Tuesday, March 14, 2017

Fiqh Penjara ~ Sejarah Penjara

Fiqh Penjara
Pada hakekatnya penjara direalisasikan bertujuan memberikan kesempatan untuk kembali merenungkan kekeliruan dengan harapan tidak mengulanginya, tapi pada perkembangan selanjutnya nilai ini semakin memudar, tendensi pembenahan moral berubah menjadi pendidikan ektra kulikuler dengan mata kuliah kriminalitas yang pada gilirannya setelah pasca tahanan kemampuan melakukan tindakan kriminal semakin meningkat, ketika masuk penjara hanya karena maling sepeda, setelah keluar penjara menjadi sarjana tanpa gelar yang mengantongi ilmu maling motor.
Fenomena ini tentu saja tak lepas dari pihak pemerintah ketika memandang arti sebuah penjara, kalau penjara diartikan hanya untuk memasung narapidana agar tidak berkeliaran bebas, tentu hanya nilai itu yang terealisasikan, tapi ketika penjara dimaksudkan untuk wadah pendidikan dan pembenahan, tentu secara struktur dan infrastruktur yang disediakan harus mendukung nilai yang diperjuangkan.
Pada abad pertengahan penjara dijadikan sebagai alat melegitimasi kekuasaan dan sebagai senjata ampuh untuk menyingkirkan lawan politik sang raja. Bahkan para pilosof di Eropa pada masa itu ikut melestarikan budaya ini, barulah pada abad ke 18 pihak gereja mulai mengembalikan fungsi penjara sebagai sarana untuk penyucian jiwa orang yang bersalah dan memberikan kesempatan untuk bertobat, serta menghilangkan praktek-praktek kekerasan dan penyiksaan selama di tahanan.
Praktek penjara sudah dikenal sebelum agama Islam hadir dijazirah Arab, kisah nabi Yusuf AS yang difitnah melakukan selingkuh dengan permaisuri raja yang mengakibatkan beliau mendekam di penjara merupakan gambaran prakek hukum pada masa lalu.
Pada masa Rasululahpun dinamika penjara masih di pertahankan bahkan masih berlanjut sampai khalifah al Rasyidin yang kemudian bertahan sampai saat ini. Tapi pada masa-masa awal Islam, bukanlah sebagaimana praktek masa sekarang, secara hukum Syar’i orang yang difonis bersalah bukan dimasukkan keruangan khusus tahanan, tapi hanya dihalangi melakukan interaksi sosial walaupun untuk kepentingannya sendiri dan itu dipraktekkan di rumah bahkan sering kali dilakukan di mesjid, juga dengan hanya melakukan pengawalan ketat. Inilah yang dikenal dalam wacana hukum Islam dengan Istilah ( al atsir) tawanan.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kisah yang diriwayatkan sahabat Harmas ketika diserahi tugas mengawal tawanan; rasulullah bersabda:”Awasi dia dengan ketat”, ketika sore harinya barulah Rasulullah kembali melakukan inspeksi dengan berkata: “Bagaimana kabar tawananmu wahai sahabat ku Bani Tamim”.
Dari riwayat singkat itu dapat disimpulkan bahwa penjara pada masa awal Islam belum mempunyai tempat khusus untuk tawanan. Barulah pada zaman Khalifah Umar bin Khattab masyarakat Islam mengenal sebuah ruangan khusus yang kemudian dikenal dengan istilah penjara, Beliau membeli sebuah rumah di Mekkah dan menjadikannya sebuah penjara.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, Islam memberikan tuntunan etika dalam mempraktekkan konsep penjara. Mungkin ini disebabkan karena penjara mempunyai peluang yang sangat besar untuk disalah artikan oleh pemerintah yang berkuasa, bahkan dalam lembaran sejarah klasik dan modern tak jarang penjara dijadikan alat pamer unjuk kewibawaan dan otoriter . Tentu pada tahap ini nilai moral dan etika yang diinginkan untuk terpidana akan tumpul bahkan mati. Keinginan agar orang yang merasa bersalah bisa tobat dan kembali kemasyarakat dengan baik hanya isapan jempol bahkan membuka peluang media permusuhan dan mematikan demokrasi.

Kalau diperhatikan dalam hukum konvensional, penjara adalah hukuman pokok untuk semua jenis kejahatan walaupun memakai istilah yang berbeda seperti: kerja paksa sementara atau seumur hidup, sehingga penjara dihuni oleh semua jenis kejahatan. Dimana mereka bisa saling berkenalan dan mungkin membuat sebuah konspirasi kriminal walaupun tujuan awal mereka dipenjara agar bertobat dan tidak mengulangi hal yang sama.

No comments:

Post a Comment