Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan
sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan
dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus
mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan
sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Dalam aktivitas pendidikan manapun,
peserta didik merupakan sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek
pendidikan. Oleh karena itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para
pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik.
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan
mau mengerti (difference), atau politics of recognition politik
pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Istilah “pendidikan
multikultural” dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang
menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan
masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum
pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti; (1) toleransi,
tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; (2) bahaya diskriminasi, penyelesaian
konflik dan mediasi; (3) HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal,
dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan
multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju
ini dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga,
pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima,
pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia. Secara konseptual,
sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu.
Semesta berarti pendidikan bersifat terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di
seluruh wilayah negara. Menyeluruh dalam arti pendidikan harus mencakup semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, terpadu berarti adanya
saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan
nasional. Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi
setiap warga negara.
Dengan demikian, setiap warga negara dapat memperoleh
sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang meliputi kemampuan
membaca, menulis, berhitung, serta menggunakan bahasa Indonesia. Kemampuan
dasar itulah yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperan
serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif keragaman
budaya, sistem pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang
seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan
sebagaipeserta didik, tidak dibenarkan adanya perbedaan atas jenis kelamin,
agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi. Perluasan
istilah dan konsep “satu sistem pengajaran nasional” menjadi “satu sistem
pendidikan nasional” dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian
perhatian terhadap unsur pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian
manusia.
#selamat belajar
No comments:
Post a Comment