Tuesday, March 14, 2017

Multikulturalisme Sebagai Jembatan Pemersatu Perbedaan

Abstrak
Multikulturalisme dapat menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.dengan adanya multikulturalisme yang mencakup  pilar bangsa Indonesia untuk mencapai pluralisme yang di cita-citakan. diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak. Multkulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat.
Main idea
Dalam konsep negara-bangsa, kata negara dan bangsa bersanding seolah tidak ada permasalahan antara keduanya. Bangsa, kebangsaan, dan rasa persaudaraan, selalu menuntut pengakuan identitas, harga diri, dan semangat kederajatan bagi terbentuknya penyelarasan orientasi bersama. Hal ini disebabkan apabila para individu maupun kelompok memperlakukan pihak lain sebagai pihak yang tidak boleh dianggap remeh dengan alasan apapun. Rasa senasib sepenanggungan menjadi sangat penting bagi integrasi karena hal tersebut mengasumsikan adanya pluralitas dan heterogenitas (Utari: 2010:45).
Konsep masyarakat majemuk yang pada awalnya diperkenalkan oleh M.G Smith dan selanjutnya dipopulerkan oleh Furnival bertujuan untuk menyebut kelompok-kelompok etnik yang berbeda-beda namun saling berbaur. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri dari aneka ragam kelompok masyarakat yang dilihat dari segi ras, agama, etnik, kebudayaan maupun bahasa. Berdasarkan pengertian di atas Indonesia termasuk salah satu negara yang jika dilihat dari segi keadaan masyarakatnya memiliki ciri majemuk. Dari segi ras, terdapat keanekaragaman yakni ras Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras campuran; terdapat pula aneka ragam suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Madura, Batak, Melayu, dayak, Flores, Maluku, Papua dan masih banyak suku-suku bangsa kecil lainya; ada berbagai pemeluk agama meliputi penganut Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan agama lokal atau aliran kepercayaan serta beraneka ragam bahasa daerah.
Koentjaraningrat dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia mengemukakan tentang keberagaman masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki cara hidup, nilai-nilai, perilaku dan hasil-hasil kebudayaan yang beragam. Kemajemukan tersebut sudah disadari sejak lama oleh para founding fathers. Oleh karena itu “bhinneka tunggal ika” rasanya bukanlah semboyan semata namun juga merupakan azas luhur bangsa yang harus direalisasikan pada saat ini hingga masa yang akan datang. Hal ini penting mengingat di masa lalu, konsep tersebut sangat disadari oleh para pemimpin bangsa, kaum terpelajar, dan politisi sebagai hal yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi seiring dengan derasnya arus globalisasi, konsep itu telah dilupakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Akibatnya sering terjadi konflik-konflik sosial yang berakar dari perbedaan-perbedaan tersebut (Wasino, 2006).
Makna masyarakat Indonesia yang “bhinneka tunggal ika” dalam pandangan Suparlan (2003) mengalami pergeseran yang cukup berarti. Pada masa Orde Baru diartikan sebagai keanekaragaman suku bangsa dalam kebudayaan, tetapi dalam masyarakat multikultural Indonesia (Indonesian Multikultural Society) konsep tersebut diartikan sebagai keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat majemuk (plural society). Pergeseran makna kebhinnekaan dalam masyarakat itu merupakan konsep ideologis khusus yang merujuk yang merujuk pada konsep multikultural. Tuntutan pengembangan multikulturalisme menjadi menguat di Indonesia, setelah berbagai daerah mengalami pergolakan antar etnis, adanya konflik kepentingan dan rasa ketidakadilan. Dengan pergeseran ini, masyarakat multikultural menjadi wacana yang sangat relevan dalam mengembangkan masyarakat Indonesia baru.
Salah satu ciri masyarakat multikultural adalah pengakuan perbedaan dalam kesederajatan, baik yang bersifat individual maupun bersifat kebudayaan. Masyarakat multikultural tumbuh diawali dengan adanya kesadaran bahwa hidup manusia dalam sebuah masyarakat dan kebudayaan bersifat pluralis. Disadari bahwa keragaman yang ada merupakan fitrah dan potensi untuk saling memahami satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pendekatan multikultural memuat asumsi setiap kebudayaan dan masyarakat mempunyai cara hidupnya sendiri-sendiri yang harus dipahami dari konteks dan kebudayaan yang bersangkutan.
Desain mengenai masyarakat multikultural di Indonesia telah dilakukan sejak lahirnya bangsa Indonesia yang pada saat itu sedikit banyak telah dipahami tentang substansi dari demokrasi. Penjelasan tentang kebudayaan bangsa dituangkan dalam pasal 32 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah. Meskipun dalam perkembangannya kebijakan politik kebudayaan nasional telah berpihak kepada para penguasa yang otoriter dan militeristik, sementara kebudayaan daerah yang menjadi satuan keunggulan etnik yang beragam ditiadakan, selanjutnya dijadikan kebudayaan propinsi. Berdasarkan fenomena di atas, pendidikan di Indonesia harus peka dalam menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola pemaksaan kehendak untuk membentuk satu kehidupan berbangsa yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu ditinjau ulang dan dipertanyakan.

No comments:

Post a Comment