Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat
diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan
penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification)
dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara
sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan
pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut
berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar
hukum pidana sepakat bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan
pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada
pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini
dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan
dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci.[14] Pendapat ini dapat digolongkan
sebagai bentuk negativisme, dimana para ahli yang sependapat dengan
Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak
mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai
bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan
penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di
dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara
konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran
agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham
sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin
banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang
berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas
pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam
hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara
lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang
menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada
satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[15]
Memperhatikan norma dasar Negara kita yang memperlihatkan
bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan Tuhan yang berarti
tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman sebagai
akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, Islam mengenal
hukuman mati (qishas) sebagai bentuk hukuman terhadap jarimah yang
mutlak telah digariskan oleh ALLAH dan hanya dapat hapus apabila keluarga
korban memberi maaf dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).
nilai-nilai humanis yang berlebihanlah yang sebenarnya
menyeret kita dalam penolakan terhadap pidana mati. Jika sebelum pidana
tersebut dilaksanakan diberikan kesempatan terlebih dahulu kepada si terpidana
untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan dengan cara meringankan
penderitaan-penderitaan fisik yang berlebihan, maka tidaklah beralasan untuk
menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan raky
Ketika
berbicara tentang hukuman, ada perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum
konvensional yang dianut di Indonesia, kalau dalam hukum Islam tidak semua
kesalahan berakhir di penjara. Terhadap berbagai tindakan kriminal, agama Islam
memberikan hukuman yang berbeda. Ada tiga kategori dalam hukum Islam, hukuman
fisik, hukuman denda, dan hukuman Ta’zir (ini bisa berupa penjara).
Kalau hukum yang dikenal di Indonesia hampir semua berakhir dipenjara tanpa
membedakan tindakan kriminalitas yang dilakukan narapidana. Tentu semuanya
ingin memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Tapi tentu saja perbedaan
perlakuan akan memberikan perbedaan hasil.
Baru-baru
ini dunia hukum kita dikejutkan lagi oleh sebuah peristiwa kerusuhan berupa
kebakaran Lapas dan pelarian napi dari penjara Tanjung Gusta Medan Sumatera
Utara. Tentu kita masih ingat beberapa skandal yang merendahkan wajah keadilan,
ketika terdakwa berbagai kasus besar (baca kasus korupsi dan suap) yang ditahan
di beberapa rutan dan lembaga pemasarakatan memperoleh fasilitas mewah, bahkan
bisa dengan bebas berkeliaran tanpa ada perasaan takut. Tentu saja efek jera
yang kita harapkan jauh panggang dari api, alih-alih mereka merasa jera dan
takut untuk mengulangi perbuatan kriminal tersebut, justru malah semakin lihai.
Apalagi bagi mereka penjara adalah kantor gratis untuk tetap mengendalikan
tindakan kriminal dan lebih leluasa karena tidak ada perasaan dikejar-kejar
aparat, malah sekarang dijaga aparat. Lebih ironis lagi ketika tidak ada satu
pihakpun yang merasa bertanggungjawab, semuanya saling melempar kesalahan.
No comments:
Post a Comment