru untuk lebih memiliki kesiapan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam mengembangkan wawasan kependidikan guru, kepala sekolah selalu memberikan arahan melalui mengadakan suatu pertemuan kemudian memberikan informasi terkait dengan kurikulum atau hal-hal terbaru seputar kependidikan. Namun pada dasarnya kepala sekolah hanya memberikan arahan secara umum saja, selebihnya guru tersebut yang menjalankannya.
Wawasan serta pengetahuan yang luas sangat dibutuhkan para guru sebagai bekal mereka untuk dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Ada banyak cara yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan para guru, yaitu seperti mengadakan suatu pertemuan kepada para guru, kemudian kepala sekolah memberikan suatu informasi terbaru terkait dengan hal-hal yang dibutuhkan, kepala sekolah juga selalu memberikan arahan kepada para guru terkait dengan hal-hal yang belum mereka ketahui terutama arahan dalam mengimplementasikan kurikulum. Selain itu kepala sekolah juga memberikan fasilitas berupa buku bacaan yang dijadikan sebagai buku pegangan para guru untuk bahan mengajar. Dan berupa jaringan internet seperti Wifi untuk memudahkan para guru dalam mencari data-data atau informasi-informasi terbaru terkait dengan pengajaran dan informasi umum lainnya.

Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP


Dalam upaya mengembangkan keterampilan guru dalam mengajar, kepala sekolah mengikutsertakan guru-guru dalam pelatihan dan seminar yang berkaitan dengan pendidikan, kemudian memberikan arahan-arahan serta pembekalan kepada para guru. Adapun kegiatan/program yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru diantaranya:
1.    Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Program  MGMP  ini  diadakan  setiap  satu kali dalam sebulan, dan diadakan secara bergantian ditempat yang berbeda. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan dan memecahkan berbagai permasalahan para guru pada saat proses kegiatan belajar mengajar. Selain itu kegiatan ini juga bertujuan untuk memotivasi para guru dalam membuat dan melaksanakan program pembelajaran. Kegiatan MGMP ini terdiri dari guru mata pelajaran Bahasa. Menurut Darmawel  kegiatan yang dibahas dalam MGMP  yaitu pembahasan silabus dan RPP serta diskusi dan mencari solusi mengenai permasalahan yang terjadi pada saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Undang-Undang tentang Guru dan Dosen sebagaimana pasal 34 tentang pengembangan dan pembinaan

Undang-Undang tentang Guru dan Dosen sebagaimana tercantum pada pasal 34 tentang pengembangan dan pembinaan bahwa pemerintah dan satuan pendidikan wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Selain itu, sekolah juga perlu membuat program atau kegiatan dalam upaya mengembangkan kompetensi guru terutama kompetensi pedagogik diantaranya program, seminar, workshop, MGMP, serta mengikutsertakan guru-gurudalam berbagai pelatihan, sertifikasi dan juga sekolah perlu memfasilitasi berbagai macam sumber belajar berupa sarana prasarana seperti laboratorium, perpustakaan dan internet). Melalui upaya tersebut tentunya guru mempunyai kesempatan untuk terus meningkatkan kompetensinya. Beberapa upaya tersebut juga perlu didukung dari dalam diri guru tersebut, guru juga harus memiliki motivasi yang tinggi untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya dan selalu terus berusaha mengembangkan keahlian serta kompetensi yang dimilikinya sehingga bisa menjadi guru yang kompeten dan profesional yang mampu mewujudkan pendidikan yang bermutu. Jika sekolah dan guru mampu bekerjasama dengan baik guna melakukan pembenahan terhadap sistem pengembangan kompetensi guru, maka tentunya kompetensi guru akan memenuhi standar yang ada, sehingga nantinya akan berdampak pada tugas dan tanggung jawab yang dijalankan oleh guru dan bisa menghasilkan output yang berkualitas.

PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SEKOLAH


PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SEKOLAH
Salah satu kompetensi yang mutlak harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yaitu suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran terkait dengan pemahaman guru dalam merencanakan dan mengelola proses pembelajaran. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang menjadi dasar utama dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena di dalam proses pembelajaran tentunya guru harus memiliki kemampuan dalam mengelola pembelajaran, kemampuan merancang serta melaksanakan proses pembelajaran dan kemampuan mengevaluasi hasil pembelajaran. Oleh sebab itu dalam mengajar, seorang guru harus memiliki kompetensi, serta kemampuan dan keterampilan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Melalui tugas dan tanggung jawab yang dijalankannya, tentunya guru bukanlah profesi yang sembarangan, guru merupakan suatu profesi yang harus memiliki keahlian khusus agar proses pembelajaran berjalan efektif. Tanpa keahlian serta keterampilan yang dimiliki, maka tentunya seorang guru tidak akan mampu untuk mencapai proses pembelajaran yang efektif. Mengacu kepada hal tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam Hadis Shahih Bukhari yaitu:“Apabila sesuatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya, maka lihatlah kehancurannya.”Atas dasar itu, tentunya segala profesi harus dijalankan pada orang yang ahli dibidangnya. Begitupun halnya mengajar, guru yang profesional dan memiliki keahlian serta keterampilan khusus tentunya akan mampu menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan mampu mengelola iklim belajar yang menyenangkan.
Menjadi guru tentunya merupakan profesi yang sangat berat dan hanya bisa dilakukan oleh guru yang kompeten dan ahli dibidangnya. Namun realitanya saat ini, masih banyak guru yang belum mampu mengelola proses pembelajaran di kelas dengan baik. Permasalahan yang muncul yaitu, guru tidak memiliki kesiapan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena sebelum mengajar guru tidak membuat perencanaan yang matang atau langkah-langkah apa saja yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan di dalam proses pembelajaran, sehingga guru merasa kebingungan ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Padahal perencanaan pembelajaran sangat penting agar seorang guru memiliki kesiapan di dalam mengajar serta mampu memprediksi sejauh mana tingkat keberhasilan yang ingin dicapai. Sebagaimana yang dijelaskan Sanjaya (2008, hlm. 33) bahwa dengan perencanaan yang matang dan akurat, kita akan mampu memprediksi seberapa besar keberhasilan yang akan dapat dicapai. Tidak hanya rendahnya kemampuan guru dalam membuat perencanaan pembelajaran, akan tetapi guru juga belum mampu mengelola dan memahami karakteristik siswa sehingga belum mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif yang dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajar secara optimal sesuai dengan kemampuan masing-masing peserta didik.

Menurut Mulyasa dan Mukhlis (2007, hlm. 79)ada empat hal yang harus dipahami oleh guru dari peserta didik, yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik, dan perkembangan kognitif. Jika keempat hal tersebut dapat dipahami oleh guru maka akan terciptanya iklim belajar yang kondusif. Selain itu, guru kurang menguasai materi yang diajarkan sehingga dalam penyampaian materi guru terkesan teksbook dan metode yang digunakan tidakbervariatif dan masih terfokus pada metode ceramah sehingga proses kegiatan belajar mengajar terkesan monoton dan guru tidak melibatkan siswa secara aktif di kelas, sehingga siswa hanya mendengarkan gurunya saja.
Permasalahan tersebut juga diperkuat oleh munculnya fakta bahwa saat ini masih banyak guru yang tidak layak untuk mengajar. Terdapat data yang menyatakan bahwa sebanyak 912.505 guru dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia dinilai tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Mereka terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK. Di samping itu, tercatat pula bahwa 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidang studinya.
Ramli (Ketua Ikatan Guru Indonesia) menjelaskan rendahnya kompetensi guru ini terlihat pada hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Dalam UKG yang hanya mengukur 2 dari 4 kompetensi dasar guru ini terlihat jelas bahwa hanya ada 6% lebih dari 2,6 juta guru yang dinyatakan lulus dan tak perlu dilatih lagi. Ketika data seleksi CPNS guru dibuka, ada calon guru yang hanya bisa menjawab 1 benar dari 40 soal bahkan ada calon guru yang hanya mampu menjawab 5 benar dari 100 soal seleksi (Edupost.ID, 2016).
Pada dasarnya munculnya permasalahan tersebut karena beberapa faktor. Pertama mayoritas sekolah yang tidak memiliki program pengembangan kompetensi guru. sehingga tidak ada kesempatan untuk guru meningkatkan dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Sekolah hendaknya memiliki program yang mampu mengembangkan kompetensi guru terutama kompetensi pedagogik. Guru merupakan ujung tombak di dalam proses pembelajaran jika kompetensi yang dimiliki guru rendah maka tentunya akan berdampak pada output pendidikan. Selain itu, tentunya sekolah juga perlu memberi   kesempatan kepada guru untuk mengembangkan kompetensinya dengan mengikutsertakan guru-guru dalam kegiatan pengembangan kompetensi seperti pelatihan, workshop, seminar, MGMP dan berbagai kegiatanlainnya. Kedua, sekolah kurang melakukan perencanaan terhadap pengembangan kompetensi guru. perencanaan merupakan rancangan dasar untuk memilih sasaran dan menetapkan bagaimana cara mencapai tujuan dalam suatu kegiatan. Melalui perencanaan tentunya semua komponen terutama guru yang melaksanakan pengembangan kompetensi tersebut mengetahui dengan baik tujuan yang hendak dicapai. Ketiga, lemahnya pembinaan kepala sekolah terhadap kompetensi guru. pembinaan sangat penting dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru, supaya kepala mengetahui sejauhmana kompetensi yang dimiliki guru. Sehingga nantinya kepala sekolah dapat mengambil langkah-langkah yang perlu diperbaiki dari proses kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru tersebut. Melalui pembinaan ini juga kepala sekolah dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Keempat, rendahnya motivasi guru untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Motivasi sangat berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi yang dimiliki guru. keberhasilan dalam meningkatkan kompetensi sangat ditentukan oleh gurunya. Karena guru merupakan pusat pembelajaran Jika seorang guru tidak memiliki motivasi untuk meningkatkan kompetensinya maka proses pembelajaran nantinya tidak dapat menghasilkan output yang berkualitas. Untuk itu seorang guru harus senantiasa memiliki motivasi yang tinggi dalam mengembangkan diri secara mandiri terutama dalam mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Tidak bergantung pada inisiatif kepala sekolah. Kelima, belum maksimalnya evaluasi yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru. Melalui evaluasi kepala sekolah dapat mengukur dan menilai sejauhmana tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti pengembangan kompetensi pedagogik. Oleh sebab itu, sangat diperlukannya evaluasi terhadap hasil dari pengembangan kompetensi guru, agar kedepannya guru dapat memperbaiki kinerjanya terutama dalam proses belajar mengajar.

