Tuesday, March 14, 2017

PIDANA DALAM PRESPEKTIF SEJARAH

Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat  bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci.[14] Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[15]
Memperhatikan norma dasar Negara kita yang memperlihatkan bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan Tuhan yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, Islam mengenal hukuman mati (qishas) sebagai bentuk hukuman terhadap jarimah yang mutlak telah digariskan oleh ALLAH dan hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi maaf dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).
nilai-nilai humanis yang berlebihanlah yang sebenarnya menyeret kita dalam penolakan terhadap pidana mati. Jika sebelum pidana tersebut dilaksanakan diberikan kesempatan terlebih dahulu kepada si terpidana untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan dengan cara meringankan penderitaan-penderitaan fisik yang berlebihan, maka tidaklah beralasan untuk menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan raky
Ketika berbicara tentang hukuman, ada perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum konvensional yang dianut di Indonesia, kalau dalam hukum Islam tidak semua kesalahan berakhir di penjara. Terhadap berbagai tindakan kriminal, agama Islam memberikan hukuman yang berbeda. Ada tiga kategori dalam hukum Islam, hukuman fisik, hukuman denda, dan hukuman Ta’zir (ini bisa berupa penjara). Kalau hukum yang dikenal di Indonesia hampir semua berakhir dipenjara tanpa membedakan tindakan kriminalitas yang dilakukan narapidana. Tentu semuanya ingin memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Tapi tentu saja perbedaan perlakuan akan memberikan perbedaan hasil.

Baru-baru ini dunia hukum kita dikejutkan lagi oleh sebuah peristiwa kerusuhan berupa kebakaran Lapas dan pelarian napi dari penjara Tanjung Gusta Medan Sumatera Utara. Tentu kita masih ingat beberapa skandal yang merendahkan wajah keadilan, ketika terdakwa berbagai kasus besar (baca kasus korupsi dan suap) yang ditahan di beberapa rutan dan lembaga pemasarakatan memperoleh fasilitas mewah, bahkan bisa dengan bebas berkeliaran tanpa ada perasaan takut. Tentu saja efek jera yang kita harapkan jauh panggang dari api, alih-alih mereka merasa jera dan takut untuk mengulangi perbuatan kriminal tersebut, justru malah semakin lihai. Apalagi bagi mereka penjara adalah kantor gratis untuk tetap mengendalikan tindakan kriminal dan lebih leluasa karena tidak ada perasaan dikejar-kejar aparat, malah sekarang dijaga aparat. Lebih ironis lagi ketika tidak ada satu pihakpun yang merasa bertanggungjawab, semuanya saling melempar kesalahan.

No comments:

Post a Comment