Multikulturalisme dapat menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku
bangsa dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal
dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi
sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga
konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat
dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke
depan.dengan adanya multikulturalisme yang mencakup pilar bangsa Indonesia untuk mencapai
pluralisme yang di cita-citakan. diharapkan
adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak. Multkulturalisme adalah
sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak
kehidupan masyarakat.
Main idea
Dalam
konsep negara-bangsa, kata negara dan bangsa bersanding seolah tidak ada
permasalahan antara keduanya. Bangsa, kebangsaan, dan rasa persaudaraan, selalu
menuntut pengakuan identitas, harga diri, dan semangat kederajatan bagi
terbentuknya penyelarasan orientasi bersama. Hal ini disebabkan apabila para
individu maupun kelompok memperlakukan pihak lain sebagai pihak yang tidak
boleh dianggap remeh dengan alasan apapun. Rasa senasib sepenanggungan menjadi
sangat penting bagi integrasi karena hal tersebut mengasumsikan adanya
pluralitas dan heterogenitas (Utari: 2010:45).
Konsep masyarakat majemuk yang pada awalnya diperkenalkan oleh M.G
Smith dan selanjutnya dipopulerkan oleh Furnival bertujuan untuk menyebut
kelompok-kelompok etnik yang berbeda-beda namun saling berbaur. Masyarakat
majemuk merupakan masyarakat yang terdiri dari aneka ragam kelompok masyarakat
yang dilihat dari segi ras, agama, etnik, kebudayaan maupun bahasa. Berdasarkan
pengertian di atas Indonesia termasuk salah satu negara yang jika dilihat dari segi
keadaan masyarakatnya memiliki ciri majemuk. Dari segi ras, terdapat
keanekaragaman yakni ras Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan
ras campuran; terdapat pula aneka ragam suku bangsa seperti Jawa, Sunda,
Madura, Batak, Melayu, dayak, Flores, Maluku, Papua dan masih banyak suku-suku
bangsa kecil lainya; ada berbagai pemeluk agama meliputi penganut Islam,
Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan agama lokal atau aliran
kepercayaan serta beraneka ragam bahasa daerah.
Koentjaraningrat
dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia mengemukakan tentang keberagaman
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki cara
hidup, nilai-nilai, perilaku dan hasil-hasil kebudayaan yang beragam.
Kemajemukan tersebut sudah disadari sejak lama oleh para founding fathers.
Oleh karena itu “bhinneka tunggal ika” rasanya bukanlah semboyan semata namun
juga merupakan azas luhur bangsa yang harus direalisasikan pada saat ini hingga
masa yang akan datang. Hal ini penting mengingat di masa lalu, konsep tersebut
sangat disadari oleh para pemimpin bangsa, kaum terpelajar, dan politisi
sebagai hal yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Akan tetapi seiring dengan derasnya arus globalisasi,
konsep itu telah dilupakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Akibatnya sering
terjadi konflik-konflik sosial yang berakar dari perbedaan-perbedaan tersebut
(Wasino, 2006).
Makna
masyarakat Indonesia yang “bhinneka tunggal ika” dalam pandangan Suparlan
(2003) mengalami pergeseran yang cukup berarti. Pada masa Orde Baru diartikan
sebagai keanekaragaman suku bangsa dalam kebudayaan, tetapi dalam masyarakat
multikultural Indonesia (Indonesian Multikultural Society) konsep
tersebut diartikan sebagai keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat
Indonesia atau masyarakat majemuk (plural society). Pergeseran makna
kebhinnekaan dalam masyarakat itu merupakan konsep ideologis khusus yang
merujuk yang merujuk pada konsep multikultural. Tuntutan pengembangan
multikulturalisme menjadi menguat di Indonesia, setelah berbagai daerah
mengalami pergolakan antar etnis, adanya konflik kepentingan dan rasa
ketidakadilan. Dengan pergeseran ini, masyarakat multikultural menjadi wacana
yang sangat relevan dalam mengembangkan masyarakat Indonesia baru.
Salah
satu ciri masyarakat multikultural adalah pengakuan perbedaan dalam
kesederajatan, baik yang bersifat individual maupun bersifat kebudayaan.
Masyarakat multikultural tumbuh diawali dengan adanya kesadaran bahwa hidup
manusia dalam sebuah masyarakat dan kebudayaan bersifat pluralis. Disadari
bahwa keragaman yang ada merupakan fitrah dan potensi untuk saling memahami
satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pendekatan
multikultural memuat asumsi setiap kebudayaan dan masyarakat mempunyai cara
hidupnya sendiri-sendiri yang harus dipahami dari konteks dan kebudayaan yang
bersangkutan.
Desain mengenai
masyarakat multikultural di Indonesia telah dilakukan sejak lahirnya bangsa
Indonesia yang pada saat itu sedikit banyak telah dipahami tentang substansi dari
demokrasi. Penjelasan tentang kebudayaan bangsa dituangkan dalam pasal 32 UUD
1945 dengan pernyataan bahwa kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah. Meskipun dalam perkembangannya kebijakan politik
kebudayaan nasional telah berpihak kepada para penguasa yang otoriter dan
militeristik, sementara kebudayaan daerah yang menjadi satuan keunggulan etnik
yang beragam ditiadakan, selanjutnya dijadikan kebudayaan propinsi. Berdasarkan
fenomena di atas, pendidikan di Indonesia harus peka dalam menghadapi arus
perputaran globalisasi. Pola pemaksaan kehendak untuk membentuk satu kehidupan
berbangsa yang seragam melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan perlu
ditinjau ulang dan dipertanyakan.
No comments:
Post a Comment