Penegakkan tata tertib sekolah dalam rangka pembentukan budaya disiplin di sekolah

Penegakkan tata tertib sekolah dalam rangka pembentukan budaya disiplin di sekolah harus diawasi. Tanpa adanya pengawasan, kedisiplinan akan sulit diterapkan di sekolah. Kepala Sekolah  selalu melakukan pengawasan langsung terhadap penegakkan tata tertib sekolah. Menurut Robins (Sagala, 2009: 114-115), karakteristik utama yang menjadi pembeda dari budaya organisasi adalahkontrol: jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
Setiap Senin, setelah upacara diadakan breaking news. Dalam breaking news ini, kepala sekolah mengevaluasi semua aktivitas sekolah selama 1 minggu sebelumnya, baik yang berkaitan dengan kehadiran, seragam, maupun kedisplinan lainnya.
Kepala Sekolah selalu mengawasi jalannya tata tertib di sekolah sebagai upaya pembentukan budaya disiplin di sekolah. Segala hal yang penting, dicatat dan kemudian dibahas pada kegiatan rutin breaking news setiap hari Senin untuk dievaluasi bersama. Menurut Teori Pembelajaran Sosial, bahwa organisasi diciptakan oleh pemimpin. Budaya organisasi banyak ditentukan oleh pendiri organisasi, di mana tindakan pendiri organisasi menjadi inti budaya awal organisasi (Schein, dalam Nawawi, 2013: 19-22).
Breaking news adalah kegiatan rapat guru dan tenaga kependidikan yang dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah dan rutin diadakan setiap hari Senin setelah dilaksanakannya upacara bendera, yaitu berlangsung selama 30 menit. Breaking news ini diadakan di ruang guru. Dalam breaking news, Kepala Sekolah mengevaluasi seluruh kegiatan sekolah selama 1 minggu. Breaking news ini bertujuan untuk tetap menjaga kerja sama antara guru dan tenaga kependidikan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sehingga seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik.

