Fiqh
Penjara
Pada
hakekatnya penjara direalisasikan bertujuan memberikan kesempatan untuk kembali
merenungkan kekeliruan dengan harapan tidak mengulanginya, tapi pada
perkembangan selanjutnya nilai ini semakin memudar, tendensi pembenahan moral
berubah menjadi pendidikan ektra kulikuler dengan mata kuliah kriminalitas yang
pada gilirannya setelah pasca tahanan kemampuan melakukan tindakan kriminal
semakin meningkat, ketika masuk penjara hanya karena maling sepeda, setelah
keluar penjara menjadi sarjana tanpa gelar yang mengantongi ilmu maling motor.
Fenomena
ini tentu saja tak lepas dari pihak pemerintah ketika memandang arti sebuah
penjara, kalau penjara diartikan hanya untuk memasung narapidana agar tidak
berkeliaran bebas, tentu hanya nilai itu yang terealisasikan, tapi ketika
penjara dimaksudkan untuk wadah pendidikan dan pembenahan, tentu secara
struktur dan infrastruktur yang disediakan harus mendukung nilai yang
diperjuangkan.
Pada abad
pertengahan penjara dijadikan sebagai alat melegitimasi kekuasaan dan sebagai senjata
ampuh untuk menyingkirkan lawan politik sang raja. Bahkan para pilosof di Eropa
pada masa itu ikut melestarikan budaya ini, barulah pada abad ke 18 pihak
gereja mulai mengembalikan fungsi penjara sebagai sarana untuk penyucian jiwa
orang yang bersalah dan memberikan kesempatan untuk bertobat, serta
menghilangkan praktek-praktek kekerasan dan penyiksaan selama di tahanan.
Praktek
penjara sudah dikenal sebelum agama Islam hadir dijazirah Arab, kisah nabi
Yusuf AS yang difitnah melakukan selingkuh dengan permaisuri raja yang
mengakibatkan beliau mendekam di penjara merupakan gambaran prakek hukum pada
masa lalu.
Pada masa
Rasululahpun dinamika penjara masih di pertahankan bahkan masih berlanjut
sampai khalifah al Rasyidin yang kemudian bertahan sampai saat ini. Tapi pada
masa-masa awal Islam, bukanlah sebagaimana praktek masa sekarang, secara hukum
Syar’i orang yang difonis bersalah bukan dimasukkan keruangan khusus tahanan,
tapi hanya dihalangi melakukan interaksi sosial walaupun untuk kepentingannya sendiri
dan itu dipraktekkan di rumah bahkan sering kali dilakukan di mesjid, juga
dengan hanya melakukan pengawalan ketat. Inilah yang dikenal dalam wacana hukum
Islam dengan Istilah ( al atsir) tawanan.
Sebagaimana
disebutkan dalam sebuah kisah yang diriwayatkan sahabat Harmas ketika diserahi
tugas mengawal tawanan; rasulullah bersabda:”Awasi dia dengan ketat”,
ketika sore harinya barulah Rasulullah kembali melakukan inspeksi dengan
berkata: “Bagaimana kabar tawananmu wahai sahabat ku Bani Tamim”.
Dari riwayat
singkat itu dapat disimpulkan bahwa penjara pada masa awal Islam belum
mempunyai tempat khusus untuk tawanan. Barulah pada zaman Khalifah Umar bin
Khattab masyarakat Islam mengenal sebuah ruangan khusus yang kemudian dikenal
dengan istilah penjara, Beliau membeli sebuah rumah di Mekkah dan menjadikannya
sebuah penjara.
Dalam
perjalanan waktu selanjutnya, Islam memberikan tuntunan etika dalam
mempraktekkan konsep penjara. Mungkin ini disebabkan karena penjara mempunyai
peluang yang sangat besar untuk disalah artikan oleh pemerintah yang berkuasa,
bahkan dalam lembaran sejarah klasik dan modern tak jarang penjara dijadikan
alat pamer unjuk kewibawaan dan otoriter . Tentu pada tahap ini nilai moral dan
etika yang diinginkan untuk terpidana akan tumpul bahkan mati. Keinginan agar
orang yang merasa bersalah bisa tobat dan kembali kemasyarakat dengan baik
hanya isapan jempol bahkan membuka peluang media permusuhan dan mematikan
demokrasi.
Kalau
diperhatikan dalam hukum konvensional, penjara adalah hukuman pokok untuk semua
jenis kejahatan walaupun memakai istilah yang berbeda seperti: kerja paksa
sementara atau seumur hidup, sehingga penjara dihuni oleh semua jenis
kejahatan. Dimana mereka bisa saling berkenalan dan mungkin membuat sebuah
konspirasi kriminal walaupun tujuan awal mereka dipenjara agar bertobat dan
tidak mengulangi hal yang sama.
No comments:
Post a Comment