Sekolah sebagai Suatu Organisasi
Sekolah sebagai suatu organisasi mempunyai ciri khas yang terkait
dengan anggota atau bagian dari organisasi tersebut, salah satunya adalah
keberadaan siswa. Siswa merupakan bagian esensial dari setiap sekolah dan
mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan unsur yang lain, seperti guru dan
karyawan. Secara perorangan siswa melewatkan waktu lebih singkat dibandingkan
dengan guru maupun pegawai administrasi. Oleh karena itu, sebagai suatu organisasi,
sekolah terus-menerus dihadapkan pada tugas menyosialisasikan siswa-siswa baru
dengan karakteristik yang berbeda-beda. Di sinilah pentingnya menerapkan
prinsip struktur terbuka dalam organisasi sekolah. Dengan struktur organisasi
yang terbuka memungkinkan sekolah mengantisipasi kemungkinan menyangkut keberadaan
siswa. Pada saat pertama memasuki sekolah, siswa akan bertemu dengan teman
sebaya, guru, dan unsur organisasi sekolah lainnya dalam suasana dan lingkungan
yang baru. Dengan bersekolah, anak berada dalam suatu lingkungan sosial yang
berbeda dan lebih luas daripada lingkungan keluarga.
Di sinilah diperlukan adanya proses sosialisasi agar anak dapat
menempati dan diterima dalam lingkungan yang baru. Proses sosialisasi merupakan
proses yang senantiasa ada dan dialami oleh manusia. Sosialisasi dilakukan
dengan upaya internalisasi nilai-nilai dan penyesuaian serta pengubahan
perilaku sejalan dengan respon yang diterima. Yang dimaksud nilai-nilai dalam
hal ini adalah kebudayaan suatu masyarakat tempat proses tersebut berlangsung.
Apabila nilai-nilai kebudayaan tersebut sudah
terinternalisasi dan terintegrasi dalam diri seseorang, akhirnya
akan membentuk struktur kepribadian dasar (basic personality structure).
Menurut Parson11 struktur kepribadian dasar yang telah diletakkan dalam masa
kanak-kanak bersifat relatif statis selama hidup. Secara sosiologis terdapat
tiga perspektif sosialisasi yang dapat dimanfaatkan dalam proses sosialisasi
anak di sekolah; (1) perspektif sosialisasi pasif, (2) perspektif sosialisasi
aktif, dan (3) perspektif sosialisasi radikal. Dalam hubungannya dengan upaya
menciptakan kondisi yang kondusif pada proses sosialisasi siswa, pihak sekolah,
terutama guru, dapat mempertimbangkan tiga perspektif tersebut.
Perspektif sosialisasi pasif mendasarkan diri pada asumsi bahwa
anak hanya sekadar memberi respon kepada rangsangan-rangsangana yang diterima,
baik dari guru maupun orangtua. Dalam hal ini ada suatu bentuk pengabaian
kemungkinan bahwa siswa akan mengalami beberapa konflik dalam dirinya mengenai
perilaku yang layak. Perspektif sosialisasi aktif berasumsi bahwa anak tidak
sekadar memberi respon pada perannya melainkan secara aktif menciptakan
perannya dalam kondisi-kondisi tempat ia hidup. Seorang anak sebagai
individu-individu menciptakan model sosial mereka, merundingkan makna-makna
yang dianut bersama dan mendefinisikan situas-situasi tempat mereka bertindak.
Selanjutnya, perspektif sosialisasi radikal beranggapan bahwa
sosialisasi berlangsung dalam suatu kelompok atau masyarakat yang
berlapis-lapis. Dalam arti bahawa latar belakang sosial siswa sangat
berpengaruh dalam proses sosialisasi di sekolah. Perspektif ini mengakui bahwa
tindakan seorang siswa merupakan bagian dari suatu struktur sosial yang lebih
luas. Pada akhirnya, sekolah diharapkan dapat menjamin jalannya proses
sosialisasi anak didik. Proses sosialisasi harus diarahkan pada terbentuknya
struktur kepribadian yang timbuh dan berkembang menjadi sistem kepribadian yang
stabil. Dengan kepribadian yang mantap dan stabil setiap anak didik akan
memiliki persiapan dan kesiapan melakukan peran-peran baru di masa yang akan
datang.
Faktor terpenting dalam proses sosialisasi adalah keinginan untuk
melakukan sesuatu dengan baik, kepuasan untuk mencapai prestasi pribadi. Hal
itulah yang dinamakan kebutuhan akan prestasi (need of achievment)
sebagaimana yang dikemukakan oleh D.C. McCelland. Seseorang yang memiliki
kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi cenderung untuk bekerja lebih keras,
belajar lebih cepat, bekerja sebaik mungkin. Selanjutnya, Rosen menjelaskan
bahwa orientasi prestasi mempunyai dua dimensi; pertama, karakteristik
kepribadian terhadap prestasi, yaitu dorongan dari dalam untuk melebihi orang
lain. Kedua, karakteristik kultural yang menjunjung tinggi nilai prestasi.
Dalam rangka keberhasilan proses sosialisasi dan pembentukan struktur
kepribadian yang mantap, tugas utama sekolah adalah membangun kebersamaan dalam
suasana keberagaman.
Dengan kata lain, yang lebih penting bagi sekolah bukan menjamin adanya
kesatuan dengan menegasikan keanekaan, tetapi menjaga kebersamaan dalam ke-bhineka-an.
Pada aspek inilah sikap dan nilai multikulturalisme tampak jelas relevansinya.
#selamat belajar
No comments:
Post a Comment