BUDAYA ORGANISASI KEPEMIMPINAN DI SEKOLAH KONSEP TEORI DAN APLIKASI

Stephen P. Robbins (1996: 297-299) mengemukakan bahwa untuk mempertahankan suatu budaya organisasi diperlukan sosialisasi. Karyawan baru memiliki potensi untuk mengganggu keyakinan dan kebiasaan organisasi yang sudah ada. Oleh karena itu, organisasi berniat membantu karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi.
Dalam mewujudkan disiplin sekolah yang tinggi, tata tertib sekolah harus diketahui oleh seluruh warga sekolah. Dengan begitu, seluruh warga sekolah akan merasa ikut bertanggung jawab atas penegakkan tata tertib sekolah. Fungsi utama budaya organisasi menurut Yukl,dikutip oleh Sunyoto dan Burhanuddin (2011: 152) yaitu membantu memahami lingkungan dan menentukan bagaimana meresponnya, sehingga dapat mengurangi kecemasan, ketidakpastian, dan kebingungan.
tata tertib siswa disosialisasikan secara bertahap dan terus menerus. Tata tertib di sekolah ini disosialisasikan melalui surat pernyataan yang berisi tentang kesediaan orang tua dan siswa untuk mengikuti tata tertib sekolah. Surat itu pun dilengkapi dengan lembaran tata tertib, poin pelanggaran, hak dan kewajiban peserta didik. Selain itu, tata tertib peserta didik juga disosialisasikan pada kegiatan orientasi peserta didik baru.
Proses sosialisasi tata tertib dilakukan secara bertahap, mulai kepada orangtua hingga ke peserta didik baru melalui surat persetujuan untuk mengikuti seluruh tata tertib sekolah dan kegiatan MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru). Menurut Kreitner dan Kinicki, ditulis oleh Daryanto dan Farid (2013: 220) dan Wibowo (2013: 49-52), fungsi budaya organisasi adalah membentuk perilaku dengan membantu anggota menyadari lingkungannya.

Kegiatan MOPDB diadakan untuk memperkenalkan dan membentuk budaya disiplin di sekolah. Selain kegiatan MOPDB, ada beberapa program yang dirancang untuk melatih kedisiplin peserta didik, di antaranya: kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) dan ektrakulikuler. Pada kegiatan LDKS dan ektrakulikuler, peserta didik dilatih menjadi pribadi yang mandiri dan disiplin. 

BUDAYA ORGANISASI -PEMBUATAN TATATERTIB DI SEKOLAH DISIPLIN

Kotter dan Heskett, dikutip oleh Tika (2012: 19) menyatakan bahwa budaya organisasi yangdiciptakan oleh manajemen puncak diimplementasikan menjadi visi/filosofi atau strategi bisnis. 
Selain siswa, guru-guru juga memiliki standar-standar yang harus dipatuhi. Standar-standar tersebut berasal dari dinas dan juga kesepakatan bersama para guru. Standar-standar untuk guru dan siswa ditempel di beberapa titik, di antaranya di depan ruang guru, seperti foto standar guru dan siswa. Menurut Kreitner dan Kinicki, fungsi budaya organisasi adalah memfasilitasi komitmen kolektif. Anggota organisasi mempunyai komitmen bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang harus diikuti dan tujuan bersama yang harus dicapai (Daryanto dan Farid, 2013: 220; Wibowo, 2013: 49-52).
Tata tertib siswa sangat banyak, di antaranya: ketentuan pakaian seragam sekolah, ketentuan kegiatan ekstrakurikuler, dan lainnya yang menunjang disiplin siswa. Sedangkan standar-standar untuk guru juga disesuaikan berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, seperti: standar kinerja guru, standar pakaian seragam guru, standar kinerja wali kelas, dan lain-lain.

Selain standar-standar guru dan siswa, ditempel juga berbagai macam motto, contoh seragam siswa yang baik, dan simbol-simbol lainnya yang secara tidak langsung dapat mendukung pembentukan budaya disiplin di sekolah. Menurut Wiyani (2012: 139), “Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat antar anggota masyarakat sekolah saling berinterkasi. Interaksi tersebut terikat oleh berbagai aturan, norma serta etika bersama yang berlaku di sekolah.”

BUDAYA DISIPLIN DI SEKOLAH FUNGSI BUDAYA ORGANISASI


Pembentukan budaya disiplin di sekolah merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan melalui penanaman dan pembiasaan nilai disiplin di sekolah, yaitu perilaku yang menunjukkan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku di sekolah. Pembiasaan nilai disiplin yang dilakukan oleh sekolah tersebut diharapkan dapat menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, baik kehidupan peserta didik, guru, staf, maupun kepala sekolah.
1.    Pentingnya Disiplin
Phillips, dikutip oleh Komariah dan Triatna (2010: 101) merumuskan budaya sekolah sebagai the beliefs, attitudes, and behaviors which characterize a school. Kedisiplinan bisa menjadi identitas sekolah tertentu. Kepala Sekolah, guru, dan peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta sangat menyadari pentingnya kedisiplinan di sekolah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kepala Sekolah bahwa, semua aturan dan kegiatan dapat dijalankan dengan baik jika adanya disiplin. Arti disiplin menurut Liang Gie, dikutip oleh Imron (2004: 135) adalah suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati.
Kepala sekolah dan guru-guru menyadari bahwa disiplin sangat penting diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Kedisiplinan yang tinggi tidak hanya dapat mendukung kelancaran seluruh kegiatan di sekolah, melainkan peserta didik juga dapat belajar membiasakan diri untuk berperilaku positif, yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Kesadaran Kepala Sekolah dan guru-guru akan pentingnya disiplin di sekolah juga didukung oleh kesadaran yang muncul dari diri peserta didik. Hal tersebut terbukti dari pernyataan saudara Widodo selaku Ketua Umum OSIS, yang menyatakan bahwa disiplin itu penting sekali, dan harus diterapkan mulai dari diri sendiri. Selain itu, Apriliani selaku Ketua OSIS 1 juga menyatakan bahwa jika tidak ada disiplin suasana sekolah menjadi kacau.

