Kontinuitas Yang Saling Mengisi Relasi
Pancasila, Agama Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi
Jika ingin melacak sejarah, ternyata dari serangkaian kilasan sejarah
yang tersedia, setiap gerakan ang muncul dalam panggung sejarah bangsa
Indonesia merupakan kontinuitas yang saling mengisi. Boedi Oetomo yang
dikobarkan oleh dokter Soetomo dan kawan-kawan satu abad yang lalu, seringkali
dijadikan tonggak sejarah atas hari Kebangkitan Nasional. Gerakan moral yang
semula hanya berskala regional (etnis Jawa) itu menemukan afinitasnya -- hubungan
yang saling mencari – sebagai kesadaran awal paham kebangsaan. Gerakan
itu mengilhami Sumpah Pemuda, yang mempertegas kebutuhan: satu nusa, satu
bangsa dan satu bahasa, yang tanpa menyertakan satu agama sebagai
bentuk pencegahan pelembagaan pembulatan mayoritas, yang dapat memadamkan
pluralitas. Jangkauan imajinasi budaya yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda, bukan
sekedar memuat kebutuhan historis, tentang Bhineka Tunggal Ika, tetapi
juga menyediakan pencegahan kemungkinan terjadinya negara agama.
Pada 1 Juni, Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara,
yang kemudian diperingati sebagai lahirnya Pancasila, sebagai upaya mempertegas
kembali bahwa pluralitas adalah conditio sine quo non bagi Bangsa
Indonesia. Sebaliknya tragedi tahun 1965 yang dalam versi rezim Orde Baru
disebut G-30-S/PKI, seringkali dianggap sebagai hari penghianatan Pancasila.
Hari itu kemudian ditetapkan sebagai hari kesaktian Pancasila. Makna
terdalam dari seluruh gerakan ini adalah kuatnya semangat unity in diversity,
berbeda-beda tetapi tetap satu. Bhineka Tunggal Ika. Kini, semangat itu
mulai memudar bahkan dalam kadar tertentu sedang terancam. Dalam periode orde
baru, posisi Pancasila yang telah diletakkan sebagai ”pseudo-agama” yang
tertutup terhadap kritik dan difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, ternyata
harus dibayar mahal. Pancasila telah dijadikan instrumen utama pemerintahan
yang represif, yang menghalangi proses demokratisisasi sebagai conditio sine
quo non. Akibatnya Pancasila telah mengalami berbagai distorsi dan ”krisis
legitimasi”. Berbagai disfungsi penerapan Pancasila yang dimonopoli oleh
penyelenggara negara, telah membuat Pancasila kehilangan dukungan. Pancasila
mulai diragukan relevansi dan keampuhannya. Sikap ketidakpercayaan terhadap
Pancasila, bahkan telah melahirkan sikap sinisme yang cenderung mendekontruksi seluruh
kekuatannya. Sementara itu di tengah-tengah era reformasi di mana keterbukaan telah
memperoleh ruang terbesar sepanjang sejarah politik Indonesia, sisa keraguan
terhadap Pancasila mulai muncul kembali. Bahkan tawaran ideologi alternatif
(Piagam Jakarta) mulai marak diwacanakan kembali.
No comments:
Post a Comment