Sunday, September 2, 2018

Kontinuitas Yang Saling Mengisi Relasi Pancasila, Agama Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi

Kontinuitas Yang Saling Mengisi Relasi Pancasila, Agama Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi
Jika ingin melacak sejarah, ternyata dari serangkaian kilasan sejarah yang tersedia, setiap gerakan ang muncul dalam panggung sejarah bangsa Indonesia merupakan kontinuitas yang saling mengisi. Boedi Oetomo yang dikobarkan oleh dokter Soetomo dan kawan-kawan satu abad yang lalu, seringkali dijadikan tonggak sejarah atas hari Kebangkitan Nasional. Gerakan moral yang semula hanya berskala regional (etnis Jawa) itu menemukan afinitasnya -- hubungan yang saling mencari sebagai kesadaran awal paham kebangsaan. Gerakan itu mengilhami Sumpah Pemuda, yang mempertegas kebutuhan: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yang tanpa menyertakan satu agama sebagai bentuk pencegahan pelembagaan pembulatan mayoritas, yang dapat memadamkan pluralitas. Jangkauan imajinasi budaya yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda, bukan sekedar memuat kebutuhan historis, tentang Bhineka Tunggal Ika, tetapi juga menyediakan pencegahan kemungkinan terjadinya negara agama.
Pada 1 Juni, Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kemudian diperingati sebagai lahirnya Pancasila, sebagai upaya mempertegas kembali bahwa pluralitas adalah conditio sine quo non bagi Bangsa Indonesia. Sebaliknya tragedi tahun 1965 yang dalam versi rezim Orde Baru disebut G-30-S/PKI, seringkali dianggap sebagai hari penghianatan Pancasila. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai hari kesaktian Pancasila. Makna terdalam dari seluruh gerakan ini adalah kuatnya semangat unity in diversity, berbeda-beda tetapi tetap satu. Bhineka Tunggal Ika. Kini, semangat itu mulai memudar bahkan dalam kadar tertentu sedang terancam. Dalam periode orde baru, posisi Pancasila yang telah diletakkan sebagai ”pseudo-agama” yang tertutup terhadap kritik dan difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, ternyata harus dibayar mahal. Pancasila telah dijadikan instrumen utama pemerintahan yang represif, yang menghalangi proses demokratisisasi sebagai conditio sine quo non. Akibatnya Pancasila telah mengalami berbagai distorsi dan ”krisis legitimasi”. Berbagai disfungsi penerapan Pancasila yang dimonopoli oleh penyelenggara negara, telah membuat Pancasila kehilangan dukungan. Pancasila mulai diragukan relevansi dan keampuhannya. Sikap ketidakpercayaan terhadap Pancasila, bahkan telah melahirkan sikap sinisme yang cenderung mendekontruksi seluruh kekuatannya. Sementara itu di tengah-tengah era reformasi di mana keterbukaan telah memperoleh ruang terbesar sepanjang sejarah politik Indonesia, sisa keraguan terhadap Pancasila mulai muncul kembali. Bahkan tawaran ideologi alternatif (Piagam Jakarta) mulai marak diwacanakan kembali.

#selamat belajar

No comments:

Post a Comment