Pembentukan budaya disiplin di sekolah - BUDAYA ORGANISASI


Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan nilai dan perilaku dalam pembelajarannya (Muslich, 2011: 17). Perilaku remaja diwarnai dengan gemar menyontek dan kebiasaan bullying di sekolah (Zubaedi, 2013: v). Fenomena tersebut terjadi karena minimnya usaha penanaman karakter di sekolah. Sekolah dirasakan perlu melakukan pembiasaan karakter positif, yang nantinya diharapkan dapat menjadi budaya sekolah yang melekat pada diri peserta didik.
Manajemen iklim budaya sekolah merupakan kebijakan yang harus diperhatikan oleh kepala sekolah dan guru dalam rangka pendidikan karakter di sekolah (Tu’u, 2004: 35). Kepala sekolah dan guru harus menciptakan budaya sekolah yang efektif dalam rangka pendidikan karakter di sekolah. Di antara nilai karakter yang dapat dikembangkan dalam budaya sekolah adalah kedisiplinan. Menurut Husain dan Ashraf (1979: 107), “Dalam dunia kontemporer saat ini perhatian lebih ditujukan pada bangunan, peralatan, perlengkapan, dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan karakter guru”.
Disiplin sekolah apabila dikembangkan dan diterapkan dengan baik, konsisten,dan konsekuen akan berdampak positif bagi kehidupan dan perilaku siswa (Tu’u, 2004: 35). Disiplin di lingkungan sekolah ditanamkan melalui pembiasaan. Pembiasaan disiplin yang diterapkan sekolah diharapkan akan menjadi budaya sekolah yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.
Banyak sekolah yang belum memahami bahwa budaya disiplin harus diperhatikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Budaya disiplin belum terbentuk dengan baik. Sekolah saat ini sangat mengutamakan aspek pengetahuan peserta didik, namun mengabaikan pembentukan sikap.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya disiplin di sekolah tidak kondusif. Pertama,  lemahnya kepemimpinan kepala sekolah dalam menciptakan budaya disiplin. Kedua, lemahnya implementasi tata tertib dalam rangka penanaman budaya disiplin. Ketiga, belum optimalnya proses sosialisasi budaya disiplin. Keempat, minimnya usaha penanaman nilai disiplin di sekolah. Kelima, disiplin kerja guru masih rendah. Keenam, belum efektifnya pemberian reward dan punishment.

PENGEMBANGAN LIFE SKILLS VOKASIONAL DI SEKOLAH PERMASALAHAN TEORI DAN APLIKASI


Generasi masa depan kita bisa mengubah keadaan tersebut lebih baik dari sebelumnya. Keluaran dari orang yang memiliki life skills adalah teamwork, self-esteem, learning from each other, confidence, etc (Hanbury, 2008: 10). Karena life skills kita lemah—sebagaimana dijelaskan di atas, maka kita tidak memiliki: kerja tim, harga diri, jiwa belajar, dan percaya diri.
Seharusnya pemerintah dan DPR bekerjasama membangun negeri demi kesejahteraan rakyat, namun mereka bekerja untuk kepentingan partai dan jaringannya. Kue besar APBN dan APBD dibagi-bagi antar partai pemenang pemilu. Lihat saja bagaimana formasi menteri pembantu Presiden kita; gambaran sempurna bagi-bagi kue kekuasaan. Pertimbangannya sangat politis bukan dasar profesionalitas.
Mereka melakukan apa pun cara untuk berkuasa. Petinggi partai, pejabat, pemerintah, dan DPR korupsi berjamaah. Suap-menyuap dalam kasus pilkada dan pejabat yang semuanya berakhir di penjara menandakan hilangnya harga diri (self-esteem) mereka. Meraih jabatan dengan pengorbanan materi dengan harapan meraih materi lebih banyak lagi setelah berkuasa. Pemimpin, wakil rakyat, dan pejabat seperti inikah yang memiliki harga diri itu?
Lalu, bagaimana bangsa ini seolah tidak pernah belajar kepada kemajuan bangsa lain? Bagaimana Negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya—daratan dan lautan—bisa kalah maju dari Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. BBM, beras, daging, dan gula, semuanya mengandalkan impor. Apa kita memang bangsa yang tidak pernah belajar dari kemajuan bangsa lain?
Murid-murid dan guru kita juga terkenal rendah diri atau tidak percaya diri. Malu bertanya dan menjawab pertanyaan guru, sedangkan guru pasif saat mengikuti pelatihan. Sedikit murid kita yang punya mimpi besar, seperti bisa sekolah di luar negeri karena guru tidak memotivasi dan membesarkan hati murid.
Pertanyaannya, mengapa masyarakat kita lemah dalam life skills? Karena sekolah hanya menjalankan pembelajaran bukan pendidikan. Di rumah dan di masyarakat kering nilai-nilai pendidikan. Sangat sulit mencari tokoh teladan di negeri ini. Maka, life skills sangat penting menjadi agenda utama sekolah dan perguruan tinggi. Life skills are generic skills, relevant to many diverse experiences throughout life (WHO, 1999: 5).

