Tuesday, October 30, 2018

TEORI-TEORI BUDAYA ORGANISASI SERTA PENJELASANNYA DI LINGKUNGAN SEKOLAH


Kotter dan Heskett (1992: 3-4) menulis bahwa budaya adalah “the qualities of any specific human group that are passedfrom one generation to the next.” Deal dan Peterson (1990: 4) mengartikan budaya sekolah sebagai “Deep patterns of values, beliefs, and traditions that have formed over the course of the school’s history”.
Budaya sekolah adalah pengetahuan dan hasil karya cipta komunitas sekolah yang berusaha ditransformasikan kepada peserta didik, dan dijadikan pedoman dalam setiap tindakan komunitas sekolah. Pengetahuan dimaksud mewujud dalam sikap dan perilaku nyata komunitas sekolah, sehingga menciptakan warna kehidupan sekolah yang bisa dijadikan cermin bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Ormord (2003: 136) menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling”. Keteladanan tidak cukup hanya dijelaskan, tetapi harus diwujudkan dalam perilaku kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan.
Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi politis dari suatu perbuatan (Pinar, 2004: 16). Guru menyadari bahwa esensi pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang bermoral dan religious. Bahkan menurut Whitehead (1957: 26), “The essence of education is that it be religious”.
Proses pendidikan moral itu kadang tidak disadari oleh guru, padahal mereka telah menjalankannya. Hal ini seperti ditulis Kohlbergh (1981: 6), “Although moral education has a forbidding sound to teachers, they constantly practice it. They tell children what to do, make evaluations of children’s  behavior, and direct children’s relations in the classrooms. Some times teachers do these things without being aware that they are engaging in moral education, but the children are aware of it”.
Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131), yaitu: a) Manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; b) Perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; dan c) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.
Ajami (2006: 133) menulis, “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatannya”.
Sekolah harus menanamkan sejak dini nilai-nilai utama pada siswa, sehingga kelak mereka mampu mengamalkan nilai-nilai utama tersebut dalam kehidupan nyata di masyarakat—apa pun profesi mereka. Menurut Kohlberg (Crain, 2000: 165), “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society would contain individuals who not only understand the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty”.
Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses”.
Aktivitas, program, dan lingkungan sekolah harus mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai utama, sehingga mereka bukan hanya tahu baik-buruk, tetapi menjalankannya dalam kenyataan dan interaksi sehari-hari di sekolah. Gustafson (1970: 7) menulis, “Morality cannot remain merely an intellectual exercise; it must be put to the test, and children must see it put to the test by themselves and by others around them in and out of the schools...Morality is put to the test every day in schools, and we teachers are often found wanting in it.” Ketika siswa terbiasa dengan perilaku, sikap, dan ucapan yang utama di sekolah, maka nilai-nilai utama bisa menjadi budaya bagi mereka, yang tidak akan mudah luntur oleh terpaan budaya-budaya negatif.Sebaliknya, budaya utama tersebut akan menjadi modal berharga bagi kehidupan siswa kelak. Karena, budaya luhur akan membawa pada keberhasilan dan bahkan kebahagiaan.
Luthan (1981: 563) menyebutkan bahwa karakteristik budaya organisasi meliputi peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi, norma-norma, nilai-nilai yang dominan, filosofi, aturan-aturan, dan iklim organisasi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa budaya dapat diamati, ditelaah, dipelajari, dan dikembangkan untuk kepentingan kemajuan suatu organisasi melalui berbagai manifestasi budaya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Caldwell dan Spink (1993: 69) menyebutkan beberapa unsur budaya organisasi sekolah, sebagai berikut: perwujudan konseptual/verbal, perwujudan dan simbolisasi visual/ material, dan perwujudan perilaku.
Segala hal (fisik dan non-fisik) yang ada di sekolah merupakan wujud atau cermin jati diri para pendiri, pemimpin, dan pengelola sekolah. Sekolah perlu menegaskan pencapaian karakter atau nilai apa saja yang harus dimiliki siswa setelah belajar selama enam atau tiga tahun. Hanya dengan cara ini efektivitas sebuah sekolah bisa diukur.
Robbins (1990: 253) mencatat lima fungsi budaya organisasi, yaitu: a) membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya; b) meningkatkan sense of identity anggota; c) meningkatkan komitmen bersama; d) menciptakan stabilitas sistem sosial; dan e) mekanisme pengendalian yang terpadu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Terbentuknya budaya organisasi bermula dari ide yang dimiliki oleh pemimpin, selanjutnya budaya tersebut digunakan sebagai pedoman dalam mengelola lembaga pendidikan. Tindakan manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan tidak. Keberhasilan pembumian budaya di sekolah sangat tergantung pada fokus dan komitmen pemimpin.

No comments:

Post a Comment