Kotter
dan Heskett (1992: 3-4) menulis bahwa budaya adalah “the qualities of any
specific human group that are passedfrom one generation to the next.” Deal
dan Peterson (1990: 4) mengartikan budaya sekolah sebagai “Deep patterns of
values, beliefs, and traditions that have formed over the course of the
school’s history”.
Budaya sekolah adalah pengetahuan dan hasil karya cipta
komunitas sekolah yang berusaha ditransformasikan kepada peserta didik, dan
dijadikan pedoman dalam setiap tindakan komunitas sekolah. Pengetahuan dimaksud
mewujud dalam sikap dan perilaku nyata komunitas sekolah, sehingga menciptakan
warna kehidupan sekolah yang bisa dijadikan cermin bagi siapa saja yang
terlibat di dalamnya.
Ormord
(2003: 136) menulis, “Many aspects of moral thinking and moral
behavior are apparently influenced by observation and modeling”.
Keteladanan tidak cukup hanya dijelaskan, tetapi harus diwujudkan dalam
perilaku kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan.
Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena
itu para guru perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi
politis dari suatu perbuatan (Pinar, 2004: 16). Guru
menyadari bahwa esensi pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang bermoral
dan religious. Bahkan menurut Whitehead (1957: 26), “The essence of education is that it be religious”.
Proses
pendidikan moral itu kadang tidak disadari oleh guru, padahal mereka telah
menjalankannya. Hal ini seperti ditulis Kohlbergh (1981: 6), “Although moral education has a forbidding
sound to teachers, they constantly practice it. They tell children what to do,
make evaluations of children’s behavior,
and direct children’s relations in the classrooms. Some times teachers do these
things without being aware that they are engaging in moral education, but the
children are aware of it”.
Beberapa
aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131), yaitu: a) Manusia saling memengaruhi
satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; b) Perbuatan lebih besar
pengaruhnya dibanding ucapan; dan c) Metode
teladan tidak membutuhkan penjelasan.
Ajami (2006: 133) menulis, “Para murid bisa lupa
perkataan pendidik, tapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan
perbuatannya”.
Sekolah harus menanamkan sejak dini nilai-nilai utama
pada siswa, sehingga kelak mereka mampu mengamalkan nilai-nilai utama tersebut
dalam kehidupan nyata di masyarakat—apa pun profesi mereka. Menurut
Kohlberg (Crain, 2000: 165), “Wanted to
see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best
possible society would contain individuals who not only understand the need for
social order, but can entertain visions of universal principles, such as
justice and liberty”.
Bruner
(1973: 52) menulis, “For the limits of
growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual
potential as he may posses”.
Aktivitas, program, dan lingkungan sekolah harus
mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai utama, sehingga mereka bukan hanya
tahu baik-buruk, tetapi menjalankannya dalam kenyataan dan interaksi
sehari-hari di sekolah. Gustafson (1970: 7)
menulis, “Morality cannot remain merely
an intellectual exercise; it must be put to the test, and children must see it
put to the test by themselves and by others around them in and out of the
schools...Morality is put to the test every day in schools, and we teachers are
often found wanting in it.” Ketika siswa terbiasa dengan perilaku, sikap,
dan ucapan yang utama di sekolah, maka nilai-nilai utama bisa menjadi budaya
bagi mereka, yang tidak akan mudah luntur oleh terpaan budaya-budaya
negatif.Sebaliknya, budaya utama tersebut akan menjadi modal berharga bagi
kehidupan siswa kelak. Karena, budaya luhur akan membawa pada keberhasilan dan
bahkan kebahagiaan.
Luthan
(1981: 563) menyebutkan bahwa karakteristik budaya organisasi meliputi
peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi, norma-norma, nilai-nilai yang
dominan, filosofi, aturan-aturan, dan iklim organisasi. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa budaya dapat diamati, ditelaah, dipelajari, dan dikembangkan
untuk kepentingan kemajuan suatu organisasi melalui berbagai manifestasi budaya
dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Caldwell dan Spink (1993: 69) menyebutkan beberapa unsur
budaya organisasi sekolah, sebagai berikut: perwujudan konseptual/verbal, perwujudan dan simbolisasi visual/
material, dan perwujudan perilaku.
Segala hal (fisik dan non-fisik) yang ada di sekolah
merupakan wujud atau cermin jati diri para pendiri, pemimpin, dan pengelola
sekolah. Sekolah perlu menegaskan pencapaian karakter atau nilai apa saja yang
harus dimiliki siswa setelah belajar selama enam atau tiga tahun. Hanya
dengan cara ini efektivitas sebuah sekolah bisa diukur.
Robbins
(1990: 253) mencatat lima fungsi budaya organisasi, yaitu: a) membedakan satu organisasi
dengan organisasi lainnya; b) meningkatkan
sense of identity anggota; c) meningkatkan
komitmen bersama; d) menciptakan
stabilitas sistem sosial; dan e) mekanisme pengendalian
yang terpadu dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Terbentuknya
budaya organisasi bermula dari ide yang dimiliki oleh pemimpin, selanjutnya
budaya tersebut digunakan sebagai pedoman dalam mengelola lembaga pendidikan.
Tindakan manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat
diterima dan tidak. Keberhasilan pembumian budaya di sekolah sangat tergantung
pada fokus dan komitmen pemimpin.