PENGEMBANGAN LIFE SKILLS VOKASIONAL DI SEKOLAH TEORI PRAKTIK DAN APLIKASI DI SEKOLAH


Masalah dan tantangan hidup saat ini jauh lebih kompleks dan berat daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan daya saing di dunia kerja sangat ketat dan kebutuhan hidup yang semakin mahal atau tinggi, sehingga memerlukan ketahanan mental dan jiwa kreatif yang tinggi. Jika tidak dibekali dengan life skill—melalui pembelajaran dan pengalaman di sekolah dan masyarakat, maka alumni Madrasah akan menjadi pengangguran dan tidak menutup kemungkinan menjadi benalu bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam rangka menyiapkan lulusan yang terampil dan mandiri, madrasah harus menyediakan ekstrakurikuler dan/atau jurusan yang bisa membekali siswa keterampilan khusus, terutama bagi siswa-siswa dari kalangan tidak mampu yang tidak akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Penguasaan keterampilan khusus bisa menjadi modal yang besar bagi lulusan madrasah untuk mandiri dan mengembangkan potensinya lebih besar lagi, baik dengan jalan menjadi pekerja atau berwirausaha sesuai dengan kompetensinya.
Disamping kecerdasan intelektual, siswa dididik memiliki kecerdasan emosional; hard skills dan soft skills. Kecerdasan intelektual dan emosional, dan hard skills dan soft skills identik dengan life skills. Hidup berisi kebahagiaan juga kesedihan; hidup menawarkan kemudahan tapi tidak sedikit kesulitan. Kekuatan emosional itulah yang bisa menuntun manusia tetap tegar meski kesedihan dan kesulitan menghampirinya.
Siswa perlu diajarkan life skills sejak dini. Adapun definisi life skills menurut WHO adalah abilities that help us to adapt and behave positively so that can deal effectively with the challenges of everyday life (Hanbury, 2008: 9). Tantangan hidup siap menanti generasi muda sehingga diperlukan usaha sadar dari orangtua, sekolah, dan masyarakat untuk membekali mereka dengan keterampilan hidup sedini mungkin.
Ada lima area dasar life skills yang relevan diterapkan dalam budaya manapun (Department of Mental Health WHO, 1999: 1): 1) Decision-making and problem-solving; 2) Creative thinking and critical thinking; 3) Communication and interpersonal skills; 4) Self-awareness and empathy; dan 5) Coping with emotion and coping with stress.
Bagaimana keterampilan masyarakat kita dalam lima aspek di atas? Lihat bagaimana kita mengelola dan mengatasi kemacetan dan banjir di jalan raya yang tidak menunjukkan tanda-tanda segera teratasi. Bagaimana pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di DPR dan DPRD terkait hal tersebut? Kita menolak banjir namun di kota tumbuh subur bangunan mall dan apartemen, dan di kawasan puncak tumbuh pesat bangunan hotel dan villa. Kita menolak kemacetan namun kredit motor dan mobil dipermudah; kepemilikan kendaraan bermotor dibiarkan tumbuh tanpa kendali.
Bagaimana dengan kreativitas masyarakat kita? Hingga kini kita dikenal sebagai bangsa konsumen bukan produsen. Mobil, motor, dan telepon semua hasil karya bangsa lain.Kita bangsa penikmat bukan bangsa pencipta. Bahkan kita kalah dengan Korea Selatan dan Malaysia. Masyarakat kita juga mudah ditipu oleh calon anggota legislatif hanya dengan sedikit rupiah dan dibumbui dengan janji-janji palsu. Daya kritis mereka tumpul dengan memilih calon yang tidak kompeten dan tidak berintegritas.         
Keterampilan komunikasi dan empati para politisi, pengacara, dan tokoh masyarakat juga lemah. Pada acara Indonesian Lawyer Club (ILC) di sebuah stasiun televisi swasta sering terlihat bagaimana kualitas komunikasi dan empati mereka terhadap lawan bicara. Misalnya, memotong lawan bicara, berbicara kasar dan keras, dan tidak menghargai pendapat orang lain.
Emosi masyarakat kita mudah tersulut sehingga terjadi tawuran; penuh dendam dan amarah. Pelajar dan mahasiswa terlibat tawuran menaun; kekerasan senior terhadap yunior terjadi di Perguruan Tinggi ikatan dinas. Demikianlah gambaran buram masyarakat kita yang menunjukkan pentingnya pendidikan life skills di sekolah-sekolah. Sedari dini mereka harus dikenalkan betapa kehidupan di luar sana penuh tantangan yang tak mudah ditaklukkan. Musuh mereka bukan senjata pistol dan meriam tetapi emosi dan cara berpikir masyarakat yang tak kunjung dewasa dan terdidik.

STANDAR SARANA DAN PRASARANA SATUAN PENDIDIKAN INDONESIA SESUAI DENGAN JENJANG PENDIDIKAN


Gardner dan Cowell (1995: 35) berpendapat, “Sumber belajar dimaksud termasuk juga perlengkapan mengajar yang dimanfaatkan guru untuk mengajar. Perlengkapan berarti semua barang di sekolah yang dapat digunakan untuk membantu guru mengajar”. Tidak hanya bola dunia, peta, chart, diagram, gambar, model, dan alat atau beraneka macam alat bantu belajar, melainkan juga buku, baik buku teks maupun buku perpustakaan, dan laboratorium fisika, kimia, dan biologi yang memadai dan nyaman.
Banyaknya perlengkapan mengajar yang dimiliki sekolah bukanlah petunjuk yang memadai untuk menilai baik tidaknya suatu sekolah. Sekolah dengan banyak perlengkapan dapat saja dikatakan sebagai sekolah buruk jika perlengkapannya tidak digunakan sama sekali. Gardner dan Cowell (1995: 35) menyatakan, “Sekolah dengan perlengkapan yang sedikit masih dapat dikatakan sangat efektif apabila para guru dan siswa memakainya secara inteligen dan apabila dapat membantu anak-anak agar dapat memahami pelajaran lebih baik”.
Hal ini menunjukkan pentingnya manajemen sekolah memfasilitasi para guru dengan sebuah program pelatihan singkat tentang bagaimana menggunakan sapras (termasuk perlengkapan mengajar) secara efektif dan efisien. Dengan demikian, guru bisa memanfaatkan sapras dan perlengkapan yang tersedia di sekolah dengan sebaik-baiknya.
Standar sarana dan prasarana sekolah, hingga saat ini belum terpenuhi. Fasilitas-fasilitas dasar sekolah yang mesti dipenuhi untuk tingkat SD, antara lain, adalah ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, ruang usaha kesehatan sekolah, tempat beribadah, jamban, dan olahraga, dan laborartorium IPA.
Di tingkat SMP ditambah konseling, organisasi kesiswaan, dan tata usaha. Ada pun di tingkat SMA prasarana laboratorium mesti lengkap, yakni laboratorium Fisika, Kimia, Biologi, komputer, dan bahasa.
Berdasarkan data Depdiknas tahun 2008, baru 32 persen SD memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP 63,3 persen. Pada jenjang SMA keberadaan perpustakaan di SMA negeri mencapai 80 persen, di SMA swasta 60 persen, serta di SMK 90 persen. SMA negeri yang punya laboratorium multimedia 80 persen, sedangkan SMA swasta 50 persen. Yang punya laboratorium IPA lengkap (Fisika, Biologi, dan Kimia) sudah 80 persen. Kondisi memprihatinkan terjadi di SMA swasta karena yang punya tiga laboratorium IPA baru 10 persen dan yang dua laboratorium IPA 30 persen (Kompas, 22 Oktober 2009).

TEORI-TEORI BUDAYA ORGANISASI SERTA PENJELASANNYA DI LINGKUNGAN SEKOLAH


Kotter dan Heskett (1992: 3-4) menulis bahwa budaya adalah “the qualities of any specific human group that are passedfrom one generation to the next.” Deal dan Peterson (1990: 4) mengartikan budaya sekolah sebagai “Deep patterns of values, beliefs, and traditions that have formed over the course of the school’s history”.
Budaya sekolah adalah pengetahuan dan hasil karya cipta komunitas sekolah yang berusaha ditransformasikan kepada peserta didik, dan dijadikan pedoman dalam setiap tindakan komunitas sekolah. Pengetahuan dimaksud mewujud dalam sikap dan perilaku nyata komunitas sekolah, sehingga menciptakan warna kehidupan sekolah yang bisa dijadikan cermin bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Ormord (2003: 136) menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling”. Keteladanan tidak cukup hanya dijelaskan, tetapi harus diwujudkan dalam perilaku kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan.
Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi politis dari suatu perbuatan (Pinar, 2004: 16). Guru menyadari bahwa esensi pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang bermoral dan religious. Bahkan menurut Whitehead (1957: 26), “The essence of education is that it be religious”.
Proses pendidikan moral itu kadang tidak disadari oleh guru, padahal mereka telah menjalankannya. Hal ini seperti ditulis Kohlbergh (1981: 6), “Although moral education has a forbidding sound to teachers, they constantly practice it. They tell children what to do, make evaluations of children’s  behavior, and direct children’s relations in the classrooms. Some times teachers do these things without being aware that they are engaging in moral education, but the children are aware of it”.
Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131), yaitu: a) Manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; b) Perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; dan c) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.
Ajami (2006: 133) menulis, “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatannya”.
Sekolah harus menanamkan sejak dini nilai-nilai utama pada siswa, sehingga kelak mereka mampu mengamalkan nilai-nilai utama tersebut dalam kehidupan nyata di masyarakat—apa pun profesi mereka. Menurut Kohlberg (Crain, 2000: 165), “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society would contain individuals who not only understand the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty”.
Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses”.
Aktivitas, program, dan lingkungan sekolah harus mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai utama, sehingga mereka bukan hanya tahu baik-buruk, tetapi menjalankannya dalam kenyataan dan interaksi sehari-hari di sekolah. Gustafson (1970: 7) menulis, “Morality cannot remain merely an intellectual exercise; it must be put to the test, and children must see it put to the test by themselves and by others around them in and out of the schools...Morality is put to the test every day in schools, and we teachers are often found wanting in it.” Ketika siswa terbiasa dengan perilaku, sikap, dan ucapan yang utama di sekolah, maka nilai-nilai utama bisa menjadi budaya bagi mereka, yang tidak akan mudah luntur oleh terpaan budaya-budaya negatif.Sebaliknya, budaya utama tersebut akan menjadi modal berharga bagi kehidupan siswa kelak. Karena, budaya luhur akan membawa pada keberhasilan dan bahkan kebahagiaan.
Luthan (1981: 563) menyebutkan bahwa karakteristik budaya organisasi meliputi peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi, norma-norma, nilai-nilai yang dominan, filosofi, aturan-aturan, dan iklim organisasi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa budaya dapat diamati, ditelaah, dipelajari, dan dikembangkan untuk kepentingan kemajuan suatu organisasi melalui berbagai manifestasi budaya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Caldwell dan Spink (1993: 69) menyebutkan beberapa unsur budaya organisasi sekolah, sebagai berikut: perwujudan konseptual/verbal, perwujudan dan simbolisasi visual/ material, dan perwujudan perilaku.
Segala hal (fisik dan non-fisik) yang ada di sekolah merupakan wujud atau cermin jati diri para pendiri, pemimpin, dan pengelola sekolah. Sekolah perlu menegaskan pencapaian karakter atau nilai apa saja yang harus dimiliki siswa setelah belajar selama enam atau tiga tahun. Hanya dengan cara ini efektivitas sebuah sekolah bisa diukur.
Robbins (1990: 253) mencatat lima fungsi budaya organisasi, yaitu: a) membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya; b) meningkatkan sense of identity anggota; c) meningkatkan komitmen bersama; d) menciptakan stabilitas sistem sosial; dan e) mekanisme pengendalian yang terpadu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Terbentuknya budaya organisasi bermula dari ide yang dimiliki oleh pemimpin, selanjutnya budaya tersebut digunakan sebagai pedoman dalam mengelola lembaga pendidikan. Tindakan manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan tidak. Keberhasilan pembumian budaya di sekolah sangat tergantung pada fokus dan komitmen pemimpin.